Tiga sektor utama yang harus menjadi fokus dalam pencapaian NDC ialah pembangkit listrik, transportasi, dan industri. Teknologi CCUS menjadi salah satu strategi mewujudkan target NDC.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain mengoptimalkan potensi panas bumi, PT Pertamina (Persero) terus mengembangkan teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon sebagai salah satu strategi menekan emisi. Tantangannya adalah teknologi penangkapan karbon masih mahal.
Teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, and storage/CCUS) ialah teknologi penangkapan karbon yang digunakan dan disimpan. Teknologi itu dipasang di berbagai fasilitas, seperti pemrosesan gas, kilang minyak, dan pada pembangkit listrik tenaga uap. Pertamina terus mengembangkan studi tentang CCUS.
Senior Specialist II Production Research Upstream Research Technology Innovation (URTI) Pertamina Debby Halinda dalam Ruang Bincang Energi terkait strategi dekarbonisasi pada sektor energi, Minggu (30/10/2022), mengatakan, studi CCUS salah satunya untuk mendukung capaian dokumen kontribusi nasional (NDC) pada 2030.
”Sejumlah tantangan dalam CCUS antara lain masih mahalnya biaya untuk penangkapan karbon dan teknologi green hydrogen dan masih dibutuhkan insentif untuk pengurangan dan utilisasi CO2,” ujar Debby.
Pendiri Environment Institute yang juga dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, menuturkan, tiga sektor utama yang harus menjadi fokus dalam pencapaian NDC ialah pembangkit listrik, transportasi, dan industri. Di sisi lain, ada tantangan peningkatan permintaan energi seiring terus bertumbuhnya perekonomian Indonesia.
Teknologi, termasuk CCUS, dapat menjadi salah satu strategi untuk mewujudkan itu (target NDC), di samping berbagai strategi lain. ”Namun, ada prinsip bahwa teknologi itu hanya untuk mengatasi sebagian dari apa yang terjadi di alam ini. Bisa membantu, tetapi tidak bisa mengatasi seluruh persoalan,” kata Mahawan.
Panas bumi
Selain pengembangan teknologi CCUS, lanjut Debby, Pertamina juga terus mengoptimalkan potensi panas bumi Indonesia. Ditargetkan ada peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi Pertamina dari 672 megawatt (MW) pada 2020 menjadi 1.128 MW pada 2026.
”Di Indonesia, yang berada di ring of fire, banyak lapangan panas bumi yang belum diutilisasi. Namun, dalam peningkatan kapasitas panas bumi di Indonesia sekarang tak mudah,” katanya.
Selain panas bumi dan teknologi CCUS, sejumlah proyek strategis energi terbarukan Pertamina juga meliputi tenaga hidrogen, baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, bioenergi, dan solar-wind-hydro. Adapun pengurangan emisi dan dekarbonisasi juga menjadi strategi, termasuk di dalamnya internal carbon market, gasifikasi, dan nature based solution.
Sebelumnya, di sela-sela peringatan 70 Tahun Grup Kalla di Jakarta, Jumat (28/10) malam, Menteri BUMN Erick Thohir membuka peluang adanya penggabungan perusahaan-perusahaan BUMN yang bergerak di energi panas bumi. Pasalnya, panas bumi ialah potensi besar energi pemikul beban dasar (baseload) di samping energi hidro.
Pertamina, lanjut Erick, sudah mulai fokus ke pengembangan energi terbarukan melalui Pertamina Geothermal Energi (PGE). “November (2022) ini, akan diperkuat fondasi keuangannya. Mau meningkatkan kapasitas kan perlu dana. Kalau nanti ada aset di PLN yang menarik, terkait geothermal, kalau bisa disinergikan kenapa tidak,” katanya.
Begitu juga dengan PT Geo Dipa Energi (Persero) di bawah Kementerian Keuangan. Menurut Erick, ia sudah membicarakan rencana penggabungan terkait BUMN panas bumi itu dengan Menteri Keuangan. Namun, masih memerlukan waktu untuk konsolidasi. Rencana merger itu, sama seperti halnya penggabungan rumah sakit-rumah sakit dan hotel-hotel BUMN.