Pertumbuhan ekonomi ke depan diperkirakan tidak setinggi triwulan III-2022 di tengah ekonomi global yang kian ”gelap”. Meski tetap optimistis, pemerintah bersiap mengantisipasi tekanan pada perekonomian domestik.
Oleh
agnes theodora, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sampai triwulan III-2022, ekonomi berhasil tumbuh pesat, melanjutkan tren pertumbuhan di atas 5 persen sepanjang tahun ini. Namun, tren itu belum tentu berulang di tengah imbas perekonomian dunia yang kian gelap. Pemerintah akan mencermati perkembangan kondisi dan mengantisipasi tekanan ekonomi tahun depan.
Berdasarkan data yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (7/11/2022), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 (Juli-September) tumbuh 5,72 persen secara tahunan, melanjutkan tren pertumbuhan di atas 5 persen selama empat triwulan berturut-turut sejak triwulan IV-2021.
Pertumbuhan ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang secara tahunan tumbuh 5,39 persen dan berkontribusi 50,38 persen terhadap perekonomian. Konsumsi tumbuh karena belanja masyarakat menengah-atas meningkat, khususnya untuk kebutuhan tersier, dan belanja masyarakat menengah-bawah masih terbantu oleh bantuan sosial dan subsidi energi.
Perekonomian juga didukung oleh kinerja investasi, serta kinerja ekspor yang tumbuh 21,64 persen dengan kontribusi 26,23 persen. Kinerja ekspor masih diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas batubara, hasil minyak dan gas alam, juga ekspor jasa yang tumbuh 82,84 persen akibat lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara setelah pandemi.
”Durian runtuh (windfall) masih berlanjut, meski mulai menurun akibat harga beberapa komoditas global yang sudah lebih kompetitif,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers daring, Senin.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2022 terjadi di hampir semua lapangan usaha, kecuali sektor jasa kesehatan yang minus 1,74 persen. Lima sektor utama penopang ekonomi masih tumbuh positif, yaitu industri pengolahan (4,83 persen), pertambangan (3,22 persen), pertanian (1,65 persen), perdagangan (5,35 persen), dan konstruksi (9,45 persen).
Di sisi lain, ekonomi triwulan III-2022 juga masih tumbuh tinggi karena pengaruh efek basis rendah (low base effect) di tahun sebelumnya. Pada triwulan III-2021, perekonomian domestik melambat akibat Covid-19 varian Delta. Saat itu, pertumbuhan ekonomi 3,51 persen.
Faktor lainnya adalah efek rambatan dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang belum terlalu terasa, baik terhadap inflasi dan daya beli masyarakat maupun kinerja sektor riil. ”Kenaikan harga BBM hanya terjadi satu bulan pada triwulan III (di bulan September saja), jadi tentu dampaknya belum terasa seluruhnya di triwulan ini,” kata Margo.
Ekonomi triwulan III-2022 juga masih tumbuh tinggi karena pengaruh efek basis rendah ( low base effect) di tahun sebelumnya.
Tak terulang
Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2022 diperkirakan tidak setinggi triwulan III-2022. Apalagi, memasuki kondisi ekonomi global tahun depan yang diprediksi akan lebih ”gelap”.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, dampak gejolak ekonomi global serta pengetatan fiskal dan moneter, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan suku bunga, serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, akan memberi tekanan pada daya beli masyarakat dan kinerja sektor riil.
Apalagi, ke depan, tidak ada lagi perbandingan efek basis rendah karena pada triwulan IV-2021, ekonomi sudah tumbuh menyentuh 5 persen. ”Tekanan akan lebih besar. Sekarang, inflasi meninggi, kinerja sektor andalan menurun, produksi berkurang, jumlah karyawan dikurangi. Bisa diprediksi ekonomi pada triwulan IV-2022 akan melambat,” katanya.
Kinerja ekspor juga diperkirakan tidak akan setinggi sebelumnya meski neraca perdagangan masih bisa surplus. Ekspor dinilai akan terganggu oleh menurunnya permintaan akibat inflasi yang tinggi di negara-negara maju, serta efek harga komoditas yang tidak setinggi sebelumnya.
Menurut Faisal, pemerintah jangan ”terlena” dengan capaian ekonomi saat ini dan perlu mulai mengantisipasi gejolak ekonomi ke depan. Konsumsi masyarakat dan sektor riil harus dijaga sebagai tulang punggung perekonomian domestik di tengah melemahnya permintaan global.
Konsumsi masyarakat dan sektor riil harus dijaga sebagai tulang punggung perekonomian domestik di tengah melemahnya permintaan global.
”Meski kebijakan PEN (pemulihan ekonomi nasional) akan berakhir, tetap perlu ada tambahan kebijakan insentif di luar yang rutin. Kali ini bukan untuk mengatasi pandemi, tapi untuk menghadapi krisis yang baru,” katanya.
Dicermati
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan mencermati tekanan ekonomi yang mulai terjadi, khususnya di sektor riil. Pemberian insentif kepada dunia usaha tidak akan dipukul rata, melainkan secara selektif. Salah satu yang sekarang sedang dibahas bersama Otoritas Jasa Keuangan adalah restrukturisasi kredit bagi dunia usaha.
Insentif harus selektif karena tidak semua sektor padat karya terpukul. Ada yang masih tumbuh tinggi. ”Kita harus cermati sektor per sektor secara detail karena beberapa perusahaan di sektor padat karya justru mendapat tambahan permintaan,” kata Airlangga.
Di sisi lain, ia optimistis konsumsi rumah tangga akan tetap terjaga meski kondisi pada triwulan III-2022 melambat dari sebelumnya 5,51 persen. ”Memang, konsumsi rumah tangga turun, tapi memang polanya begitu. Konsumsi di triwulan II tinggi karena demand saat Lebaran melonjak, tapi lalu melandai. Kondisi sekarang ini masih cukup baik,” katanya.
Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan memperkirakan, pertumbuhan ekonomi akan tetap kuat didorong perbaikan permintaan domestik dan berlanjutnya penyelesaian Program Strategis Nasional (PSN). Namun, dampak perlambatan ekonomi global terhadap kinerja ekspor dan potensi tertahannya konsumsi rumah tangga akibat kenaikan inflasi patut diwaspadai.