Apabila 23 persen EBT dalam bauran energi nasional itu tercapai pada 2025, masih ada 77 persen, yang tidak hijau. Sumberdaya untuk “menghijaukan” yang masih “cokelat” itu ada, tetapi yang siap-pakai belum tersedia.
Oleh
L WILARDJO
·5 menit baca
Sesuai dengan advertorial “Net Zero Carbon” dari program “Bakti Lingkungan”-nya Yayasan Djarum yang muncul di Kompas beberapa waktu lalu, PLN menyatakan siap membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan (PL-EBT) dengan kapsitas daya 10,6 GWe sampai tahun 2025 (Kompas, 8/12/2021). Kalau rencana itu terealisasi, pangsa 23 persen EBT dalam bauran energi yang ditetapkan dalam Kebijaksanaan Energi Nasional (KEN) tidak hanya tercapai, tetapi bahkan terlampaui.
Kapasitas daya sebesar 10,6 Gwe itu, dua penyumbang yang terbesar ialah PLTS (surya) dan PLTA (air), yang masing-masing akan membangkitkan listrik dengan daya 3,9 GW dan 3,1 GW. Selebihnya akan diperoleh dari PLTP (panas bumi/geotermal). PLTM (mikrohidro), PLTBio, dan PLTB (bayu/angin).
PLTBio membangkitkan listrik dengan bahan bakar nabati (biofuel), mungkin termasuk sampah dan limbah (PLTSal), tetapi yang pasti ialah biodiesel, meskipun sekarang belum 100 persen “bio”, seperti B-30 (30 persen CPO/minyak sawit yang dicampur dengan 70 persen diesel fosil). Pada waktunya, nanti, B-30 akan menjadi B-100 (murni nabati). Kesulitannya, konon, ialah mengenolkan takmurnian (impuritas)-nya, yang menyebabkan korosi.
PLTSal harus dibangun lebih banyak lagi, tetapi sampahnya difermentasi saja di bak-bak pencerna (digester), sebab insinerasi (pembakaran) sampah akan menyebarkan dioksin yang beracun.
Istilah “Net Zero Carbon Emission” yang dipakai Djarum dalam advertorialnya di Kompas memang tepat dan lebih besar peluangnya untuk tercapai. Emisi netto itu emisi karbon total dikurangi absorpsi karbon. Yang menyerap karbon ialah hutan-rimba hijau, lahan “tidur” yang dihijaukan dengan penanaman pohon trembesi, hutan bakau di sepanjang pantai, dan fitoplankton di lautan, yang boleh dikatakan tak berbilang jumlahnya. Respirasi dan fotosintesis flora itu menyerap CO2 dari udara dan mengimbangi emisi karbon (dalam gas rumah kaca, yakni CO, CO2, dan CH4) dari sektor industri, transportasi, dan pertanian/peternakan.
Sungap karbon (carbon sink) itulah yang sekarang secara metaforis disebut “energi biru” (blue energy). Jangan dikacaukan dengan “blue energy” yang dahulu bersama dengan padi “supertoy” pernah terdengar di media massa, tetapi kemudian ternyata hanya hoaks belaka.
Energi terbarukan yang lain
Sebenarnya ada PLET (Energi Terbarukan) lain yang belum dan boleh jadi tidak akan digarap, yakni PLT-MHD (magnetohidrodinamik) dan PL-KETS (konversi energi termal samudra). Potensi PLT-MHD tidak seberapa, sebab di Indonesia tidak banyak sungai besar yang arusnya deras, sedang medan geomagnetik tetap saja besarnya, seberapa yang diberikan oleh alam.
Sedangkan potensi PL-KETS besar sekali, mengingat di Indonesia ada Laut Banda yang palungnya sangat dalam. Tetapi, walaupun secara ilmiah KETS itu sudah kita kuasai, teknologi untuk menyadap energinya sangat sulit dan mahal sekali. Usaha penyadapan energi berdasarkan perbedaan suhu antara permukaan dan dasar laut ini pernah diteliti oleh Dr LM Panggabean, yang pada waktu itu seorang APU (ahli peneliti utama) dan menjadi Direktur Energi di BPPT. Penelitian yang dibantu Belanda itu tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Jadi, memang tepatlah kebijakan Ditjen EBT-KE dan PLN untuk tidak menggarap PL-MHD dan PL-KETS.
