Imbas gejolak ekonomi dunia mulai memberi tekanan ke sektor riil, tecermin pada gelombang pemutusan hubungan kerja. Belanja APBN akan ditingkatkan untuk menyalurkan bantalan sosial dan stimulus.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski diyakini masih kuat, ekonomi domestik berisiko terimbas gejolak di tingkat global. Pemerintah bersiap mengantisipasi tekanan di sektor riil yang mulai terdampak dan tecermin pada gelombang pemutusan hubungan kerja. APBN akan dikerahkan untuk mengoptimalkan penyaluran bantuan sosial dan pemberian stimulus.
Dalam pertemuan berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) keempat, Kamis (27/10/2022), potensi rembetan dari gejolak ekonomi global menjadi isu utama yang dibahas Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
Sri Mulyani mengatakan, salah satu potensi risiko yang diantisipasi adalah tekanan terhadap sektor riil yang saat ini mulai menjelma lewat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sejumlah sektor padat karya, seperti industri garmen dan tekstil.
Kinerja sektor riil yang melemah itu juga tampak dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur per Oktober 2022 di level 51,8. Meski masih berada di level ekspansif (di atas 50), kinerja industri manufaktur melambat dari kondisi bulan sebelumnya yang mencapai level 53,7.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah akan meningkatkan penyaluran bantuan sosial dan stimulus untuk meredam dampak guncangan itu terhadap ekonomi domestik. Untuk itu, ruang fiskal yang tersisa di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 akan dioptimalkan.
Saat ini, pemerintah masih mengkaji ruang gerak yang bisa dimaksimalkan di APBN untuk meredam guncangan di sektor riil itu. ”Nanti kita akan lihat ada berapa banyak space yang bisa diakselerasi untuk meningkatkan penyaluran bantalan sosial bagi masyarakat,” katanya dalam konferensi pers tentang hasil rapat berkala KSSK, Kamis (3/11/2022).
Kementerian Keuangan mencatat, sampai 30 September 2022 masih ada ruang belanja negara sekitar 40 persen yang belum terpakai. Tiga bulan menjelang akhir tahun, belanja pemerintah baru terserap 61,6 persen dari target APBN 2022 yang senilai Rp 3.106,4 triliun.
Pemerintah masih mengkaji ruang gerak yang bisa dimaksimalkan di APBN untuk meredam guncangan di sektor riil.
Sebagian pos anggaran yang belum dibelanjakan itu mestinya diperuntukan bagi bantuan sosial dan antisipasi dampak inflasi pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Salah satunya, belanja wajib dalam rangka penanganan dampak inflasi yang diambil sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) pemerintah daerah.
Sampai akhir September, realisasinya baru 7,9 persen atau Rp 277,6 miliar dari total alokasi Rp 3,5 triliun. Dana itu seharusnya dipakai untuk menjalankan program bansos, penciptaan lapangan kerja, subsidi sektor transportasi, serta program perlindungan sosial lainnya.
Selektif
Sri Mulyani mengatakan, belanja pemerintah di pusat dan daerah dalam dua bulan terakhir ini akan dimaksimalkan untuk menggerakkan ekonomi dan mengganjal masyarakat yang terdampak dengan bantalan sosial. ”Belanja akan naik cukup pesat pada dua bulan terakhir, itu bisa menambah demand agregat secara signifikan,” ujarnya.
Selain itu, pemberian insentif dan stimulus juga akan dioptimalkan meski lebih selektif dan terarah. APBN 2023 yang baru saja disahkan bersama DPR juga didesain untuk fleksibel menyikapi dinamika ekonomi yang tidak pasti akibat imbas krisis global.
”Kita akan pertahankan berbagai insentif yang memang dirasa sesuai, tapi lebih targeted dan selektif, untuk mendukung agar ekonomi tetap resilien dan stabilitas sistem keuangan kita terjaga,” kata Sri Mulyani.
Menurut Jehan Fachrul, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, meski berbagai indikator ekonomi menunjukkan perekonomian domestik relatif baik di tengah gejolak ekonomi global, tidak dapat dinafikan Indonesia akan tetap merasakan efek rambatan dari ancaman resesi global yang mengintai tahun depan.
Kekhawatiran itu sudah terlihat dari kondisi sektor riil yang saat ini mulai merasakan dampak dari tekanan biaya produksi yang meningkat dan melakukan PHK besar-besaran untuk melakukan efisiensi.
”Kita juga harus mewaspadai kondisi China yang ekonominya masih melemah dan belum pulih, karena itu mitra dagang utama kita yang pasti akan memberi dampak cukup besar terhadap perekonomian domestik kita,” kata Jehan.
Tidak dapat dinafikan Indonesia akan tetap merasakan efek rambatan dari ancaman resesi global yang mengintai tahun depan.
Kesehatan fiskal
Di sisi lain, meski peningkatan belanja APBN dibutuhkan untuk meredam guncangan ekonomi, Jehan mengatakan, kesehatan fiskal dan moneter tetap perlu dijaga melalui kebijakan yang akuntabel dan berhati-hati. ”Kebijakan kita tetap harus prudent, baik secara fiskal maupun moneter,” ujar dia.
Terkait hal itu, Sri Mulyani meyakini defisit APBN pada tahun ini bisa ditekan di bawah target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022 tentang APBN Tahun Anggaran 2022 sebesar 4,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan di bawah perkiraan (outlook) defisit fiskal terakhir di level 3,9 persen.
Adapun pada APBN 2023, untuk menjaga kesehatan fiskal, pemerintah menargetkan defisit fiskal bisa terjaga di bawah 3 persen, yakni 2,84 persen.
”Sudah pasti (defisit) tahun ini bisa turun dibandingkan Perpres 98, tetapi kita akan lihat sejauh mana penurunannya dari outlook terakhir sebesar 3,9 persen. Perkiraan kami, akan lebih rendah dari itu, sehingga ini bisa jadi bekal yang sangat baik sebelum memasuki tahun 2023,” katanya.