Di tengah perbaikan sistem penyaluran pupuk bersubsidi, petani serta distributor dan pengecer pupuk terantuk berbagai problem. Petani juga terbebani lonjakan harga pupuk nonsubsidi di tengah penurunan alokasi pupuk itu.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Persoalan pupuk pada tahun ini semakin kompleks. Tak hanya terkait masalah klasik pupuk, yakni pendataan penerima dan ketidaktepatan pendistribusian, tetapi juga kenaikan harga pupuk nonsubsidi dan berkurangnya alokasi pupuk subsidi. Petani, distributor, dan pengecer pun terantuk problem pupuk.
”Petani kerap kesulitan mencukupi kebutuhan pupuk bersubsidi. Kalaupun harus membeli pupuk nonsubsidi, harganya mahal. Sampai ada yang membeli pupuk abal-abal yang harganya lebih murah,” kata Mulyana, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sukakarya, Bekasi, Jawa Barat, Senin (28/11/2022).
Tak hanya itu, lanjut Mulyana, masih banyak petani yang belum terdaftar dan memperoleh Kartu Tani. Padahal untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani wajib memiliki kartu itu. Proses administrasi Kartu Tani juga lama, yakni sekitar lima bulan. Hal itu sangat mempersulit petani karena petani penggarap atau penyewa lahan umumnya kerap berganti.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja Distribusi Pupuk di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rapat itu dalam rangka menggali masukan dari perwakilan distributor, pengecer, dan gabungan kelompok tani terkait masalah dan solusi distribusi pupuk.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Asosiasi Distributor Pupuk Indonesia (ADPI) Agung Wahyudi juga berpendapat senada. Tak banyak petani yang mampu membeli pupuk nonsubsidi. Saat ini, harga pupuk nonsubsidi berada di kisaran Rp 400.000-Rp 500.000 per zak atau 3-4 kali lipat harga pupuk subsidi.
Selain itu, banyak pengecer yang kesulitan membagi jatah pupuk bersubsidi kepada kelompok tani sesuai jatah alokasi yang ditetapkan. Hal itu terjadi lantaran jatah yang diterima petani jauh dari data kebutuhan dalam Sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
”Pemerintah mewajibkan kami menjaga stok pupuk untuk dua minggu ke depan. Di waktu-waktu tertentu, seperti musim tanam, kami tidak mungkin bisa menjaga stok selama itu. Apalagi jika alokasi pupuk bersubsidi dari produsen semakin dikurangi,” kata Agung.
Agung juga mengaku, sejak 2012, penggantian biaya penyaluran pupuk bersubsidi yang diterima distributor dan pengecer tidak pernah diubah. Biaya penggantian bagi distributor masih Rp 90 per kilogram (kg) dan pengecer Rp 68 per kg.
Padahal, harga bahan bakar transportasi sudah naik dan inflasi juga tinggi. Jika masih menggunakan biaya penggantian lama, pendapatan dan modal para distributor dan pengecer bisa semakin tergerus.
”Kami tidak bisa menentukan besaran penggantian biaya penyaluran itu. Besaran penggantian itu ditentukan oleh produsen pupuk bersubsidi atas persetujuan Kementerian Pertanian, kata Agung yang mengusulkan penggantian biaya itu bisa naik sekitar 90 persen.
Sejak 2012, penggantian biaya penyaluran pupuk bersubsidi yang diterima distributor dan pengecer tidak pernah diubah. Padahal harga bahan bakar transportasi sudah naik dan inflasi juga tinggi.
Perbaikan distribusi
Pada 8 Juli 2022, pemerintah resmi mengundangkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Dalam regulasi itu, pemerintah hanya menyubsidi pupuk urea dan NPK.
Kedua pupuk itu hanya dapat digunakan pada sembilan komoditas pangan, yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi, dan kakao. Sebelumnya, pemerintah menyubsidi lima jenis pupuk, yakni ZA, urea, NPK, SP-36, dan pupuk organik petroganik. Pupuk bersubsidi itu menyasar 70 komoditas pangan.
Dalam empat tahun terakhir, pemerintah juga mengurangi anggaran subsidi pupuk. Pada 2019 dan 2020, anggaran subsidi pupuk dialokasikan masing-masing Rp 34,31 triliun dan Rp 34,23 triliun. Kemudian pada 2021 dan 2022, anggaran itu turun masing-masing menjadi Rp 29,1 triliun dan Rp 25,3 triliun.
Pada tahun ini, kebutuhan pupuk bersubsidi yang tercatat dalam e-RDKK mencapai sekitar 25 juta ton per tahun. Dari kebutuhan itu, alokasi pupuk subsidi yang ditetapkan pemerintah sebanyak 7,7 juta ton.
Pemerintah juga berupaya memperbaiki penyaluran pupuk subsidi. Untuk mendapatkan pupuk subsidi, petani wajib memiliki Kartu Tani yang berfungsi sebagai data sekaligus untuk pembayaran pupuk subsidi menggunakan mesin electronic data capture (EDC) dari bank mitra pemerintah.
PT Pupuk Indonesia (Persero) bahkan mengimplementasikan teknologi digital dalam penyaluran dan pengawasan pupuk bersubsidi dari lini I (produsen) sampai lini IV (kios/pengecer). Teknologi itu berupa Distribution Planning & Control System (DPCS).
”Sistem ini dapat memantau stok dan pergerakannya sesuai waktu sebenarnya (real time), mulai stok dari pabrik, gudang, pelabuhan, distributor, hingga ke kios atau pengecer,” kata Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia Gusrizal melalui siaran pers.
Melalui penggunaan aplikasi REKAN, kami berharap potensi kecurangan di tingkat kios resmi dapat diperkecil.
Selain itu, Pupuk Indonesia juga membuat aplikasi digital REKAN yang berfungsi untuk memproses penebusan pupuk bersubsidi. Aplikasi ini dapat diintegrasikan dengan data petani dalam e-RDKK, mekanisme pembayaran Kartu Tani milik Himbara, serta QRIS dan sejumlah metode pembayaran lain. Saat ini, aplikasi tersebut tengah diuji di Bali dan berikutnya di Aceh.
”Melalui penggunaan aplikasi REKAN, kami berharap potensi kecurangan di tingkat kios resmi dapat diperkecil,” kata Gusrizal.