Pemanfaatan gas bumi sebagai pengganti elpiji sangat bergantung pada keandalan infrastruktur. Pemerintah sebaiknya turun tangan dan tak cukup mengandalkan swasta.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tantangan masih menghadang pengembangan jaringan gas untuk rumah tangga atau jargas. Penetapan atau insentif harga khusus gas bumi untuk sejumlah industri membuatnya tak menarik bagi pengusaha penyediaan infrastruktur jargas. Dalam pembangunan infrastruktur, intervensi pemerintah juga diperlukan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dalam seminar 20 tahun Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Melayani Negeri, secara hibrida, Jumat (16/12/2022), mengatakan, peran sentral BPH Migas tak hanya pada aspek fiskal terkait subsidi, tetapi juga pada aspek stabilitas moneternya.
Namun, kata Komaidi, masalahnya, cadangan gas bumi Indonesia berkisar 75-85 persen berada di bagian timur. Itu termasuk Blok Masela di laut lepas Maluku yang ditargetkan bisa berproduksi pada 2027. Sementara konsumen terbesar ada di wilayah barat Indonesia.
”Oleh karena itu, kunci pengembangan dan pemanfaatan gas bumi ada pada infrastruktur. Saat ini relatif stagnan karena ada capping margin (harga gas 6 dollar AS per MMBTU untuk sejumlah industri). Itu membuat pengusaha penyediaan infrastruktur jaringan gas, baik dari transmisi maupun distribusi, relatif kurang antusias,” kata Komaidi.
Di sisi lain, kata Komaidi, ada juga pengaruh keterbatasan volume produksi yang membuat kurang menarik dari sisi bisnis. Dengan demikian, meskipun ada aspek keadilan sosial, aspek bisnis tidak masuk dalam hitung-hitungan pelaku usaha atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Dari studi negara-negara lain, termasuk Eropa, harus ada intervensi pemerintah. ”Tak bisa diserahkan pada mekanisme bisnis ke bisnis (business to business) karena volumenya sangat kecil. Misal Pertamina atau PGN (Perusahaan Gas Negara) diminta membangun 1 juta sambungan. Usahanya luar biasa, tetapi saat jualan, volumenya kecil. Tidak menarik,” katanya.
Ia menambahkan, intervensi pemerintah pada pembangunan awal infrastruktur telah dilakukan, antara lain, oleh sejumlah negara, seperti Inggris, Jerman, dan Italia. Bahkan, apabila sudah break even point (BEP), dikembalikan kepada badan usaha milik negara (BUMN) atau badan yang dipercaya.
”Pada 2045 diperkirakan 75 persen mesin di dunia masih dalam bentuk mesin sekarang. Artinya, bahan bakar minyak masih akan digunakan. Porsi energi baru terbarukan memang akan meningkat, tetapi 75 persen (mesin yang masih akan dipakai sama) juga angka yang tak kecil. Artinya, BPH Migas masih berperan terhadap struktur dan ketahanan makro ekonomi,” ujarnya.
Di samping itu, revisi Undang-Undang (UU) tentang Minyak dan Gas Bumi juga menjadi kunci agar migas tetap bisa dioptimalkan dalam transisi energi. Sejak 2008, revisi UU tersebut selalu gagal dituntaskan dan diharapkan bisa selesai sebelum berganti periode pemerintahan.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, menuturkan, saat ini BPH Migas tidak memiliki otoritas untuk turut mengelola infrastruktur yang dibangun pemerintah. Melalui Revisi UU Migas, hal itu juga diharapkan menjadi pertimbangan. ”Termasuk agar bisnis hilir migas ini mestinya terintegrasi. Gas alam cair (LNG), pipa, dan virtual pipeline menjadi satu,” ungkapnya.
Ia juga melihat pasar hilir migas kini menjadi lebih cair. Misalnya, kompor gas yang bisa bertanding dengan jargas. Manajemen hilir migas ke depan perlu dijawab apakah memang perlu diatur, menjadi lebih terintegrasi.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menuturkan, integrasi bisa dilakukan. Misalnya, industri hulu langsung masuk fokus ke jaringan rumah tangga agar secara keekonomian masuk. Ia juga mengusulkan, untuk kawasan-kawasan baru, seperti Ibu Kota Negara (IKN) yang dirancang dari nol, perlu integrasi lebih holistik dari berbagai aspek, termasuk dalam pembangunan infrastruktur energi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, BPH Migas dituntut untuk terus menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi BBM yang vital bagi masyarakat, serta mengatur kegiatan pengangkutan gas bumi lewat pipa. Di samping itu, keberlanjutan program BBM satu harga pun perlu dipastikan.
”Itu untuk mewujudkan ketersediaan dan kemudahan akses, serta keterjangkauan harga BBM, terutama di daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar). Target pembangunan 2022, sebanyak 92 penyalur BBM satu harga, agar terlaksana sehingga secara kumulatif tercipta 423 lokasi. Distribusi dan ketersediaan pasokan bahan bakar dari SPBU ke BBM satu harga juga perlu dipastikan,” kata Arifin.
Adapun dalam pengangkutan gas bumi melalui pipa, imbuh Arifin, BPH Migas terus didorong meningkatkan investasi jaringan wilayah distribusi gas bumi dalam negeri. Hal tersebut penting guna menghadapi berbagai tantangan ke depan. Sinergi semua pihak amat dibutuhkan dalam mengoptimalkan ketersediaan energi di Indonesia.