Ketergantungan pada Energi Fosil Tinggi, Transisi Energi Tetap Harus Dilanjutkan
Sejumlah perubahan diperlukan dalam peralihan dari energi berbasis fosil menjadi energi terbarukan. Salah satunya dengan menguatkan narasi energi yang lebih bersih. Segala upaya itu juga membutuhkan kolaborasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana diskusi pada Indonesia Sustainable Energy Week di Jakarta, Senin (10/10/2022). Acara tersebut membahas sejumlah aksi dan strategi Indonesia dalam transisi dari energi fosil ke energi yang lebih bersih atau energi terbarukan.
JAKARTA, KOMPAS — Research Fellow pada Stockholm Environment Institute Asia, Stefan Bößner, dalam Indonesia Sustainable Energy Week yang digelar secara hibrida, di Jakarta, Rabu (12/10/2022), mengatakan, infrastruktur energi fosil di banyak negara masih mapan lantaran ketergantungan pada sumber energi tersebut telah berlangsung lama. Namun, lantaran penggunaan energi fosil berdampak pada perubahan iklim, peralihan pada energi terbarukan tetap harus segera dilakukan.
”Yang dibutuhkan ialah perubahan produksi, distribusi, dan konsumsi energi. Begitu juga dengan pasar dan infrastruktur. Aspek terpenting ialah perubahan perilaku konsumen karena ini yang paling sulit dipahami oleh warga,” kata Bößner.
Tak dimungkiri, lanjutnya, berbicara ketahanan dan keamanan energi selalu berkaitan dengan energi fosil. Namun, di sisi lain, narasi energi terbarukan dengan biaya murah, seperti tenaga surya dan angin, perlu terus diperkuat.
Dari laporan International Energy Agency (IEA) Outlook 2022, pada rentang 2020-2050, terkait permintaan energi fosil di Asia Tenggara, ada gap lebar antara skenario penggunaan kebijakan yang saat ini ada atau telah diumumkan (STEPS) dan skenario yang sejalan dengan Kesepakatan Paris untuk menjaga rata-rata kenaikan suhu global ”well below 2C” (jauh di bawah 2 derajat celsius) atau SDS.
Permintaan minyak di Asia Tenggara pada 2050, misalnya, diperkirakan bakal mencapai sekitar 7,5 juta barel per hari jika menggunakan skenario STEPS dan menjadi sekitar 3 juta barel per hari jika menggunakan skenario SDS. Kedua skenario itu berangkat dari titik yang sama, yakni permintaan minyak sekitar 5 juta barel per hari pada 2020.
”Berdasarkan gelaran IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change) ke-6, supaya Kesepakatan Paris tercapai, ada tiga hal yang diperlukan. Pertama, penghapusan bertahap (phased out) pembangkit listrik tenaga uap mesti nyaris tuntas pada 2050. Kedua, share konsumsi energi final (elektrifikasi) harus meningkat, dan energi primer dari energi terbarukan nonbiomassa juga mesti ditingkatkan,” ujar Bößner.
Upaya itu penuh tantangan mengingat saat ini penjualan energi fosil, seperti batubara, juga menjadi penerimaan penting bagi pemerintah, terutama di Indonesia. Akan tetapi, menurut dia, jika terus dikembangkan, termasuk dengan inovasi dan transformasi, hal itu juga dapat menghadirkan diversifikasi ekonomi yang menguntungkan negara. Salah satu upaya memacu pengembangan energi terbarukan ialah dengan keterlibatan komunitas.
”Seperti di Jerman, berkisar 40-50 persen dari instalasi energi terbarukan dimiliki oleh komunitas di masyarakat. Hal seperti ini juga mungkin dapat menjadi kontranarasi terhadap energi berbasis fosil,” kata Bößner.
Direktur Program Coaction Indonesia Verena Puspawardani menambahkan, sejumlah aksi dapat dilakukan dalam mendukung transisi energi. Dalam pembiayaan, misalnya, dengan memberi paket stimulus fiskal yang mampu menarik investasi serta memacu industri hijau. Juga berbagai terobosan lain dalam kebijakan, teknologi, dan pengembangan keterampilan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas membersihkan panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atas atap pabrik terigu milik PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari, di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (9/9/2022). PLTS yang baru mulai dioperasikan itu mempunyai kapasitas 1 megawatt-peak dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik tersebut.
Indonesia, menurut Verena, sudah memiliki beberapa kebijakan mengarah pada percepatan energi terbarukan. ”Termasuk dalam penurunan emisi karbon. Namun, masyarakat sipil perlu terus memantau progresnya. Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 pun menjadi hal baik, tetapi yang perlu dicermati ialah selanjutnya, bagaimana tindak lanjutnya, termasuk COP 27 nanti,” tuturnya.
”Pensiun dini” PLTU
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN sepenuhnya berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, dilakukan penambahan pembangkit, yakni 51,6 persen, melalui energi terbarukan, seperti panas bumi, angin, dan surya.
”Itu pun belum cukup. Kami membangun strategi bagaimana memensiunkan dini PLTU kami. Ada program 5 gigawatt (GW) sebelum 2030, kemudian ada 5 GW lebih pensiun dini (PLTU) setelah 2030. Ini sangat sulit. Namun, kami pastikan perjuangan kami all-out dalam mendukung itu,” ujar Darmawan dalam Bincang Dua Puluh: Menapak Peta Jalan Pemanfaatan Kendaraan Listrik Nasional, di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Darmawan menuturkan, pada sektor ketenagalistrikan, emisi gas rumah kaca saat ini ialah 240 juta ton per tahun. Apabila business as usual atau tak ada intervensi, pada 2060 angkanya akan meningkat menjadi 920 juta ton per tahun. Akan tetapi, telah disepakati dan dideklarasikan bahwa pada 2060 atau lebih cepat ditargetkan emisi nol bersih (NZE).
Di sisi lain, kolaborasi menjadi hal yang penting dilakukan untuk mencapai berbagai target penurunan emisi. ”Ini masalah global sehingga memerlukan kolaborasi global. Baik dalam kebijakan, strategi, teknologi, inovasi, dan investasi. Begitu juga di tingkat domestik, di antaranya melalui sektor transportasi,” ucapnya.