Penghitungan Upah Minimum Ditargetkan Tuntas Akhir Bulan Ini
Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan proses penghitungan upah minimum tahun 2023 belum usai. Sementara itu, kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2022 dinilai sejumlah pihak belum menunjukkan pemulihan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menekankan bahwa penetapan dan pengumuman upah minimum provinsi akan dilakukan oleh gubernur pada 21 November 2022 dan upah minimum tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota pada 30 November 2022. Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan baru menerima 20 jenis data dari Badan Pusat Statistik dan data bersangkutan yang akan dipakai untuk menghitung upah minimum sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
”Kami akan mengirim data tersebut ke dewan pengupahan daerah besok atau lusa. Kami harap semua bisa tenang. Data (pertumbuhan ekonomi dan inflasi) baru kami terima hari ini,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri saat ditanya media terkait kepastian kenaikan upah minimum tahun 2023 pada konferensi pers ”Capaian Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III”, di Jakarta, Senin (7/11/2022) petang.
Dalam kesempatan yang sama, Indah menyatakan, pihaknya berusaha menyerap semua aspirasi publik terkait upah minimum. Bersamaan dengan proses penghitungan, Kementerian Ketenagakerjaan terus menyosialisasikan filosofi upah minimum agar terjadi pemahaman yang sama.
”Upah minimum hanya diberikan kepada pekerja yang baru masuk (dunia) kerja. Selain sosialisasi filosofi upah minimum, kami berupaya meningkatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Dewan Pengupahan, menjelang pengumuman upah minimum provinsi,” tutur Indah.
Sebelumnya, pada unjuk rasa di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jumat (4/11/2022), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, buruh menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan Mahkamah Konstitusi cacat formil.
”Oleh karena itu, penghitungan upah minimum harus menggunakan peraturan pemerintah yang lama. Jika kenaikan upah di bawah inflasi, daya beli buruh akan semakin jatuh karena kenaikan upah tidak bisa menutupi kenaikan harga kebutuhan. Mudah-mudahan Presiden (RI) bisa mengeluarkan Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) untuk membatalkan UU No 11/2020,” katanya.
Kesejahteraan layak
Dalam konferensi pers pada Senin pagi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyampaikan, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2022 menunjukkan, rata-rata upah pekerja mencapai Rp 3 juta atau meningkat 5,61 persen dibandingkan dengan Agustus 2019. Sementara rata-rata upah pada Agustus 2022 meningkat signifikan, yakni mencapai 12,22 persen, dibandingkan Agustus 2021. Penguatan ekonomi nasional mendorong peningkatan rata-rata upah.
Selama Agustus 2021-Agustus 2022, upah karyawan bervariasi secara signifikan menurut provinsi. Sebagian besar provinsi mengalami kenaikan upah pegawai. Namun, tiga provinsi mengalami penurunan upah, yaitu Aceh sebesar 0,62 persen, Nusa Tenggara Timur 0,18 persen, dan Maluku 1,94 persen.
”Kenaikan upah pegawai tertinggi terjadi di DKI Jakarta, yakni sebesar 30,46 persen. Sementara provinsi dengan penurunan upah terendah terjadi di Maluku Utara, sebesar 1,94 persen,” ujar Margo.
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto saat dihubungi terpisah berpendapat, hasil Sakernas Agustus 2022 belum menunjukkan perbaikan kondisi ketenagakerjaan Indonesia yang signifikan. Porsi pekerja di sektor informal masih di atas 50 persen yang berarti pekerja berisiko tinggi masih banyak. Penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya 0,63 persen, yang artinya perekonomian belum benar-benar pulih.
Kemudian, jumlah pekerja yang tidak produktif/pengangguran terselubung masih 31,54 persen. Dia menilai porsi ini masih sangat tinggi. Mereka adalah para pekerja yang kemungkinan besar tidak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimum. ”Mereka adalah kelompok pekerja yang tidak mampu memenuhi jumlah minimal kebutuhan dasarnya,” kata Agus.