Resesi Global Mengintai, Ekonomi RI Masih Tumbuh Sesuai Ekspektasi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada empat triwulan berturut-turut tumbuh di atas 5 persen secara tahunan. Namun, tren itu beerpotensi tidak terulang pada triwulan IV-2022 akibat ketidakpastian ekonomi global.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah ancaman resesi global, perekonomian Indonesia pada triwulan III-2022 secara tahunan tumbuh sesuai ekspektasi, yakni 5,72 persen. Ekonomi Indonesia ditopang oleh geliat konsumsi rumah tangga, ekspor yang masih tumbuh tinggi, serta efek basis yang rendah (low base effect) dari kondisi tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, secara tahunan (year on year), ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen dari triwulan III-2021. Ekonomi juga tumbuh secara triwulanan (quartal to quartal), yaitu 1,81 persen dibandingkan triwulan II-2022.
Tren pertumbuhan ekonomi secara tahunan di atas 5 persen ini telah terjadi selama empat triwulan berturut-turut sejak triwulan IV-2021 (5,02 persen), triwulan I-2022 (5,02 persen), dan triwulan II-2022 (5,45 persen).
Pertumbuhan ekonomi pada periode Juli-September 2022 ini juga sesuai ramalan pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi triwulan III-2022 tumbuh di atas 5,5 persen dan bisa menyentuh 5,7 persen. Sementara Bank Indonesia memperkirakan ekonomi tumbuh di atas 5,5 persen.
Dalam konferensi pers daring, Senin (7/11/2022), Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,39 persen secara tahunan dan berkontribusi 50,38 persen terhadap perekonomian dalam negeri.
Konsumsi tumbuh karena aktivitas belanja masyarakat menengah-atas yang meningkat, khususnya untuk kebutuhan tersier, seperti transportasi, hotel, dan restoran. Di sisi lain, belanja masyarakat bawah masih terbantu oleh realisasi bantuan sosial dan subsidi energi.
”Ini indikasi baik. Kalau kelas menengah-atas terus meningkatkan belanja, ini bisa memberi pengaruh besar ke kelompok lain, tanda pemulihan ekonomi kita terus berlanjut,” katanya.
”Windfall” berlanjut
Pertumbuhan ekonomi juga ditopang ekspor yang tumbuh 21,64 persen dan berkontribusi 26,23 persen terhadap perekonomian. Kinerja ekspor masih diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas unggulan, seperti batubara, hasil minyak, dan gas alam.
”Durian runtuh (windfall) masih berlanjut meski cenderung menurun akibat harga beberapa komoditas global yang sudah lebih kompetitif dan kurs transaksi beli rupiah terhadap dollar AS yang mulai melemah,” katanya.
Tren pertumbuhan ekonomi secara tahunan di atas 5 persen ini telah terjadi selama empat triwulan berturut-turut sejak triwulan IV-2021.
Bukan hanya ekspor barang yang tumbuh. Ekspor jasa pun tumbuh pesat hingga 82,84 persen akibat lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara setelah berakhirnya restriksi mobilitas akibat pandemi. ”Bisa dikatakan, windfall sektor riil berasal dari pertambangan, kalau windfall sektor jasa itu dari kunjungan wisman yang sangat signifikan,” ujar Margo.
Kinerja sektor andalan yang tumbuh juga menunjukkan momentum pemulihan ekonomi masih terjaga. BPS mencatat, lima sektor utama penopang ekonomi masih tumbuh ekspansif, yaitu industri pengolahan (4,83 persen), pertambangan (3,22 persen), pertanian (1,65 persen), perdagangan (5,35 persen), dan konstruksi (9,45 persen).
Kinerja kelima sektor itu sudah memberikan kontribusi 66,45 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2022. Permintaan ekspor masih meningkat untuk komoditas unggulan di tiap sektor itu. ”Secara umum, seluruh sektor tumbuh, kecuali jasa kesehatan yang minus 1,74 persen karena penurunan insentif terhadap sektor kesehatan,” kata Margo.
Efek harga BBM belum terasa
Di sisi lain, ekonomi juga masih bisa tumbuh tinggi karena pengaruh efek basis rendah (low base effect) tahun sebelumnya. Pada triwulan III-2021, perekonomian domestik melambat akibat efek merebaknya Covid-19 varian Delta. Saat itu, pertumbuhan ekonomi tercatat 3,51 persen.
Faktor lainnya adalah efek rambatan dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang belum terlalu terasa, baik terhadap kenaikan inflasi dan daya beli masyarakat, maupun kinerja sektor riil. ”Kenaikan harga BBM hanya terjadi satu bulan pada triwulan III (September saja), jadi tentu dampaknya tidak terasa seluruhnya di triwulan ini,” kata Margo.
Efek rambatan dari kenaikan harga BBM belum terlalu terasa pada triwulan III, baik terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, maupun kinerja sektor riil.
Seperti diketahui, sejak pemerintah memangkas subsidi BBM dan menaikkan harga BBM pada September 2022, inflasi tahunan meningkat ke 5,95 persen (September) dan 5,71 persen (Oktober).
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2022 itu sesuai ekspektasi, bahkan di atas ramalan para ekonom.
Namun, ia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2022 bisa di bawah 5 persen. Dampak ketidakpastian ekonomi global, kenaikan harga BBM, kenaikan suku bunga, serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan memberi tekanan pada daya beli masyarakat serta kinerja sektor riil.
Apalagi, tidak ada lagi perbandingan efek basis rendah karena pada triwulan IV-2021, ekonomi sudah tumbuh menyentuh 5 persen. ”Tekanan akan lebih besar. Inflasi meninggi, kinerja sektor andalan menurun, produksi berkurang, ada juga pengurangan jumlah karyawan. Ini akan memengaruhi daya beli masyarakat dan kinerja sektor sehingga bisa diprediksi ekonomi pada triwulan IV akan melambat,” katanya.
Di sisi lain, kinerja ekspor juga diperkirakan tidak akan setinggi triwulan sebelumnya meski neraca perdagangan masih akan tetap surplus. Ekspor bisa terganggu oleh menurunnya permintaan dari luar negeri akibat inflasi yang kian tinggi di negara maju, serta efek harga komoditas yang tidak lagi naik setinggi sebelumnya.
”Efek resesi global akan mulai kelihatan di triwulan IV. Turunnya akan pelan-pelan, tidak tajam, tetapi mulai terasa,” katanya.