Kian Menjauhi Target, Bauran Energi Terbarukan Turun
Target bauran energi terbarukan dalam energi primer pada 2021 ialah 14,5 persen. Namun, yang tercapai hanya 12,2 persen. Dengan kondisi bauran energi terbarukan yang saat ini turun, pekerjaan rumah kian berat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemenuhan permintaan energi seiring pulihnya kegiatan ekonomi pascapandemi berdampak pada menurunnya bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer. Pada triwulan III-2022, bauran energi terbarukan yakni 10,4 persen atau turun dari triwulan III-2021 yang 11,5 persen. Padahal, pemerintah mematok target 23 persen pada 2025.
Hal tersebut tertuang dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 Institute for Essential Services Reform (IESR) yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (15/12/2022). Dalam laporan itu disebutkan, pada triwulan III-2022, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 5,72 persen karena kegiatan ekonomi telah kembali ke tingkat sebelum pandemi.
Pulihnya ekonomi pun meningkatkan permintaan energi, yang saat ini masih didominasi fosil. Dampaknya, bauran energi terbarukan turun. Dalam IETO 2023, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi terbarukan dalam energi primer pada triwulan III-2022 sebesar 10,4 persen atau menurun dari triwulan III-2021 yang 11,5 persen.
"Sementara itu, bauran batubara meningkat ke level tertinggi sebesar 43 persen yang membuat proses pencapaian target 23 persen pada 2025 tampaknya semakin sulit dicapai. Kemudian, puncak emisi juga akan terjadi pada 2030 jika tidak ada perubahan dalam bauran energi terbarukan," kata penulis IETO yang juga peneliti senior IESR Handriyanti D Puspitarini.
Sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi terbarukan dalam energi primer pada 2021 ialah 14,5 persen. Namun, yang tercapai hanya 12,2 persen. Dengan kondisi bauran energi terbarukan yang saat ini turun, pekerjaan rumah untuk mencapai 23 persen dalam pada 2025 akan semakin berat.
Oleh karena itu, menurut Handriyanti, berbagai upaya mesti didorong dalam meningkatkan bauran energi terbarukan. Sederet peluang yang ada, seperti mekanisme transisi energi (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada G20 di Bali, November lalu, perlu dimanfaatkan. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga memerlukan aturan turunan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, saat ini, sekitar 87 persen listrik yang digunakan di Indonesia bersumber dari energi fosil dan hanya 13 persen yang berasal dari energi terbarukan. Sebanyak 65 persen pasokan listrik berasal dari batubara.
"Ini tantangan yang mesti dhadapi. Transisi dari sistem berbasis energi fosil menuju sistem energi berbasis energi terbarukan. Emisi (gas rumah kaca) yang menjadi penyebab kenaikan temperatur global harus dipangkas, sejalan dengan tujuan emisi nol bersih. Sebab, penggunaan batubara makin besar dalam beberapa dekade ini menyumbang kenaikan emisi itu," katanya.
Menurut Fabby, ada sejumlah hal yang yang perlu dilakukan dalam agenda besar transisi energi di Indonesia. Salah satunya ialah memaksimalkan potensi efisiensi energi, seperti dari transportasi dan industri, yang selama ini belum optimal. Itu penting guna membuat pertumbuhan energi tidak terlalu tinggi, tetapi yang dipastikan ialah kualitas kecukupan energi tersebut.
Hal mendesak lainnya ialah menggenjot investasi pada transisi energi. "IESR telah menghitung, untuk mencapai net zerro emission 2060 atau lebih awal, 2050, dibutuhkan investasi 25-35 miliar dollar AS, dari sekarang hingga 2030. Lalu perlu upaya perbaikan enabling environment. Juga, reformasi kebijakan yang selama ini menghambat pengembangan energi terbarukan," katanya.
Direktur Panas Bumi pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris, menuturkan, target bauran energi terbarukan dalam energi primer yang ada sekarang merujuk pada Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014.
Saat itu, imbuh Harris, target dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk guna memproyeksikan permintaan energi yang akan dikuti suplainya. Oleh karena itu, ditetapkan 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
"Namun, dalam implementasi RUEN kan ada dinamika. Misalnya, PDB yang tadinya diproyeksikan 6-7 persen, bahkan ada yang 8 persen, tidak terjadi. Tentu akan memengaruhi pencapaian demand dan supply. Karena itu, dengan gap yang ada, tentu harus dilakukan evaluasi. Dalam aturan juga dibolehkan RUEN untuk direvisi," ujar Harris.
Pembaruan KEN, yang juga berarti RUEN, kata Harris, saat ini masih dalam tahap proses pembahasan. Adapun saat ini, yang jadi pekerjaan rumah ialah penyusunan peta jalan energi terbarukan ke depan seperti apa. Hal tersebut juga akan menjadi bagian dari pembaruan RUEN itu sendiri.
Kendati perlu ada revisi target bauran energi terbarukan dalam energi primer, Presidensi G20 Indonesia pada 2022 yang mengangkat transisi energi sebagai salah satu isu utama, menjadi momentum penting. Salah satunya, ada komitmen internasional dalam dukungan transisi energi. Ke depan ialah bagaimana berproses mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Kami sangat optimistis. Secara nasional, kita sudah meletakkan dasar kuat dalam menyusun target. Itu sejalan dengan energi terbarukan yang kita tingkatkan serta pengurangan emisinya. Parameter-parameter penurunan emisi juga kita akmodasi dalam program-program. Ini tren-tren yang baik," ucap Harris.