Sebagian UMKM Masih Ragu Mengadopsi Teknologi Digital
Sebagian pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah masih memiliki keraguan dalam mengadopsi teknologi digital. Penyebabnya, antara lain, faktor usia hingga faktor ketidakpercayaan terhadap kemampuan teknologi digital.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah masih memiliki keraguan dalam mengadopsi teknologi digital. Penyebabnya, antara lain, faktor usia hingga faktor ketidakpercayaan terhadap kemampuan teknologi digital. Padahal, adopsi teknologi digital memberikan peluang dan manfaat bagi UMKM.
Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Ardhiana dalam Webinar G20 bertajuk ”Digitizing Indonesia’s Informal Economy” yang diselenggarakan Indef dan Gotoko di Jakarta, Selasa (6/9/2022), secara virtual, mengatakan, sangat penting meningkatkan literasi digital bagi masyarakat sehingga UMKM memiliki kembali kepercayaan terhadap pemanfaatan teknologi digital.
Nyoman menjelaskan, berdasarkan Survei Boston Consulting Group tahun 2022, ada berbagai alasan UMKM enggan menggunakan platform e-dagang. Alasan utama yang ditemukan, antara lain, keterbatasan modal untuk pengembangan bisnis secara daring mencapai 28,8 persen, kurangnya literasi digital 27 persen, dan tidak memadai perangkat dan alat digital sebesar 10,8 persen. Dalam upaya meningkatkan literasi digital dari 20 persen menjadi 50 persen saja bagi UMKM diperkirakan membutuhkan sekitar 38 miliar dollar AS pada tahun 2024.
Pandemi sesungguhnya merupakan momentum peluang bagi Indonesia untuk mempercepat go digital. Pertumbuhan ekonomi digital akan mencapai empat kali lipat. Tingkat persaingan digital antarprovinsi juga semakin merata akibat pembangunan infrastruktur digital. Pemanfaatan ekonomi digital oleh UMKM menjadi lebih baik lagi.
”Kita dituntut untuk meningkatkan kemampuan digital. Untuk itu, hasil indeks literasi digital menunjukkan tingkat kecakapan digital kita naik mencapai 3,49 dari nilai maksimum 5,0. Namun, indikator ini masih berada dalam kategori sedang tingkat kecakapan digitalnya sehingga pemerintah perlu memacu,” kata Nyoman.
Karena itu, lanjut Nyoman, pemerintah memiliki program yang sangat masif terkait dengan literasi digital dengan tujuan meningkatkan intensifikasi kecakapan digital dan menggencarkan kolaborasi di bidang teknologi.
Nyoman menjelaskan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah melakukan pemetaan dalam upaya meningkatkan kecakapan digital. Pertama, perlu didorong ekosistem e-dagang dan UMKM itu sendiri. Ekosistem e-dagang itu misalnya ekosistem lingkungan usaha, sistem pembayaran digital, perlindungan data, logistik, dan infrastruktur digital.
Sementara ekosistem UMKM lebih berada dalam lingkup Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Misalnya, akses pasar, sertifikasi, permodalan, perpajakan, dan pendanaan. Untuk itu, kolaborasi kementerian/lembaga sangat penting dalam mempercepat digitalisasi UMKM.
”Literasi digital yang kami lakukan sangat masif, targetnya 12,5 juta pengguna tahun ini. Bidang yang ditingkatkan terutama kemampuan digital yang sangat dasar, etika digital, dan budaya digital yang memadai,” ujar Nyoman.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, potensi ekonomi digital Indonesia semakin tumbuh. Tahun 2020, potensi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia sebesar Rp 632 triliun dan akan terus meningkat menjadi Rp 4.531 triliun pada tahun 2030. Pertumbuhan ini sangat signifikan, delapan kali lipat hanya dalam waktu 10 tahun.
”Kami terus mendukung pengembangan wirausaha muda dan percepatan UMKM go digital, antara lain menciptakan ekosistem usaha yang baik dan sehat dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional 2021-2024,” kata Teten.
Selain itu, lanjut Teten, membuka akses pasar terhadap UMKM dan koperasi melalui kebijakan afirmasi sebesar 40 persen belanja pemerintah atau sebesar Rp 400 triliun untuk tahun anggaran 2022 melalui penyerapan produk-produk UMKM dan koperasi. Kemudian, memfasilitasi pembiayaan melalui kredit usaha rakyat (KUR) dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Berbagai platform digital pun dibangun untuk memberikan pelayanan bagi UMKM.
Perkembangan digital
Eisha M Rachbini, Head of Center of Digital Economy dan UKM Indef, memandang, perkembangan ekonomi digital memang sangat cepat di Indonesia akibat restriksi mobilitas yang disebabkan pandemi Covid-19. Indonesia menjadi salah satu negara yang terbesar dalam perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara.
Diproyeksikan, kata Eisha, ekonomi digital Indonesia bisa mencapai 46 miliar dollar AS. Mereka didominasi bergerak di bidang perdagangan, media online, transportasi dan makanan-minuman. Ini akan terus berkembang.
”E-dagang paling potensial pertumbuhannya di Indonesia dibandingkan sektor lainnya. Selama tahun 2019-2021, e-dagang tumbuh lebih dari 50 persen. Potensi ini akan terus berkembang karena kita memiliki populasi penduduk besar sekali, hampir mencapai 300 juta jiwa,” ujar Eisha.
Bukan hanya dari tingkat populasi, Indef melihat pula dari tingkat tenaga kerja produktif sebanyak 191,08 juta orang, generasi Y atau milenial sebesar 69,9 juta (25,87 persen), dan generasi Z sebesar 75,49 juta orang (27,9 persen). Di samping itu, pemerintah terus meningkatkan konektivotas internet dan mengembangkan infrastruktur digital.
Eisha mengatakan, dalam survei Badan Pusat Statistik, sebesar 98 persen UMKM terkena dampak pandemi Covid-19, baik dari sisi penjualan maupun penurunan revenue. Namun, UMKM Indonesia memiliki karakteristik unik. Mereka cepat beradaptasi dengan melihat peluang potensi untuk masuk platform digital, walaupun baru sekitar 17 persen UMKM Indonesia yang masuk ke e-dagang.
CEO and President Director of the Board Gotoko Gurnoor Singh Dhillon mengatakan, salah satu peluang pengembangan UMKM adalah melalui platform Warungs. Berangkat dari fenomena toko tradisional, Gotoko memperlihatkan adanya sejumlah kelemahan yang sesungguhnya bisa diatasi dengan teknologi digital.
Dia mencontohkan, sewaktu pemilik toko tradisional berbelanja kembali atau kulakan barang, toko terpaksa ditutup sekitar dua jam. Padahal, dengan waktu yang terbuang tersebut, pelanggan yang rata-rata membelanjakan uangnya sebesar Rp 15.000 saja berarti pemilik toko sudah kehilangan penjualan yang cukup besar.
Karena itulah, Gotoko dengan pengembangan teknologi digitalnya menunjukkan efisiensi yang bisa diperoleh pemilik toko tradisional. Mulai dari penyediaan barang hingga proses penjualan yang memiliki jangkauan pasar yang sangat luas.