Penurunan harga sejumlah komoditas pangan mendorong terjadinya deflasi pada Oktober 2022. Namun, ancaman inflasi tinggi tetap ada ke depan mengingat kenaikan harga bahan bakar minyak belum tertransmisi sepenuhnya
Oleh
agnes theodora, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penurunan harga sejumlah komoditas pangan mendorong terjadinya deflasi pada Oktober 2022. Kendati demikian, ancaman inflasi tinggi tetap ada ke depan mengingat kenaikan harga bahan bakar minyak belum tertransmisi sepenuhnya ke harga barang dan jasa pada sektor-sektor yang terdampak.
Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/11/2022), mengumumkan, berdasarkan perkembangan indeks harga konsumen pada Oktober 2022, terjadi deflasi 0,11 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month to month).
Perkembangan harga saat ini relatif lebih terkendali dibandingkan dengan September 2022 yang mencatat inflasi bulanan 1,17 persen.
Dengan demikian, secara tahunan, inflasi per Oktober sebesar 5,71 persen, sedikit melandai dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 5,95 persen.
BPS mencatat, deflasi pada Oktober 2022 didorong oleh turunnya harga-harga pada kelompok harga bergejolak serta kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau.
Komoditas pangan yang harganya turun, antara lain, cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, dan cabai rawit.
”Bisa dikatakan, deflasi yang terjadi pada komoditas-komoditas pangan itu yang membuat laju inflasi lebih tertahan di bulan Oktober,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, Selasa.
Kelompok pengeluaran transportasi mencatat inflasi 0,35 persen secara bulanan. Pendorong utama adalah kenaikan harga komoditas bensin dan tarif angkutan dalam kota.
Setianto mengatakan, tekanan inflasi di kelompok transportasi itu merupakan efek lanjutan dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 3 September 2022. Dua bulan setelah harga BBM naik, beberapa daerah mulai menaikkan tarif angkutan dalam kota sehingga mendorong kenaikan ongkos transportasi.
Bisa berlanjut
Setianto mengatakan, ada sejumlah daerah yang belum mengalami kenaikan tarif angkutan dalam kota, karena masih adanya subsidi daerah serta belum diterbitkannya peraturan daerah (perda) baru untuk menaikkan tarif angkutan. Hal itu ikut berkontribusi pada tertahannya laju inflasi pada Oktober 2022.
Ia memperkirakan, ke depan, efek kenaikan harga BBM pada inflasi masih akan berlanjut. “Masih ada beberapa provinsi yang belum menaikkan tarif transportasi. Ini kemungkinan baru akan berdampak di bulan-bulan selanjutnya. Namun, kalau tidak ada (penyesuaian tarif), itu bisa menekan inflasi bulan berikutnya (November 2022),” kata Setianto.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai, meski lebih terkendali, ada beberapa hal yang perlu diantisipasi.
Salah satunya adalah inflasi yang ”tertunda” karena faktor kenaikan harga BBM yang belum tertransmisi sepenuhnya dalam bentuk kenaikan ongkos transportasi.
Selain itu, kenaikan inflasi yang masih lebih banyak ditahan di tingkat produsen juga perlu diwaspadai. Di satu titik, inflasi bisa melonjak lagi jika produsen memutuskan mentransmisikan inflasi di tingkat produksi dan menaikkan harga barang di pasaran.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan, inflasi tahunan akan tetap tinggi hingga semester I tahun 2023, dengan inflasi berada di kisaran 5-6 persen secara tahunan. Dampak dari penyesuaian harga BBM yang dilakukan pemerintah pada September lalu diperkirakan akan berlanjut.
“Kita perlu mengantisipasi efek ronde kedua dari kenaikan BBM itu pada inflasi di barang dan jasa lainnya, khususnya melalui biaya jasa distribusi,” katanya.
sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono mengatakan, realisasi inflasi yang lebih rendah dari perkiraan awal BI itu sejalan dengan dampak penyesuaian harga BBM terhadap kenaikan inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food) dan inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) yang tidak sebesar prakiraan awal.
Sementara itu, inflasi inti tetap terjaga rendah seiring dengan lebih rendahnya dampak rambatan dari penyesuaian harga BBM dan belum kuatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
Ia mengatakan, penurunan inflasi ini sejalan dengan sinergi kebijakan antara pemerintah pusat-daerah, BI, serta berbagai mitra strategis lainnya lewat Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP) serta Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) dalam menurunkan laju inflasi dan mengendalikan dampak lanjutan kenaikan BBM.
Untuk keseluruhan tahun 2022, BI memandang inflasi akan lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan awal, meski masih di atas sasaran 3,0 persen plus minus 1 persen. Sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dengan BI akan terus diperkuat untuk memastikan inflasi segera kembali ke sasaran yang telah ditetapkan.