Pemerintah Setujui Pembentukan Majelis Tenaga Nuklir
Nuklir menjadi salah satu pokok pembahasan dalam daftar inventarisasi masalah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan. Salah satu hal yang dibahas dalam rancangan itu adalah soal pembentukan majelis tenaga nuklir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyetujui pembentukan majelis tenaga nuklir yang akan menjadi salah satu hal yang akan dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau RUU EBET. Pembahasan RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat itu masih menunggu penyerahan resmi daftar inventarisasi masalah dari pemerintah ke Komisi VII DPR.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan hal itu saat menyampaikan pandangan pemerintah terkait RUU EBET dalam rapat kerja pemerintah dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/11/2022). Hadir juga dalam rapat itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Selain menyetujui Majelis Tenaga Nuklir (MTN), pemerintah juga mengusulkan kewenangan MTN, yaitu terkait pengkajian kebijakan, pelaksanaan pengawasan dan evaluasi, serta penyusunan rekomendasi kebijakan. ”Juga mengusulkan pelaksana PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) adalah badan usaha yang memiliki kompetensi di bidang ketenaganukliran untuk kelistrikan,” katanya.
Pemerintah juga menyetujui substansi terkait persetujuan pembangunan PLTN yang diusulkan DPR dengan catatan hal itu berlaku untuk PLTN dengan teknologi sebelum generasi ketiga. Sementara terkait pertambangan galian nuklir, pemerintah mengusulkan agar tidak diatur dalam RUU EBET karena telah diatur secara detail dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara.
Nuklir menjadi salah satu pokok substansi DIM RUU EBET selain hal lain, seperti transisi energi dan peta jalan; sumber EBET; perizinan usaha; penelitian dan pengembangan; harga EBET; insentif; dana EBET; dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Ada juga partisipasi masyarakat; pembagian kewenangan, kewajiban penyediaan EBET, dan konservasi energi.
”RUU EBET diharapkan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, NDC (Nationally Determined Contribution) pada 2030, dan NZE (emisi nol bersih) pada 2060 atau lebih cepat. Dengan potensi nasional yang besar, beragam, dan tersebar, pemanfaatan EBET diyakini akan meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi,” kata Arifin.
Sebelumnya, Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Suparman, dalam diskusi terkait NZE, Oktober 2022, mengatakan, selama ini, posisi nasional akan PLTN lemah. Belum ada keputusan pasti dari pemerintah, apakah hendak membangunnya atau tidak. Apabila sudah ditentukan, sisi industri mesti disiapkan. (Kompas, 25/10/2022)
Dalam diskusi itu disebutkan bahwa negara-negara maju di dunia memiliki PLTN, sedangkan negara berkembang belum. Keunggulan PLTN adalah energinya stabil, andal, dan volatilitas rendah. Sempat ada kekhawatiran PLTN tak bisa dibangun karena Indonesia terletak di cincin api (ring of fire) yang sering terjadi gempa dan letusan gunung berapi. Namun, kata Suparman, dari studi, ada sejumlah daerah yang dianggap memenuhi persyaratan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
DIM ditagih
Dalam rapat Selasa, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mendesak pemerintah untuk segera menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET. Sebab, surat presiden (surpres) untuk pembahasan RUU itu sudah diterima DPR, tetapi tidak disertai DIM. Ia mengaku kecewa meski di sisi lain memahami akan kesibukan pemerintah di tengah sejumlah agenda.
Sebelumnya, DPR berharap RUU EBET dapat disahkan sebelum pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang salah satu isu utamanya terkait transisi energi. Namun, pembahasan belum juga dilakukan karena DIM belum diserahkan kembali dari pemerintah kepada DPR.
Arifin menuturkan, penyerahan DIM, secara formal harus melalui Sekretariat Negara. Namun, dalam rapat Selasa itu, pemerintah tetap menyerahkannya dalam bentuk draf kepada Komisi VII DPR. Nantinya, saat DIM yang terdapat total 574 nomor tersebut sudah diserahkan secara formal kepada DPR, maka pembahasan akan segera dilakukan.
Sugeng pun tetap mengapresiasi penyerahan draf tersebut. ”Undang-undang ini produk politik. Apa pun, informasi ini akan kami sebar kepada fraksi-fraksi. Ini akan menentukan bagaimana RUU nanti disusun, dengan segala pasal dan ayat di dalamnya. Insya Allah akan menjadi bekal dalam memasuki transisi energi, ke energi baru terbarukan,” ujarnya.
Saat ditemui di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (20/11/2022), Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, hal yang alot dalam pembahasan DIM RUU EBET antarkementerian ialah terkait power wheeling. Namun, sudah ada sejumlah opsi sehingga DIM diharapkan bisa segera dirampungkan untuk dibahas di DPR.
Power wheeling ialah penggunaan bersama jaringan transmisi. Dengan skema tersebut, transfer energi listrik bisa langsung dari sumber energi terbarukan non-PLN ke perusahaan yang menggunakannya. Namun, tetap memakai jaringan transmisi PLN. Nantinya, akan ada pembayaran biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan itu.
Erick, dalam rapat kerja Selasa (29/11/2022), mengatakan, Kementerian BUMN mendorong transformasi di PLN secara menyeluruh. Dengan tren baru di tingkat global, suka tidak suka, perubahan iklim terus terjadi. Oleh karena itu, ada peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan, termasuk energi panas bumi dan hidro, yang belum termanfaatkan optimal.
”Tansformasi di PLN sudah dijalankan lewat holding dan subholding. Holding PLN akan fokus pada transmisi dan ritel. Sementara subholding ada beyond kWh atau di luar kelistrikan. Ada juga spin off subholding power atau geotermal dan ada batubaranya juga. Transisi energi (pembangkitan) ini, suka tidak suka, menuju ke sana. Hanya, catatannya adalah bagaimana transisi ini berjalan karena hari ini sedang oversupply (kelebihan pasokan listrik),” kata Erick.