Tiadanya nuklir dalam EBT yang digarap PLN itu sesuai dengan KEN, yang mencantumkan stipulasi bahwa nuklir adalah opsi terakhir.
Dalam rencana PLN untuk mencapai 23 persen EBT itu tidak disebutkan akan adanya nuklir, meskipun “B” (baru) dalam “EBT” itu dapat ditafsirkan sebagai nuklir yang sejauh ini belum digarap di PLTN dengan reaktor-reaktor dayanya sehingga kalau nanti ada energinya bagi Indonesia akan merupakan energi baru. Tiadanya nuklir dalam EBT yang digarap PLN itu sesuai dengan KEN, yang mencantumkan stipulasi bahwa nuklir adalah opsi terakhir.
Energi hijau
Energi terbarukan itu dalam konsensus internasional untuk menuju era emisi nol karbon berarti “energi hijau” (green energy), yang didefinisikan Bank Dunia sebagai energi yang pembangkitannya tidak dibarengi emisi karbon. Energi nuklir yang diperoleh dari PLTN tidak benar-benar “hijau”, sebab uranium atau thorium, sebelum menjadi elemen bahan-bakar nuklir yang siap dibelah di dalam teras reaktor, harus diolah dulu melalui proses yang panjang (pengilangan bijih (ore)-nya, pemerkayaan (enrichment)-nya, dan pengemasannya dengan salutan zirconium menjadi pelet elemen bahan-bakar). Proses itu dilakukan dengan listrik yang dibangkitkan dengan energi cokelat (brown energy) yang menghamburkan karbon. PLTN itu 4 persen semburat cokelat.
Terpaksa
Apabila 23 persen EBT dalam bauran energi nasional itu tercapai pada tahun 2025, masih ada bagian yang lebih besar, yakni 77 persen, yang tidak hijau. Sumberdaya untuk “menghijaukan” yang masih “cokelat” itu ada, tetapi yang siap-pakai, belum tersedia (available). Kita masih terpaksa terus memakai energi cokelat dengan membakar batubara di PLTU dan mengopersasikan PLTD (diesel). Di sektor transportasi juga masih kita pakai BBM – bumi seperti solar.
Efisiensi konversi termal mekanis listrik di PLTU harus ditingkatkan dengan menerapkan teknologi yang lebih canggih, seperti “pembakaran semaian terzalir” (fluidized bed combustion). Program “Langit Biru” untuk mengurangi polusi udara di daerah perkotaan dengan beralih ke kendaraan listrik juga baik, meskipun listrik untuk mengecas baterainya masih dari PLTU. Deforestasi dan kebakaran, apalagi pembakaran lahan gambut harus dihentikan, sebab pembakaran kayu dan lahan gambut (peat soil) melepaskan karbonnya ke udara.
Efisiensi konversi termal mekanis listrik di PLTU harus ditingkatkan dengan menerapkan teknologi yang lebih canggih, seperti “pembakaran semaian terzalir”
“Sheila” (shale), yakni batuan yang mengandung minyak, tidak usah kita pikirkan, sebab sheila itu, seandainya kita punya pun, eksploitasinya dari dasar laut yang dalam memerlukan teknologi yang tidak kita kuasai. “Sheila” kita pakai sebagai padanan shale (Ing), sebab ada kata “séla” (Jawa) yang berarti “batu”.
"Go Nuclear"?
Kalau disetujui parlemen (DPR dan DPD, berarti juga MPR), secara demokratis Indonesia bisa saja nekad “go nuclear”, dengan membangun PLTN untuk menuju atom pour la guerre (membuat alutsista nuklir untuk berperang mempertahankan negara) Jiran di selatan kita, membentuk “poros” AUKUS bersama Amerika Serikat dan Inggris Raya untuk memperoleh pasokan kapal selam nuklir dan teknologi pembuatannya.
Langkah go nuclear itu, walaupun gegabah, tidak akan melanggar tiga sila yang terakhir dalam Pancasila. Tetapi bagaimana dengan sila pertama dan kedua? Apakah nuklir sebagai senjata pemusnah massal dapat kita terima secara moral?