Memahami Alasan Kenaikan Cukai Rokok
Tiap tahun, cukai rokok terus bertambah diikuti kenaikan harga jual rokok di pasaran. Selain untuk meningkatkan pendapatan negara, hal ini juga bertujuan menekan tingkat konsumsi rokok di masyarakat.
Sama seperti keputusan-keputusan sebelumnya, kenaikan tarif cukai rokok selalu diikuti oleh narasi pro dan kontra di ruang publik. Isu keberpihakan kepada petani tembakau dan buruh pabrik rokok menjadi salah satu narasi kontra yang terus disuarakan. Sementara itu, pemerintah berupaya mengedepankan pengendalian produksi dan konsumsi rokok.
Awal November 2022, pemerintah memutuskan menaikkan tarif hasil tembakau (CHT) untuk rokok atau cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan ini berlaku untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Untuk cukai rokok elektronik naik 15 persen dan 6 persen untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).
Khusus untuk tarif cukai rokok, kenaikan ini masih lebih kecil dibandingkan kenaikan 3 tahun sebelumnya. Pada 2020, kenaikan cukai rokok mencapai 23 persen atau lebih dari dua kali lipat kenaikan tahun 2023 nanti. Dua tahun berikutnya, secara berturut-turut, cukai rokok mengalami kenaikan lebih kecil, yakni sebesar 12,5 persen di 2021 dan 12 persen di 2022.
Pada Desember 2021, persoalan kenaikan cukai rokok juga mengisi pemberitaan media massa dan perbincangan di masyarakat. Saat itu, kenaikan 12 persen yang berlaku per 1 Januari 2022 diduga akan membuat pengusaha rokok golongan kecil, para buruh pabrik rokok, dan petani tembakau makin kesulitan. Di sisi lain, keputusan ini juga mendapat dukungan dari banyak pihak yang memandang bahwa rokok yang sifatnya konsumtif itu perlu dinaikkan harganya demi kesehatan masyarakat.
Narasi pro dan kontra itu kembali terulang saat ini. Dengan menggunakan aplikasi Talkwalker, Litbang Kompas memantau isu kenaikan tarif cukai rokok di platform media massa dan pemberitaan digital selama empat hari (4-7 November 2022). Kata kunci ”rokok” diperbincangkan sebanyak 38.000 kali dengan interaksi 203.300 pengguna media sosial.
Baca Juga: Dampak Berganda Kenaikan Cukai Rokok
Sentimen yang dimunculkan cenderung negatif dan mengandung dua arti. Pertama, warganet memberikan pandangan negatif sebagai bentuk ketidaksetujuan atas kenaikan harga cukai rokok. Kedua, warganet yang setuju dengan kenaikan cukai rokok sehingga mengeluarkan komentar yang negatif terhadap para perokok.
Para akun penggiat rokok tembakau dan akun yang tidak setuju terhadap kenaikan cukai rokok menggunakan berbagai tagar sebagai bentuk ketidaksetujuan kenaikan ini. Apalagi, keputusan kenaikan cukai rokok akan terus dilaksanakan tiap tahun selama 5 tahun ke depan. Jika diamati, tagar ini digunakan sebagian besar oleh akun-akun buzzer atau bot serta akun-akun oposisi pemerintah.
Sementara itu, akun-akun yang setuju dengan kenaikan harga cukai tembakau memunculkan narasi bahwa rokok jauh lebih banyak membawa kerugian daripada keuntungan bagi masyarakat. Para perokok dinilai membawa dampak buruk bagi orang di sekitarnya yang tidak merokok. Apalagi, banyak anak-anak di bawah umur yang saat ini dengan mudahnya membeli dan mengonsumsi rokok.
Mengurangi perokok
Hingga kini, Indonesia menjadi satu dari tujuh negara yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) meski anggota G20 lainnya sepakat dengan kerangka pengendalian tembakau ini. FCTC terdiri dari 11 bab dan 38 pasal yang berisi tentang pengendalian permintaan konsumsi rokok dan pengendalian pasokan rokok. Di dalamnya mengatur tentang paparan asap rokok orang lain, iklan promosi dan sponsor rokok, harga dan cukai rokok, serta kemasan dan pelabelan. Selain itu, juga membahas aturan tentang kandungan produk tembakau, edukasi dan kesadaran publik, berhenti merokok, perdagangan ilegal rokok, hingga penjualan rokok kepada anak di bawah umur.
Meskipun Indonesia belum menandatangani FCTC itu, pemerintah tetap berupaya mengurangi jumlah konsumsi rokok beberapa tahun belakangan. Misalnya dengan menaikkan tarif cukai tembakau dan makin membatasi ruang merokok di area publik. Namun, oleh sejumlah pihak, hal tersebut dinilai belum cukup untuk mengurangi jumlah masyarakat yang merokok.
