Fosil Masih Dominan, Energi Terbarukan Mesti Didorong Lebih Kencang
Pada triwulan III-2022, PDB Indonesia tumbuh 5,72 persen seiring pulihnya aktivitas ekonomi. Namun, dalam program pemulihan ekonomi itu, alokasi anggaran lebih banyak terserap untuk dukungan pada energi fosil.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengendara sepeda motor mengisi bahan bakar minyak nonsubsidi jenis pertalite di SPBU Coco di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. PT Pertamina (Persero) pada Sabtu (5/1/2019) pukul 00.00 waktu setempat menurunkan harga BBM nonsubsidi.
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran untuk pemenuhan energi yang berasal dari fosil masih jauh lebih besar dibandingkan dengan untuk energi terbarukan seiring pulihnya ekonomi pascapandemi Covid-19. Pemerintah pun perlu segera memanfaatkan sejumlah peluang yang ada dalam mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan, termasuk kesepakatan yang dicapai pada G20 di Bali, November 2022.
Dorongan perlunya akselerasi dari implementasi pengembangan energi terbarukan itu mengemuka dalam media briefing Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 oleh Institute Essential Services Reform (IESR), yang digelar secara daring, Rabu (14/12/2022). Adapun peluncuran laporan dan diskusi IETO IESR akan dilakukan di Jakarta pada Kamis (15/12/2022).
Penulis IETO 2023 yang juga peneliti senior IESR, Handriyanti D Puspitarini, mengatakan, pada triwulan III-2022, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,72 persen seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi seperti sebelum pandemi. Namun, dalam program pemulihan ekonomi itu, alokasi anggaran lebih banyak terserap untuk dukungan pada energi fosil.
Seperti tertuang dalam laporan IETO 2023, berdasarkan data Energy Policy Tracker 2021, alokasi anggaran dalam program pemulihan ekonomi nasional terkait energi didominasi energi fosil. Sedikitnya 6,54 miliar dollar AS dialokasikan untuk mendukung energi fosil. Sementara dalam dukungan energi bersih, sedikitnya sebesar 240,02 juta dollar AS.
”Masih banyak sekali alokasi anggaran negara untuk energi fosil daripada untuk energi bersih, termasuk energi terbarukan. Alokasi anggaran dalam pemulihan ekonomi nasional menunjukkan, hanya 3,5 persen dari total anggaran yang digunakan untuk energi bersih,” kata Handriyanti.
Selain itu, dari survei yang dilakukan IESR kepada para pengembang energi terbarukan, diketahui 83,3 persen setuju bahwa alokasi APBN belum cukup dalam mendukung transisi energi dalam sistem ketenagalistrikan. Sejumlah hal yang dirasa perlu untuk memperbaiki iklim investasi ialah peningkatan dukungan finansial, proses pengadaan yang lebih jelas, skema tarif yang jelas, hingga proses perizinan lebih singkat dan jelas.
Indonesia pun didorong untuk memanfaatkan berbagai peluang, seperti mekanisme transisi energi (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada G20 di Bali, November 2022. Hal itu juga akan menjadi perhatian dunia.
”Target yang harus disasar bukan hanya 23 persen (bauran energi terbarukan) pada 2025, tetapi juga target emisi nol di sektor kelistrikan pada 2050. Selain itu, bauran energi terbarukan 34 persen di sektor ketenagalistrikan pada 2030 dan bauran energi terbarukan 51,6 persen di energi primer pada 2030,” kata Handriyanti.
Di samping itu, lanjut Handriyanti, diperlukan peraturan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Peraturan turunan itu dapat membantu pemantauan implementasi, terutama dalam peta jalan pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Menanggapi masih banyaknya alokasi anggaran untuk energi fosil, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menuturkan, saat energi terbarukan belum siap, pemerintah tak punya pilihan. Berapa pun kebutuhan energi fosil, maka harus disediakan Pertamina, yang konsekuensinya pemerintah mengganti atau mengompensasi dananya.
”Pemerintah inginnya tidak usah subsidi. Tetapi, karena kebutuhan serta adanya disparitas harga subsidi dan nonsubsidi, orang pasti cari BBM di black market. Pengawasannya tak mudah karena Indonesia sangat luas. Ini menjadi lahan orang-orang tak bertanggung jawab sehingga ujung-ujungnya beban di pemerintah. Jadi, (besarnya alokasi anggaran untuk fosil) karena terpaksa. Energi terbarukannya belum siap,” kata Djoko.
Djoko menuturkan, pihaknya mendorong PT Pertamina (Persero) untuk segera menyubstitusi, terutama elpiji. ”Kalau tak segera substitusi, cepat atau lambat, berapa pun harga elpiji, ataupun harga BBM, pasti impor. Kalau tak dipenuhi, bisa menimbulkan kegaduhan. Ini kejadian karena sejak sebelum pandemi hingga sekarang, harga elpiji sudah naik tiga kali lipat,” katanya.
Dalam transisi energi, Djoko juga mendorong sejumlah substitusi seperti kompor listrik. Bahkan, dalam waktu dekat, juga akan dikembangkan lagi briket batubara. Saat ini sedang studi dan diselidik mesin-mesin briket yang dalam posisi siap untuk produksi, mengingat Indonesia punya banyak batubara. Apabila tak bisa pakai APBN, diupayakan cara-cara lain, termasuk program pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Dalam target mencapai energi bersih, menurut Djoko, siapa pun bisa melakukan banyak hal, termasuk dari skala terkecil. Misalnya, menggunakan sepeda motor listrik, menggunakan kompor listrik, hingga memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap rumah. ”Kalau ini tak didukung seluruh komponen masyarakat, ini akan lambat dan kalah dari negara-negara ASEAN lain,” katanya.
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), yang juga anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja, menuturkan, ETM hingga Perpres No 112/2022 harus dipastikan berjalan. Selama ini kerap kali pengembangan energi terbarukan terhambat masalah valuasi, yang dianggap terlalu tinggi, sehingga tak bisa dijalankan.