Subsidi Motor dan Mobil Listrik Harus Dikaji dengan Tepat agar Benar-benar Bermanfaat
Rencana pemerintah memberikan insentif kepada pembeli mobil dan motor listrik harus dikaji dengan tepat agar tak salah sasaran. Kemacetan pun akan semakin parah jika pengaturan insentif tak disiapkan dengan baik.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberian insentif untuk para pembeli mobil dan motor listrik harus diperhitungkan dan dikaji dengan tepat. Jangan sampai tujuan yang baik akhirnya tidak sampai dan justru membuat kerugian. Hal itu dapat dilihat dari rencana pemerintah memberikan subsidi, yang dinilai dapat memperparah kemacetan lalu lintas. Subsidi juga dapat tidak tepat sasaran jika tidak dipersiapkan dengan baik menyangkut pihak-pihak mana yang akan mendapat subsidi.
Hal ini disampaikan pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, dan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas secara terpisah, Jumat (16/12/2022).
Sebelumnya, rencana pemberian subsidi untuk pembeli mobil dan motor listrik disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan secara daring dari Brussels, Belgia, Rabu (14/12/2022). Insentif untuk pembeli mobil listrik sekitar Rp 80 juta, sedangkan untuk pembeli mobil listrik hibrid sekitar Rp 40 juta. Pembeli motor listrik juga akan mendapat insentif Rp 8 juta. Adapun konversi motor konvensional menjadi motor listrik mendapat insentif Rp 5 juta.
”Pemerintah sekarang sedang tahap finalisasi menghitung untuk memberikan insentif terhadap pembelian mobil dan atau motor listrik. Insentif akan diberikan kepada pembeli yang membeli mobil atau motor listrik yang mempunyai pabrik di Indonesia,” tutur Agus saat itu.
Pemerintah beralasan insentif bisa mempercepat penggunaan kendaraan listrik dan mendorong masyarakat beralih menggunakan kendaraan listrik. Hal ini mengikuti kebijakan yang diterapkan di negara-negara di Eropa, China, bahkan Thailand.
Pemerintah sekarang sedang tahap finalisasi menghitung untuk memberikan insentif terhadap pembelian mobil dan atau motor listrik. Insentif akan diberikan kepada pembeli yang membeli mobil atau motor listrik yang mempunyai pabrik di Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif bahkan sempat melontarkan bahwa salah satu yang diprioritaskan mendapat subsidi ini adalah pengemudi ojek daring (ojek online/ojol).
Namun, Darmaningtyas menilai kebijakan ini akan menjadi obral subsidi yang tidak tepat sasaran. ”Yang dapat membeli mobil listrik—meski disubsidi—adalah golongan menengah ke atas. Jadi pemerintah itu justru memberikan subsidi untuk pengusaha ojek online dan orang kaya,” ungkapnya.
Tak hanya itu, subsidi untuk pengemudi ojek juga akan melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sebab, ojek daring tidak termasuk kategori angkutan dengan tarif kelas ekonomi untuk trayek tertentu yang bisa memperoleh subsidi seperti diatur dalam Pasal 185 Ayat 1 UU LLAJ. Selain itu, ojek daring juga tidak memenuhi persyaratan sebagai angkutan umum lainnya seperti memenuhi standar pelayanan minimum yang meliputi aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, keteraturan, dan kesetaraan seperti disebutkan Pasal 141 aturan perundangan yang sama.
Djoko juga menilai harapan pemerintah supaya masyarakat beralih meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil dan mengganti dengan kendaraan berbahan bakar listrik tak akan terjadi. Justru, insentif yang diberikan hanya akan membuat semakin banyak kendaraan di jalan yang akan memperparah kemacetan lalu lintas.
Harapan pemerintah supaya masyarakat beralih meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil dan mengganti dengan kendaraan berbahan bakar listrik tak akan terjadi.
Jumlah kendaraan yang melintasi Jakarta termasuk dari daerah satelit, dalam catatan Badan Pusat Statistik pada 2021, mencapai 4,1 juta unit. Jumlah ini naik 24 persen dari 3,3 juta pada 2020. Adapun jumlah sepeda motor sudah mencapai 16,5 juta unit.
Selain itu, jalan-jalan di Jakarta selalu didominasi kendaraan pribadi. Karena itu, kemacetan tak pernah teratasi (harian Kompas, 16 Desember 2022).
Bus angkutan umum
Djoko dan Darmaningtyas sepakat, semestinya subsidi diberikan kepada pembelian bus berbasis listrik yang digunakan untuk angkutan umum. Dengan demikian, subsidi tepat sasaran, kemacetan teratasi, polusi juga akan berkurang signifikan.
”Jika diberikan ke kendaraan umum, macet dan polusi teratasi sekaligus,” tutur Djoko.
Subsidi juga akan tepat sasaran. Sebab, kata Darmaningtyas, mayoritas pengguna angkutan umum adalah golongan menengah ke bawah.
Jika diberikan ke kendaraan umum, macet dan polusi teratasi sekaligus.
Subsidi pembelian bus listrik untuk angkutan umum juga tidak akan menambah kemacetan jalan. Lain halnya apabila subsidi diberikan kepada pembeli mobil listrik atau motor listrik yang diprioritaskan untuk pengendara ojek daring.
Secara keseluruhan, selain mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, subsidi bus angkutan umum berbasis listrik juga dapat memperbaiki layanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Konsumsi listrik
Kebijakan obral subsidi pun dinilai menjadi salah satu cara pemerintah mendorong konsumsi listrik. Data Direktorat Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, konsumsi listrik per kapita di Indonesia relatif stagnan lima tahun terakhir, yakni 1.065 kWh per kapita pada 2018, 1.084 kWh pada 2019, 1.089 kWh pada 2020, dan 1.123 kWh pada 2021. Capaian ini selalu di bawah target.
Hingga September 2022, konsumsi listrik Indonesia juga masih 1.169 kWh per kapita atau di bawah target 1.268 kWh per kapita. Indonesia juga jauh tertinggal dari negara-negara lain di ASEAN yang rata-rata 3.672 kWh per kapita (Kompas.id, 3 Desember 2022).
Karena itu, Darmaningtyas menyebutkan kepanikan pemerintah dalam mengobral subsidi bagi pembelian kendaraan listrik tidak terlepas dari kebijakan yang salah mengenai pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) sejak tahun 2016. Surplus pasokan listrik terjadi di Jawa. (INA)