Di tengah ketidakpastian ekonomi global, perlambatan inflasi belum tentu berlanjut. Pelemahan kurs, kenaikan ongkos transportasi yang tertunda pascakenaikan harga BBM, dan impor bahan baku bisa kembali mendorong inflasi.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati laju inflasi tahunan pada bulan lalu melambat, imbas risiko global terhadap potensi inflasi dari jalur importasi perlu diwaspadai. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan kendala ketersediaan bahan baku impor di tengah ketidakpastian dunia bisa membebani dunia usaha dan memicu inflasi di tingkat konsumen.
Setelah sempat melejit hingga menyentuh 5,95 persen pada September 2022, laju inflasi tahunan pada Oktober 2022 melambat ke 5,71 persen. Secara bulanan, terjadi deflasi sebesar 0,11 persen yang didorong oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan, seperti cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, dan cabai rawit.
Akan tetapi, di bawah bayang-bayang risiko ekonomi global, penurunan laju inflasi itu belum tentu akan berlanjut. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai, inflasi di tingkat konsumen masih relatif terkendali karena ditahan di tingkat produsen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama triwulan I dan II tahun 2022, inflasi harga produsen terus mengalami kenaikan, secara berturut-turut sebesar 2,59 persen dan 4,09 persen secara triwulanan serta 6,18 persen dan 11,77 persen secara tahunan. Sementara inflasi di tingkat konsumen masih tertahan di kisaran 5 persen.
Pada triwulan III-2022, inflasi di tingkat produsen masih terjadi meski mulai melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Data terbaru yang dirilis BPS menunjukkan, secara triwulanan, inflasi harga produsen melambat menjadi 0,89 persen, sementara secara tahunan masih menyentuh dua digit di angka 10,68 persen.
Kenaikan biaya input produksi salah satunya didorong oleh perekonomian dunia yang tidak pasti. Apalagi, sebagai imbas dari kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral negara-negara maju, selama lebih dari satu bulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderung melemah hingga menembus batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS.
Saat perdagangan dibuka, Rabu (2/11/2022), nilai tukar rupiah melemah ke Rp 15.644 per dollar AS. Abdul menilai, imbas dari rupiah yang terus terdepresiasi itu akan cukup kentara, mengingat industri dalam negeri masih bergantung pada impor bahan baku yang transaksinya menggunakan mata uang dollar AS.
”Sekarang produsen masih menahan kenaikan harga di pasaran, tapi berapa lama mereka bisa bertahan? Apalagi kalau stok (bahan baku) lama sudah habis dan mereka harus membeli stok baru lagi dengan harga yang baru,” kata Abdul, Rabu.
Sekarang produsen masih menahan kenaikan harga di pasaran, tapi berapa lama mereka bisa bertahan?
Ia memperkirakan, jika kondisi rupiah terus melemah terhadap dollar AS dan ketersediaan bahan baku impor dari China masih terkendala, harga barang di pasaran bisa saja mulai naik pada awal tahun depan. Namun, kenaikannya diperkirakan tidak akan terlalu tinggi karena pengusaha juga akan melihat kondisi permintaan dan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, masih ada kemungkinan inflasi di kelompok transportasi berlanjut sebagai imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Saat ini, inflasi di beberapa daerah masih tertunda karena belum semua pemerintah daerah menaikkan tarif angkutan umum dalam kota.
Serba salah
Menurut Abdul, bagi perekonomian domestik, kondisi ini serba salah. Di satu sisi, jika produsen menaikkan harga, itu bisa memicu laju inflasi yang lebih tinggi di level konsumen dan mengganggu daya beli masyarakat. Harga yang naik terlalu tinggi juga bisa menurunkan tingkat penjualan.
Di sisi lain, jika tidak menaikkan harga, produsen kembali harus menekan margin keuntungan, seperti yang selama ini dilakukan. Hal itu bisa berimbas pada langkah efisiensi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), pemangkasan gaji, atau langkah merumahkan karyawan, yang akhirnya ikut menekan daya beli dan melemahkan pertumbuhan ekonomi.
”Ini ibaratnya kanan mentok, kiri mentok. Pada satu sisi, dunia usaha dihadapkan pada lonjakan harga input produksi, tapi ketika dia mau menaikkan harga barang jadi dilematis karena daya beli masyarakat sedang menurun,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, produsen yang mengandalkan bahan baku impor memang belum mentransmisikan beban biaya produksi ke konsumen untuk menjaga kondisi permintaan dan tingkat penjualan. ”Lebih baik sedikit untung daripada pasar hilang,” katanya.
Sebagai konsekuensinya, pengusaha menggerus margin keuntungan dan melakukan langkah efisiensi lain. Hal itu, menurut dia, sudah dilakukan sejak pandemi Covid-19 sampai sekarang karena kondisi perekonomian terus-menerus tidak pasti.
”Dari (efisiensi) penggunaan air, energi, sampai mau tidak mau merampingkan organisasi. Merumahkan karyawan, juga PHK. Apalagi, untuk sektor yang berorientasi ekspor, seperti garmen, tekstil, alas kaki, itu permintaan ekspornya sudah menurun 30-50 persen,” ujar Hariyadi.
Lebih baik sedikit untung daripada pasar hilang.
Risiko global
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kendati inflasi tahunan pada Oktober 2022 melambat dan kinerja manufaktur masih di level ekspansif, pemerintah tetap akan mewaspadai risiko global.
”Kita mensyukuri (penurunan inflasi) terjadi di tengah risiko global yang masih eskalatif, tapi pemerintah akan mengantisipasi berbagai risiko global yang akan memengaruhi neraca perdagangan dan perekonomian secara umum, seperti melambatnya aktivitas perdagangan internasional negara maju, serta kondisi mitra dagang utama kita seperti China,” katanya.
Pemerintah akan terus melakukan mitigasi terhadap ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi komoditas pangan agar inflasi pangan tetap bisa terkendali. Berbagai upaya juga ditempuh untuk mengendalikan inflasi di pusat maupun daerah, terutama untuk meredam dampak rambatan kenaikan BBM.
”Ini telah terbukti memberi hasil yang positif sehingga penggunaan berbagai anggaran seperti untuk ketahanan pangan dan anggaran infrastruktur untuk memperlancar penyediaan pangan yang mudah dan terjangkau akan terus diperkuat,” ujar Febrio.