Maksimalkan Dana Bagi Hasil dari Cukai Hasil Tembakau
Penerimaan negara dari penyesuaian tarif cukai rokok akan disalurkan kembali kepada masyarakat terdampak dalam bentuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau, yang diestimasi naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2023.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi menerbitkan peraturan terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk tahun 2023 dan 2024. Seiring dengan itu, nilai penyaluran dana bagi hasil CHT naik menjadi 3 persen dari penerimaan cukai. Pemerintah diharapkan bisa memaksimalkan alokasi dan penggunaan dana tersebut untuk menyejahterakan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), alokasi dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) meningkat dari 2 persen menjadi 3 persen dari total penerimaan CHT mulai tahun 2023.
Kementerian Keuangan mengestimasikan, dengan kenaikan alokasi 3 persen itu, DBH CHT akan naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2023, meningkat sekitar 39,4 persen dari DBH CHT tahun 2022 sebesar Rp 4,01 triliun yang masih memakai alokasi 2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (19/12/2022), mengatakan, penerimaan negara yang berasal dari penyesuaian tarif cukai rokok itu akan disalurkan kembali ke masyarakat terdampak dalam bentuk DBH CHT. Berbeda dari tahun 2020 dan 2021, kali ini, alokasi DBH akan lebih diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Rinciannya, alokasi DBH akan diberikan sebanyak 50 persen untuk bidang kesejahteraan masyarakat yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pekerja industri tembakau yang terdampak. Sebanyak 20 persen digunakan untuk meningkatkan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja, dan pembinaan industri, sementara 30 persen untuk penyaluran bantuan langsung tunai pada petani dan buruh tembakau.
Sisanya, 40 persen dialokasikan untuk bidang kesehatan dan 10 persen untuk memperkuat penegakan hukum, khususnya dalam mengontrol peredaran rokok ilegal.
”Melalui DBH CHT ini, kami terus meningkatkan dukungan terhadap para petani dan buruh tembakau. Kalau dibandingkan antara kebijakan tahun 2022-2023 dan 2020-2021, terlihat sekali keberpihakan pemerintah lewat kebijakan DBH ini ke mana arahnya,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resmi di Jakarta.
Pada 15 Desember 2022, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 dan PMK Nomor 192 Tahun 2022 untuk secara resmi mengatur kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk dua tahun ke depan.
Kementerian Keuangan mengestimasikan, dengan kenaikan alokasi 3 persen itu, DBH CHT akan naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2023.
Secara umum, terjadi kenaikan tarif cukai sigaret rata-rata 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Khusus jenis sigaret kretek tangan (SKT) ditetapkan kenaikan maksimum 5 persen dengan mempertimbangkan keberlangsungan tenaga kerja di sektor yang didominasi oleh pelaku kecil itu.
Sementara itu, hasil tembakau berupa rokok elektrik (REL) dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) ditetapkan kenaikan tarif cukai rata-rata 15 persen dan 6 persen setiap tahun untuk dua tahun ke depan. Tarif yang baru itu akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2023.
Berbeda dari pola sebelumnya di mana CHT disesuaikan setiap setahun sekali, kali ini, pemerintah langsung menetapkan tarif CHT untuk dua tahun sekaligus. ”Itu dilakukan untuk menyederhanakan perumusan kebijakan CHT setiap tahun, sekaligus untuk memberi kepastian bagi pelaku industri dan seluruh stakeholders terkait,” kata Sri Mulyani.
Memperbaiki penyaluran
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengapresiasi langkah pemerintah yang menaikkan persentase DBH CHT menjadi 3 persen serta alokasi DBH yang kali ini lebih diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya petani dan buruh tembakau.
Namun, menurut dia, berkaca dari pengalaman pengalokasian dan distribusi DBH CHT di wilayah khusus penghasil tembakau selama ini, masih ada problem berupa penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran dan tidak merata. Hal itu harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah seiring dengan peningkatan signifikan DBH CHT selama dua tahun ke depan.
Berbeda dari pola sebelumnya di mana CHT disesuaikan setiap setahun sekali, kali ini, pemerintah langsung menetapkan tarif CHT untuk dua tahun sekaligus.
”Masih ditemukan banyak kasus di daerah di mana buruh tembakau tidak mendapat alokasi dana bantuan yang seharusnya. Masih ada pula industri dan petani yang mengeluhkan jumlah bantuan sarana produksi dan pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan,” kata Armand.
Ia berharap, dalam menentukan pengalokasian dan distribusi alokasi DBH CHT, pemerintah di setiap daerah harus melibatkan para pemangku kepentingan kunci, seperti perwakilan petani, buruh, dan industri. Dengan demikian, penggunaan DBH CHT benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Pemerintah perlu lebih aktif ”jemput bola” ke berbagai pihak tersebut. Di sisi lain, perwakilan asosiasi petani, buruh, dan pelaku industri juga perlu lebih kuat menyuarakan kebutuhan mereka dan mengawal penetapan alokasi DBH CHT itu di daerah.
”Jangan sampai ada keterputusan informasi yang diterima pemda sehingga dana yang besar itu menjadi tidak tepat sasaran. Pelibatan multistakeholder ini jadi sangat penting dalam tata kelola DBH CHT ke depan,” ujar Armand.
Ia menambahkan, pengawasan dari pemerintah pusat juga tidak kalah penting. Dengan sistem earmarking (anggaran yang telah ditandai dan ditentukan penggunaannya secara khusus), pembinaan dan pengawasan dari pusat seharusnya bisa lebih mudah, tidak hanya untuk DBH CHT, tetapi juga untuk jenis DBH lainnya.