Dewan Energi Akan Perbarui Kebijakan Energi Nasional
Penyesuaian Kebijakan Energi Nasional terutama terkait kondisi ekonomi. Sebab, realisasi pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan asumsi dalam KEN sebelumnya. Padahal, situasi itu menentukan permintaan energi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Energi Nasional menyiapkan pembaruan Kebijakan Energi Nasional atau KEN. Pembaruan itu utamanya disesuaikan dengan permintaan dan penawaran energi yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi. Dalam KEN yang baru akan tertuang, antara lain, peningkatan pemanfaatan gas bumi, energi terbarukan, dan nuklir yang tidak lagi jadi pilihan terakhir.
KEN yang berlaku saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN. PP ini menyebutkan, dalam memproyeksikan kebutuhan energi nasional hingga 2050, diperhitungkan parameter yang berpengaruh serta asumsi yang digunakan. Parameter utama yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.
Sejumlah penyesuaian dinilai perlu. ”Utamanya (terkait) pertumbuhan ekonomi sehingga berubah juga permintaan dan penawaran energinya. Target bauran energi juga berubah,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto saat dihubungi, Kamis (29/12/2022).
Pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan saat penyusunan KEN PP Nomor 79/2014 tidak tercapai. Pada 2017-2020, asumsi pertumbuhan ekonomi 7,1-8 persen. Namun, kenyataannya, seperti data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan tertinggi hanya 5,17 persen, yakni pada 2018. Pandemi Covid-19 sejak 2020 bahkan membuat ekonomi terkontraksi.
Djoko menambahkan, KEN yang baru akan disesuaikan dengan strategi energi nasional yang fokus pada pengurangan impor minyak mentah sebagai bahan baku kilang. Selain itu, pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin dan pengurangan impor elpiji.
Pemanfaatan gas bumi, yang memiliki emisi lebih rendah dibandingkan energi fosil lain, akan dipacu dalam rangka transisi energi menuju emisi nol bersih (NZE) 2060. Hal itu, kata Djoko, dilakukan dengan cara meningkatkan infrastruktur gas bumi serta gas bumi domestik.
Peningkatan energi baru terbarukan (EBT) juga jadi salah satu poin pokok dalam penyesuaian KEN. ”Pada KEN lama, peran EBT (dalam bauran energi primer) paling sedikit 31 persen pada 2050. Sementara pada KEN yang baru disesuaikan menjadi 2060 (bukan 2050), dengan target bauran EBT di atas 60 persen,” kata Djoko.
Nuklir
Selain itu, ada peningkatan infrastruktur energi terbarukan serta peluang jenis EBT lain dalam KEN baru. ”Kata (frasa) ’nuklir sebagai pilihan terakhir’ dihilangkan,” ujarnya.
Selain itu, ada pula penegasan mengenai kebijakan dibolehkannya ekspor-impor energi. KEN yang baru diharapkan dapat memacu peran energi terbarukan. Sebab, hingga semester I-2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi baru 10,33 persen, di bawah target 15,69 persen.
Anggota DEN, Satya Widya Yudha, menambahkan, perubahan KEN akan diselaraskan dengan skenario transisi energi menuju NZE 2060. Selain pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi final per jenis energi juga dihitung. ”Target kami semoga 2023 (ditetapkan),” katanya.
Laman DEN menyebutkan, rapat pembahasan rancangan PP KEN dilaksanakan pada 17-18 November 2022, antara lain dihadiri anggota DEN serta perwakilan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan PT Pertamina (Persero).
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan dalam agenda besar transisi energi di Indonesia. Salah satunya memaksimalkan potensi efisiensi energi, seperti dalam transportasi dan industri, yang selama ini belum optimal.
Hal mendesak lainnya ialah menggenjot investasi pada transisi energi. ”IESR telah menghitung, untuk mencapai net zero emission (NZE) 2060 atau lebih awal, 2050, dibutuhkan investasi 25 miliar dollar AS-35 miliar dollar AS, dari sekarang hingga 2030,” ujarnya