Indonesia Perlu Serukan Kolaborasi Pengembangan Teknologi Energi Terbarukan
Sebagai negara khatulistiwa, banyak potensi energi terbarukan di Indonesia, baik biomassa, surya, angin, gelombang laut, arus laut, maupun tenaga hidrogen. Akan tetapi, pengembangan teknologi dasar masih lemah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih amat minim kendati potensinya besar. Hal itu disebabkan, antara lain, masih belum optimalnya pengembangan teknologi energi terbarukan di dalam negeri. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi G20 menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menyerukan kolaborasi dalam pengembangan teknologi energi tebarukan.
Pakar energi dari Pusat Studi Energi (PSE) Univesitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Guru Besar bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik UGM, Deendarlianto, dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/11/2022), mengatakan, situasi geopolitik global membuat rantai pasok minyak dan gas bumi terganggu. Kondisi itu pun mendorong momentum pengembangan energi terbarukan.
Kebutuhan akan pengembangan energi bersih menguntungkan bagi Indonesia dari sisi sumber daya. Sebagai negara khatulistiwa, banyak potensi energi terbarukan di Indonesia, baik biomassa, surya, angin, gelombang laut, arus laut, termasuk tenaga hidrogen. Akan tetapi, menurut Deendarlianto, pengembangan teknologi dasar bidang energi terbarukan di Indonesia masih lemah.
”Karena itu, momentum G20 sebaiknya dimanfaatkan Indonesia untuk menjadikan transisi energi sebagai isu utama dalam KTT dan mendorong kolaborasi pengembangan teknologi dasar. Harapannya, ada kerja sama internasional yang mendukung penyebaran teknologi dasar ke negara-negara berkembang. Juga mendorong pengembangan kapasitas,” ujar Deendarlianto.
Sejumlah hal lain yang perlu terus dikejar Indonesia ialah mendorong investasi hijau, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan riset di perguruan tinggi. Selain itu, selama ini vokasi kerap terlupakan. Padahal, menurut Deendarlianto, negara industri bisa menjadi negara industri maju jika vokasinya kuat.
”Dalam mengejar target emisi nol bersih (NZE), Indonesia bisa terus mendorong pinjaman lunak terhadap pengembangan energi terbarukan. Itu dilakukan seraya menutup pinjaman yang mengarah pada pemanfaatan energi fosil,” katanya.
Deendarlianto menambahkan, saat ini industri manufaktur bidang energi terbarukan cenderung terpusat di Jawa Barat dan Banten, serta di Kepulauan Riau untuk wilayah Sumatera. Padahal, permintaan energi terbarukan juga ada di Indonesia bagian timur. Dengan demikian, tantangan ke depan ialah bagaimana pemerataan industri manufaktur tersebut dapat terwujud.
Mengenai dukungan regulasi dalam transisi energi, Deendarlianto menilai ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki. ”Yakni pada skema bisnis, insentif, dan kebijakan harga. Saat ini harga listrik berbasis energi terbarukan dihargai 85 persen dari biaya pokok penyediaan (BPP) setempat. Dari harga jual, keberpihakan pada energi terbarukan masih belum tampak,” ucapnya.
Indonesia memiliki target emisi nol bersih pada 2060. Sementara Nationally Determined Contribution (NDC) belum lama ini dimutakhirkan dalam Enhanced NDC. Apabila sebelumnya, pada Updated NDC (UNDC), target penurunan emisi 29 persen dengan kemampuan sendiri, kini menjadi 31,89 persen. Adapun target penurunan dengan dukungan internasional meningkat dari 41 persen menjadi 43,20 persen.
Indonesia juga memiliki target energi terbarukan pada bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025. Perlu ada upaya ekstrakeras dalam upaya mencapai itu karena hingga akhir 2021, realisasinya baru 11,5 persen.
Transisi mulus
Dekan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti M Burhannudinnur mengingatkan, meskipun sejumlah negara, termasuk Indonesia, kian ambisius dalam menargetkan capaian penurunan emisi karbon, pemenuhan kebutuhan energi mesti tetap dipastikan. Indonesia memiliki banyak jenis energi terbarukan, tetapi transisi energi haruslah berjalan mulus.
Nationally Determined ContributionEnergi di Indonesia khas dan banyak pilihan. Jadi, jangan satu dimatikan, sedangkan yang lainnya belum hidup. Transisi energi perlu dikejar, tetapi dengan kehati-hatian. Selain itu, dalam pengembangan energi terbarukan, Indonesia juga harus menjadi pemain meskipun dalam bersaing dan memimpin tentu memerlukan proses,” tuturnya.
Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, transisi energi penting dalam mengatasi perubahan iklim. Transisi energi juga menjadi fokus isu dalam pertemuan G20. Tahun ini adalah tahun pertama di mana semua negara anggota telah mendeklarasikan target NZE. (Kompas.id, Selasa 8/11)
Sebelum KTT G20, pertemuan tingkat menteri ESDM (ETMM) telah digelar pada 2 September 2022 dengan mengangkat tiga isu prioritas, yakni mengamankan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi yang cerdas dan bersih, serta pemajuan energi. Pertemuan tersebut pun menghasilkan dokumen G20 bertajuk ”Bali Compact”.
G20 berkomitmen menjadi bagian dari solusi kunci dalam mengatasi krisis energi global yang sedang terjadi. ”Kami juga sepakat untuk memastikan tercapainya target pembangunan global berkelanjutan di tahun 2030, khususnya akses energi modern yang andal, berkelanjutan, dan terjangkau bagi semua,” kata Yudo.