Persaingan Antarlokapasar di Indonesia Berlangsung Sengit
Karakteristik konsumen Indonesia relatif masih berorientasi pada harga. Dengan kata lain, harga masih menjadi faktor utama dalam pembelian barang.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan perdagangan secara elektronik atau e-dagang asal China, JD.com, santer dikabarkan sedang mempertimbangkan hengkang dari lokapasar JD Indonesia dan Thailand demi fokus mempertajam pasar di negara asal. Ketatnya persaingan pasar e-dagang di Indonesia diduga turut memengaruhi keputusan perusahaan asal China tersebut.
Rumor JD.com akan hengkang sebagai pemegang modal di JD Indonesia dan Thailand sebenarnya telah mencuat pada akhir November 2022. Media The South China Morning Post pada 29 November 2022 pernah menuliskan, JD.com sedang mencari investor baru untuk mengambil alih kepemilikannya di JD.ID, perusahaan patungannya di Indonesia dengan Provident Capital. Lalu, JD.com juga sedang berusaha cabut dari JD Central, lokapasar patungan JD.com dengan perusahaan Thailand bernama Central Group. Di kedua negara ini, meraup pertumbuhan penjualan masih jadi tantangan.
Pihak JD.ID belum memberikan tanggapan ketika dikonfirmasi kebenaran atas santernya rumor JD.com sebagai pemegang modal akan mundur serta kelangsungan JD.ID tahun depan.
Meski demikian, dua hari lalu, melalui akun resmi JD.ID Workspace di Instagram, pihak JD Indonesia menyatakan terdapat perampingan 30 persen dari total karyawan atau sekitar 200 orang. Langkah adaptasi perlu diambil perusahaan untuk menjawab tantangan perubahan bisnis yang cepat. Perampingan adalah salah satu langkah yang diambil.
JD.ID juga berkomitmen untuk terus memberikan dukungan kepada karyawan terdampak, misalnya dengan tetap memberikan manfaat asuransi, promosi talenta, dan hak-hak lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Head of Corporate Communications and Public Affairs JD.ID Setya Yudha Iswara, Kamis (15/12/2022), di Jakarta membenarkan unggahan di akun JD.ID Workspace itu.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan, pihaknya belum mendapat kejelasan informasi terkait santer mundurnya JD.com dari JD.ID. Meski demikian, idEA optimistis pasar e-dagang di Indonesia masih memiliki peluang tumbuh besar.
”Meski belanja luring telah menggeliat kembali, kami tetap yakin belanja daring masih akan tumbuh. Potensi e-dagang yang belum tergarap juga masih cukup besar,” ujar Bima.
Mengutip laporan riset e-Economy SEA 2022 yang dikeluarkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, terlepas dari tantangan ekonomi makro, ekonomi internet di enam negara Asia Tenggara tetap berada di jalur untuk mencapai nilai barang dagangan bruto (GMV) sebesar 200 miliar dollar AS pada 2022. Pencapaian nilai ini lebih cepat tiga tahun dari yang diproyeksikan dari laporan e-Economy SEA tahun 2016. Adopsi digital terus meningkat meskipun dengan kecepatan lebih lambat daripada akselerasi tajam yang terlihat pada puncak pandemi Covid-19.
Tiap-tiap subsektor ekonomi internet memiliki tren pertumbuhan berbeda. Sesuai laporan itu, tren pertumbuhan e-dagang seperti kurva ”S”. Artinya, e-dagang tetap bertumbuh, tetapi dari titik awal yang lebih tinggi setelah akselerasi tajam selama pandemi Covid-19.
Dalam laporan yang sama disebutkan, e-dagang terus mendorong ekonomi internet di Indonesia. Sebanyak 77 persen dari keseluruhan ekonomi internet Indonesia disumbang oleh e-dagang. Pada akhir 2022, total GMV e-dagang diperkirakan mencapai 59 miliar dollar AS. Hingga tahun 2025, sektor e-dagang Indonesia diproyeksikan tumbuh dengan rata-rata 17 persen per tahun, dengan nilai GMV akan tembus 95 miliar dollar AS.
Chief Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede, saat dihubungi secara terpisah, berpendapat, prospek pasar e-dagang di Tanah Air memang besar. Ini dipengaruhi oleh penetrasi internet yang semakin meningkat serta didorong oleh demografi yang sebagian besar usia muda sehingga digitalisasi di berbagai aspek akan berkembang.
Namun, permasalahan yang terjadi sekarang adalah kebanyakan perusahaan rintisan bidang teknologi (start up) di Indonesia tidak memiliki strategi bisnis yang memperhatikan profitabilitas. Rata-rata mereka lebih menekankan edukasi pasar produk mereka terlebih dahulu.
Profitabilitas negatif dimungkinkan karena rata-rata mereka disokong oleh dana murah yang tersedia ketika suku bunga global cenderung rendah. Ketika kondisi makroekonomi berubah, berbagai bank sentral global mulai meningkatkan suku bunga. Akibatnya, dana murah tidak tersedia lagi.
”Ketersediaan dana murah yang sebelumnya terjadi membuat antarperusahaan e-dagang bersaing ketat. Semakin besar kemampuan meraih dana murah dari berbagai pemodal ventura, semakin besar promo yang bisa disediakan oleh lokapasar. Hal ini cenderung mematikan lokapasar lain atau semacam predatory pricing,” kata Josua.
Orientasi harga
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpendapat, karakteristik konsumen Indonesia relatif masih berorientasi pada harga. Dengan kata lain, harga masih menjadi faktor utama dalam pembelian barang.
”Ditambah lagi, di kalangan pemain e-dagang, perang diskon dan promo berlangsung sangat ketat. Maka, perusahaan yang tidak siap dan enggan mengikuti keinginan konsumen pasti akan tertinggal. Tidak kuat bersaing,” ujar Nailul.
Enam tahun lalu, Rakuten, lokapasar asal Jepang, memutuskan berhenti beroperasi di Indonesia per 1 Maret 2016. Selain Indonesia, Rakuten juga menghentikan operasionalnya di Singapura dan Malaysia. Saat itu, Rakuten hanya menyebut keputusan penghentian operasi dilakukan sebagai bagian dari transformasi bisnis.
Pada 1 September 2020, lokapasar Blanja.com resmi tutup. Blanja.com merupakan perusahaan patungan antara Telkom Indonesia dan pemain e-dagang besar asal Amerika Serikat, eBay. Telkom Indonesia menyatakan, sejalan dengan program transformasi perusahaan, terhitung 1 Oktober 2020, Telkom hanya akan fokus pada bisnis e-dagang di segmen korporasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui skema bisnis ke bisnis (B2B).
Saat ini masih ada pemain lokapasar merek asing beroperasi di Indonesia. Sebagai contoh, Lazada dan Shopee. Dalam 10 tahun terakhir, sejumlah perusahaan e-dagang buatan dalam negeri juga sudah ada yang menutup operasional. Misalnya, Qlapa yang bangkrut pada 2019. Ada juga Fabelio yang pada awal Oktober 2022 telah dinyatakan pailit berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 47/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.JKT.PST.