Kendati Dinilai Masih Kuat, Ekonomi RI Berisiko Melambat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap melambat kendati bisa lepas dari risiko resesi tahun depan. Presiden Joko Widodo mengingatkan jajarannya untuk berhati-hati menentukan kebijakan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski Indonesia diyakini tidak ikut jatuh ke jurang resesi pada tahun 2023, pelambatan ekonomi tidak terelakkan. Penerimaan negara yang berkurang dan belanja negara yang ditekan demi menjaga defisit APBN di bawah tiga persen akan mempersempit ruang fiskal. Belanja negara harus diprioritaskan untuk menjaga kelompok masyarakat rentan.
Indonesia dinilai masih sedikit lebih beruntung dibandingkan sejumlah negara lain di kawasan, seperti Singapura dan Malaysia, karena perekonomiannya tidak terlalu bergantung pada permintaan ekspor, yang diproyeksikan akan lesu seiring dengan melambatnya perekonomian global tahun depan.
Menurut Mantan Menteri Keuangan RI Muhamad Chatib Basri, Selasa (11/10/2022), kontribusi ekspor dalam perekonomian domestik yang tidak terlalu signifikan itu dapat meredam dampak dari ancaman resesi global pada tahun 2023.
Tak dimungkiri, melambatnya perekonomian dunia, termasuk China sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, akan mengganggu kinerja perdagangan dan melambatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, itu tidak akan sampai menyeret Indonesia ke jurang resesi.
Ia menjabarkan, porsi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada pada kisaran 25 persen, berbeda dengan negara lain di kawasan, seperti Singapura, yang kontribusi ekspor terhadap PDB-nya menyentuh lebih dari 200 persen.
Di sisi lain, permintaan untuk energi dari negara-negara Eropa juga diperkirakan akan semakin besar di tengah meruncingnya ketegangan geopolitik pascaperang Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, harga batubara relatif masih terjaga meski saat ini mulai terjadi penurunan harga minyak dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Tantangannya memang akan berat, tetapi bukan berarti kita akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kalau kita biasanya tumbuh di 5,2 persen, mungkin tahun depan akan tumbuh sedikit di bawah 5 persen,” kata Chatib di sela acara Investor Daily Summit di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta.
Fundamental ekonomi Indonesia yang relatif lebih kuat karena ditopang oleh perekonomian domestik ketimbang perdagangan luar negeri itu juga disoroti sejumlah lembaga internasional.
Dalam laporan terbaru yang dirilis pada akhir September 2022, Bank Dunia mempertahankan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen pada 2022 dan 2023, ketika negara-negara lain mengalami pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Proyeksi ini masih sama dengan perkiraan sebelumnya, yakni pada April dan Juni 2022.
Tetap berisiko
Namun, Indonesia tidak lepas dari risiko. Meski tidak terlalu terdampak oleh kinerja perdagangan luar negeri yang lesu, perekonomian domestik tetap akan terimbas pengetatan kebijakan moneter dan fiskal.
Meski tidak terlalu terdampak oleh kinerja perdagangan luar negeri yang lesu, perekonomian domestik tetap akan terimbas pengetatan kebijakan moneter dan fiskal.
Chatib mengatakan, pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral di sejumlah negara maju memengaruhi tren kenaikan suku bunga dan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Selama tahun 2022, suku bunga acuan di bank sentral Inggris sudah naik 200 basis poin. Begitu pula The Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat, yang sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 300 basis poin. Menyusul langkah negara-negara maju itu, Bank Indonesia pun ikut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen.
Hal itu otomatis memberatkan iklim usaha dan menghambat roda perekonomian domestik. Terlebih, jika mempertimbangkan inflasi di tingkat produsen (Indeks Harga Produsen/IHP) yang per triwulan II tahun 2022 sudah mencapai 11 persen, melampaui inflasi di tingkat konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) sebesar 5,95 persen pada September 2022.
“Produsen akan mulai mentransfer kenaikan biaya produksinya ke konsumen, Bank Indonesia akan semakin mengetatkan kebijakan moneternya (untuk mengendalikan inflasi), dan itu akan memukul perekonomian kita,” kata Chatib.
Ketika krisis, APBN seharusnya berfungsi sebagai peredam guncangan (shock absorber). Namun, ekspansi fiskal sulit dilakukan karena adanya kebutuhan untuk menekan defisit APBN di bawah 3 persen pada tahun depan. Di sisi lain, penerimaan negara yang berpotensi menurun akibat melandainya harga komoditas juga akan semakin mempersempit manuver fiskal.
“Kalau ditanya apakah Indonesia akan resesi atau tidak, jawabannya tidak. Tetapi, ekonomi kita akan tetap melambat dan kita harus berjaga-jaga untuk mengantisipasi itu,” kata Chatib.
Kalau ditanya apakah Indonesia akan resesi atau tidak, jawabannya tidak. Tetapi, ekonomi kita akan tetap melambat dan kita harus berjaga-jaga untuk mengantisipasi itu.
Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas belanja negara. Alokasi pengeluaran harus diprioritaskan untuk menjaga kelompok masyarakat paling rentan dari guncangan ekonomi. “Inilah mengapa isu perlindungan sosial harus jadi prioritas pemerintah paling utama,” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, tingkat resiliensi Indonesia masih tinggi di tengah krisis. Selama tiga triwulan berturut-turut, ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh di kisaran 5 persen.
Ia pun optimistis, pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan mencapai target 5,2 persen, sementara pertumbuhan ekonomi tahun 2023 diproyeksikan sebesar 5,3 persen. “Fundamental ekonomi kita masih kuat, dari segi keuangan, tingkat utang, serta kebijakan fiskal dan moneter yang cukup prudent,” katanya.
Beberapa indikator yang disoroti adalah kinerja sektor riil serta neraca perdagangan yang masih tumbuh positif, indeks keyakinan konsumen (IKK) yang masih di level optimistis (di atas 100), serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang tidak serendah negara lain.
“Ini harus terus dijaga, dan pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan, dari pelonggaran aktivitas masyarakat (pascapandemi), kebijakan fiskal sebagai shock absorber, dan stabilisasi harga administered price (barang dan jasa yang diatur oleh pemerintah),” katanya.