Kadin: Dekarbonisasi Industri Tak Bisa Lagi Ditawar-tawar
Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan, mengubah cara menjalankan bisnis kini menjadi keharusan. Produk kita sejauh ini tidak memenuhi standar emisi rendah yang ideal.
BALI, KOMPAS - Pelaku industri dihadapkan pada keniscayaan untuk melakukan dekarbonisasi secara lebih serius dan cepat. Agar tidak terlempar dari rantai pasok dan pasar global yang semakin berkelanjutan, sektor usaha tidak bisa berjalan ala kadarnya seperti selama ini.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, saat ini 76 persen energi yang digunakan oleh industri manufaktur masih berasal dari energi fosil. Total keseluruhan konsumsi energi di sektor pengolahan berasal dari sumber energi listrik (23 persen), batubara (33 persen), gas (33 persen), bahan bakar minyak (10 persen), dan LPG (1 persen).
"Mengubah cara kita menjalankan bisnis kini menjadi keharusan. Produk kita sejauh ini tidak memenuhi standar emisi rendah yang ideal. Kita harus melepas kenyamanan kita dalam menjalankan business as usual selama ini," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid saat membuka Side Event B20 Summit di Bali, Jumat (11/11/2022).
Dalam kesempatan itu, Kadin meluncurkan inisiatif program Net Zero Hub. Inisiatif itu digagas untuk menciptakan ekosistem nasional bagi dunia usaha dalam negeri untuk serius mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi. Kadin Net Zero Hub akan menjadi "wadah" bagi korporasi dan pihak lainnya yang memilih untuk melakukan dekarbonisasi industri lebih cepat dari seharusnya.
Arsjad menjelaskan, lewat inisiatif tersebut, Kadin akan menyediakan pendampingan teknis bagi perusahaan yang bersedia mengeksekusi komitmen rendah karbon serta menyiapkan mereka dalam menetapkan skema dekarbonisasi berdasarkan standar internasional yang berlaku, yaitu Science Based Targets Intiative (SBTi). Ini menjadi faktor krusial, mengingat banyak perusahaan nasional yang kesulitan melakukan dekarbonisasi karena tidak mengerti cara untuk menghitung emisi karbon yang mereka hasilkan serta menguranginya.
Sampai saat ini, ada lebih dari 50 perusahaan yang sudah mendaftar untuk menjadi bagian dari inisiatif Net Zero Hub yang digagas Kadin melalui kerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Sebagian besar dari perusahaan itu ikut menghadiri B20 Summit dan KTT G20 di Bali. Total ada 17 perjanjian kerja sama dan nota kesepahaman dengan nilai sekitar 5 miliar dollar AS yang ditandatangani untuk melakukan dekarbonisasi industri dalam kesempatan tersebut.
Arsjad mengatakan, jumlah perusahaan yang terlibat itu diharapkan terus bertambah ke depannya. "Animo yang tinggi terhadap inisiatif ini menunjukkan kalau sektor industri mulai benar-benar serius dalam menyikapi isu perubahan iklim," katanya.
Ia menjelaskan, komitmen melakukan dekarbonisasi industri kini lebih dari sekadar janji manis atau mengikuti tren ekonomi hijau yang semu atau “greenwashing”. Di bawah perhatian dunia usaha internasional serta tuntutan dari pasar global untuk dunia usaha yang lebih berkelanjutan dan bertanggungjawab, kredibilitas suatu perusahaan sedang dipertaruhkan.
Namun, upaya tersebut akan sulit dilakukan tanpa regulasi yang kondusif serta pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang bisa diakses oleh industri. "Upaya itu juga bisa sulit dilakukan jika tidak ada keharusan yang memandatkan perusahaan untuk membuat laporan tentang sustainability atau membantu mengaitkan pembiayaan dana bagi dekarbonisasi industri dan transisi energi di Indonesia," kata Arsjad.
Oleh karena itu, ia menegaskan, perlu ada kerja sama terpadu antara sektor swasta dengan pemerintah untuk menjalankan dekarbonisasi secara serius. "Kita butuh solusi energi bersih untuk mengurangi emisi dan menghadapi tantangan global. Hanya dengan bersama-sama kita bisa menghadapi krisis global saat ini," ujarnya.
Urusan "survival"
Dalam kesempatan yang sama, Chair B20 Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini, semakin banyak perusahaan yang sudah menyadari pentingnya menjalankan praktik bisnis yang berkelanjutan. Selama ini, sektor bisnis kerap disalahkan karena memproduksi terlalu banyak emisi.
Namun, hal itu tidak mudah. Dunia usaha dan pemerintah harus menghadapi dilema untuk menjalankan bisnis yang berkelanjutan secara jangka panjang, tetapi di sisi lain juga didorong untuk menjaga akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
"Ini dilema yang harus dihadapi dunia bisnis. Antara menjaga pertumbuhan ekonomi sekarang atau mengejar sustainability demi pertumbuhan jangka panjang. Namun, satu hal yang pasti, dekarbonisasi industri sudah tidak bisa lagi ditawar-tawar, ini harus dilakukan at all cost," kata Shinta yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia.
Norimasa Shimomura, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, mengatakan, transisi menuju bisnis berkelanjutan hari-hari ini adalah bentuk dari upaya suatu usaha untuk bertahan (survival). "Ini adalah masalah survival. Konsumen sekarang ini lebih peka terhadap isu sosial dan lingkungan. Mereka bisa dengan mudahnya meninggalkan produk barang dan jasa yang jelas-jelas "kotor" dan tidak etis," kata Norimasa.
Selama ini, sudah banyak komitmen dan deklarasi yang disampaikan oleh komunitas bisnis global. Namun, tidak semua mau dan mampu memenuhi komitmen tersebut. Ia pun mengingatkan agar inisiatif Net Zero Hub tidak berakhir seperti praktik-praktik "kosong" selama ini.
Menurutnya, dalam menjalankan skema dekarbonisasi industri ke depan, Indonesia harus menetapkan target hasil akhir dengan rentang waktu yang jelas. "Jangan berkompromi dan menawar-nawar lagi. Harus ada target yang tegas dengan timeline yang jelas. Komitmen ini harus lebih serius karena kali ini akan ada pendampingan dan dukungan dari Kadin dan UNDP," katanya.