Kinerja APBN yang sehat sepanjang 2022 akan menjadi bekal untuk menghadapi perlambatan ekonomi tahun ini. Sejumlah cara akan ditempuh untuk menggenjot penerimaan negara dan menjaga momentum penyehatan APBN.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 ditutup dengan defisit fiskal yang mampu ditekan lebih awal ke bawah 3 persen berkat pendapatan negara yang melonjak sepanjang tahun. Dibutuhkan usaha ekstra untuk menjaga momentum penyehatan APBN pada tahun 2023 di tengah tren pelambatan ekonomi global dan harga komoditas yang tidak setinggi tahun lalu.
Per Desember 2022, defisit APBN tercatat Rp 464,3 triliun atau 2,38 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, pada November 2022, defisit masih di posisi 1,21 persen terhadap PDB atau sebesar Rp 236,9 triliun. Data ini berupa angka sementara karena masih perlu melalui proses audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Defisit pada APBN 2022 mampu ditekan lebih cepat ke bawah batas 3 persen. Awalnya, pemerintah menargetkan defisit APBN 2022 sebesar 4,5 persen terhadap PDB. Langkah konsolidasi fiskal seharusnya baru dimulai pada tahun 2023 ini dengan target defisit 2,84 persen terhadap PDB atau Rp 598,2 triliun.
Dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (3/1/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, defisit yang rendah itu bisa dicapai karena realisasi penerimaan negara berhasil melampaui target di semua pos. Data sementara Kemenkeu mencatat, penerimaan sepanjang tahun lalu sebesar Rp 2.626,4 triliun, atau 115,9 persen dari target Rp 2.266,2 triliun.
Secara tahunan, penerimaan negara tumbuh 30,6 persen dibandingkan tahun 2021. Penyumbang terbesar adalah penerimaan pajak sebesar Rp 1.716,8 triliun (115,6 persen dari target). Sisanya, pendapatan dari kepabeanan dan cukai mencapai 106,3 persen dari target, penerimaan negara bukan pajak atau PNBP (122,2 persen dari target), dan hibah (610,8 persen dari target).
Sementara itu, realisasi belanja negara tumbuh 10,9 persen secara tahunan, yaitu Rp 3.090,8 triliun. Berbeda dengan kinerja pendapatan, belanja negara tidak bisa mencapai 100 persen, alias 99,5 persen dari target awal.
Meski demikian, menurut Sri Mulyani, belanja negara sudah cukup signifikan dipakai untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi, terutama dalam bentuk penyaluran subsidi dan kompensasi energi serta program perlindungan sosial.
Khusus subsidi dan kompensasi, realisasi penyalurannya sepanjang 2022 membengkak tiga kali lipat dari perkiraan awal pemerintah yaitu menjadi sebesar Rp 551,2 triliun. Peningkatan defisit anggaran dari November ke Desember 2022 sebagian besar berasal dari pelunasan pembayaran subsidi dan kompensasi ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
Sri Mulyani mengatakan, kinerja APBN yang sehat akan menjadi bekal untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di tahun 2023. Dengan defisit yang terjaga itu, pemerintah bisa menekan sumber pembiayaan anggaran atau utang menjadi sebesar Rp 583,5 triliun dari sasaran awal Rp 840,2 triliun. Porsi pembiayaan dalam APBN pun menurun 33,1 persen dibandingkan tahun 2021.
Kinerja APBN yang sehat akan menjadi bekal untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di tahun 2023.
”Ini menunjukkan konsolidasi fiskal yang sangat kuat. Hanya dalam waktu dua tahun setelah pandemi, kita bisa turunkan defisit dengan signifikan kembali ke batas aman,” katanya.
Menjaga penerimaan
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, pemerintah akan menghadapi tantangan lebih sulit untuk menjaga defisit tahun ini. Pasalnya, prestasi penerimaan tahun lalu akan sulit diulangi karena lebih banyak disumbang oleh kenaikan harga komoditas yang tinggi sepanjang tahun.
”Untuk mencapai titik yang sama lagi tahun ini dibutuhkan usaha yang lebih besar. Sebab, ke depan akan ada pelemahan kondisi ekonomi, harga komoditas yang tidak setinggi tahun lalu, dan melemahnya demand dari pasar global,” kata Fajry.
Meski demikian, ia meyakini, dengan langkah reformasi perpajakan lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah akan memiliki banyak instrumen untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. ”Misalnya, lewat penguatan sisi penegakan hukum atau penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN),” ujarnya.
Untuk mencapai titik yang sama tahun ini dibutuhkan usaha lebih besar. Sebab, akan ada pelemahan kondisi ekonomi, harga komoditas yang tidak setinggi tahun lalu, dan melemahnya demand dari pasar global.
Menurut dia, target penerimaan di APBN 2023 sebesar Rp 1.718 triliun sudah cukup moderat dan realistis dengan mempertimbangkan perlambatan ekonomi tahun ini. ”Artinya, pemerintah telah melakukan antisipasi untuk mencegah terjadinya shortfall penerimaan pajak tahun ini,” kata Fajry.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, langkah reformasi untuk menggenjot penerimaan pajak akan dilanjutkan dengan instrumen baru yang tersedia lewat UU HPP dan berbagai peraturan turunannya. Ada sekitar 40 regulasi turunan terkait pelaksanaan UU HPP yang akan segera diterbitkan untuk memastikan implementasi reformasi pajak dan menjaga penerimaan negara tahun ini.
”Kami terus berupaya memperluas basis perpajakan, salah satunya mengimplementasikan regulasi UU HPP. Kami juga memperkuat pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan. Dengan pandemi yang sekarang menurun, penetrasi ke wilayah bisa dilaksanakan lebih efektif,” katanya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani menambahkan, pemerintah juga berupaya menjaga kinerja penerimaan dengan membawa pulang devisa hasil ekspor (DHE) ke Indonesia. Sejauh ini, pihaknya telah mengenakan sanksi denda dengan total sekitar Rp 53 miliar kepada 216 eksportir yang abai.
Mereka diberi batas pelunasan tagihan selama tujuh bulan sejak diterbitkannya surat tagihan. ”Sejauh ini sudah masuk sekitar Rp 4,5 miliar dari hasil jatuh tempo denda. Tentu ke depan ini akan kita tingkatkan lagi dari sisi pemantauan dan penyelesaian dendanya,” ujarnya.