Berdasarkan data BPS, jumlah perokok di bawah usia 18 tahun perlahan menurun tiap tahunnya. Pada 2019, persentase penduduk yang merokok berusia kurang dari 18 tahun berada di angka 3,87 persen. Pada 2021, jumlahnya sedikit turun menjadi 3,69 persen.
Namun, temuan itu cukup berbeda dengan persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang merokok. Pada 2019, persentasenya berada di angka 29,03 persen, lalu turun menjadi 28,69 persen di tahun 2020. Namun, pada 2021, persentasenya naik kembali menjadi 28,96 persen. Hal ini mengindikasikan hasrat merokok pada usia anak-anak kembali mengalami peningkatan.
Baca Juga: Rokok Masih Mudah Diakses Anak
Fenomena tersebut merupakan sisi dilematis bagi industri rokok nasional. Di satu sisi, memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara, tetapi di sisi lainnya berpotensi memberikan efek negatif. Di antaranya, muncul konsumen rokok dengan tingkatan usia yang masih belia dan hadirnya industri rokok ilegal dengan motif memangkas harga agar murah dan terjangkau oleh masyarakat luas.
Menurut pengamat ekonomi, Faisal Basri, pemerintah perlu menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok secara signifikan yang dibarengi dengan kontrol di tingkat ritel untuk mengawasi rokok ilegal yang beredar. Berikutnya, simplifikasi tarif cukai rokok menjadi hanya tiga lapis karena aturan saat ini terdapat delapan lapis. Terakhir, pemerintah harus berani membuat aturan jumlah batang rokok dijual tidak kurang dari 20 batang per bungkus yang berlaku untuk semua jenis rokok.
Tentu saja, untuk mengakomodasi usulan tersebut, tidaklah mudah. Apalagi, semuanya itu berkaitan erat dengan nilai cukai yang sangat berguna bagi perekonomian nasional. Pada kurun 2011-2020, pemerimaan negara dari hasil cukai industri tembakau rata-rata mencapai Rp 125 triliun per tahun. Tahun lalu, per Agustus 2021, cukai hasil tembakau mencapai Rp 111,1 triliun.
Hal tersebut menggambarkan bahwa cukai tembakau memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasional. Akan selalu terjadi tarik-menarik antara pendapatan negara, kemajuan perekonomian, dan pengendalian konsumsi rokok dengan alasan kesehatan. Inilah dua kutub industri olahan tembakau yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pemerintah hingga saat ini belum menandatangani FCTC, tetapi terus menaikkan harga cukai tembakau tiap tahunnya.
Kebiasaan merokok
Persoalan tarik-menarik kepentingan itu dengan mudah dirusak oleh kehadiran rokok ilegal yang diproduksi oleh pabrik-pabrik usaha tembakau ”gurem”. Merek-merek rokok ilegal masih mudah ditemukan di masyarakat, terutama di daerah pinggiran perkotaan. Ada sejumlah rokok ilegal dengan berbagai merek yang kemasannya sengaja dibuat mirip dengan rokok legal keluaran pabrikan besar.
Seiring naiknya harga rokok legal di pasaran, ada dugaan pembelian rokok ilegal akan turut naik di masyarakat. Tanpa menyematkan pita cukai resmi pada kemasan, tentu saja rokok ilegal dijual dengan harga murah, sekitar Rp 7.000 hingga Rp 15.000 per bungkus. Perbedaan ini terpaut sangat jauh dengan rokok pabrikan besar yang kini rata-rata dijual lebih dari Rp 25.000 per bungkusnya.
Baca Juga: Cukai Tidak Cukup Kendalikan Perokok
Kehadiran rokok ilegal tentu meresahkan bagi pengusaha pabrik rokok golongan kecil dan para pekerjanya. Kenaikan cukai rokok tentu tidak dapat ditolak dan akhirnya mendorong menaikkan harga rokok. Imbasnya, omzet penjualan berpotensi turun dan para konsumen beralih ke rokok ilegal yang jauh lebih murah.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu tegas dalam mengawasi peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa kontrol yang baik niscaya kebijakan menaikkan cukai rokok justru akan merugikan industri-industri pengolahan rokok yang resmi. Harga jual rokok yang kian mahal justru menimbulkan peluang hadirnya industri rokok ilegal yang mampu memproduksi rokok berharga murah.
Apalagi, bagi sebagian masyarakat Indonesia, merokok sudah menjadi barang kebutuhan setiap hari. Apa pun kondisinya, rokok akan terus diisap setiap saat. Sejumlah alternatif akan ditempuh konsumen rokok seandainya harga rokok naik signifikan. Bisa dengan membeli jenis rokok legal lainnya yang berharga lebih murah, meracik sendiri (tingwe), hingga membeli rokok ilegal yang harganya jauh dari harga pasaran. (LITBANG KOMPAS)