Laporan e-Economy SEA 2022 menyebutkan, ekonomi internet di Asia Tenggara akan mencapai 330 miliar dollar AS pada tahun 2025, turun dari perkiraan tahun sebelumnya sebesar 363 miliar dollar AS.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi internet di Asia Tenggara melambat setelah bertahun-tahun ekspansi. Ini menunjukkan bahwa bahkan pasar digital yang sedang berkembang pun tidak kebal terhadap hambatan ekonomi. Menurut penelitian e-Economy SEA 2022 dari Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Co, belanja daring di wilayah ini akan meningkat sekitar 20 persen tahun ini menjadi 200 miliar dollar AS atau melambat 38 persen dari tahun sebelumnya.
Laporan yang sama memperkirakan, ekonomi internet di Asia Tenggara akan mencapai 330 miliar dollar AS pada tahun 2025, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 363 miliar dollar AS. Ekonomi internet dilihat dalam ukuran nilai pembelian barang dagangan (GMV). Laporan e-Economy SEA 2022 dirilis pada Kamis (27/10/2022).
Mengutip Bloomberg, ini adalah pertama kalinya Google, Temasek, dan Bain merevisi estimasi nilai ekonomi internet, yang dalam laporan tahunan e-Economy SEA selalu mencakup Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Meski konsumen di kawasan ini mengadopsi layanan seluler dan internet dengan cepat, mereka ternyata membatasi pengeluaran di tengah kenaikan inflasi dan suku bunga, sama seperti konsumen lain secara global.
Setelah bertahun-tahun berakselerasi, pertumbuhan adopsi digital menjadi ”normal”. Mayoritas pemain digital sekarang mengalihkan prioritas dari akuisisi pelanggan baru ke keterlibatan yang lebih dalam dengan pelanggan yang sudah ada untuk meningkatkan penggunaan dan nilai.
Asia Tenggara, rumah bagi Lazada milik Alibaba Group Holding Ltd dan Shopee Sea Ltd, akan mengalami peningkatan nilai barang dagangan secara bruto sebesar 16 persen pada akhir 2022, melambat tajam dari puncak pandemi karena konsumen menjadi lebih berhati-hati. Belanja daring diperkirakan mencapai 211 miliar dollar AS pada tahun 2025 dibandingkan dengan prediksi sebelumnya yang mencapai 234 miliar dollar AS yang merupakan 64 persen dari total perkiraan GMV digital di Asia Tenggara.
Dari sisi suntikan investasi, laporan e-Economy SEA 2022 menyebutkan, jumlah kesepakatan investasi terhadap perusahaan rintisan bidang teknologi atau start up relatif stabil, yaitu sekitar 1.200 kesepakatan pada semester I-2022. Investasi untuk start up tahap awal meningkat, sedangkan investasi tahap lanjut dihantam oleh redupnya prospek start up yang melantai di pasar saham.
Investor terus menuntut profitabilitas, arus kas, dan margin keuntungan yang baik.
Mengutip CNBC, Wakil Kepala Teknologi dan Konsumen Temasek Fock Wai Hoong mengatakan, kenaikan suku bunga membuat mereka menyimpulkan bahwa strategi pertumbuhan perusahaan teknologi yang mengandalkan segala biaya bukan strategi yang layak. Investor terus menuntut profitabilitas, arus kas, dan margin keuntungan yang baik. Start up perlu menemukan keseimbangan yang tepat antara mengoptimalkan biaya dan mengejar pertumbuhan usaha.
Untuk Indonesia, jumlah kesepakatan investasi ke start up konstan, tetapi nilai transaksi turun 2 miliar dollar AS dibanding tahun lalu. Investor memprioritaskan profitabilitas dan khawatir menghadapi valuasi start up tahap akhir pertumbuhan.
Menanggapi hasil laporan itu, Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro, saat dihubungi pada Sabtu (29/10/2022), di Jakarta, mengatakan, investor masih akan melakukan investasi kepada start up di Indonesia, tetapi lebih selektif. Perusahaan modal ventura yang tergabung dalam Amvesindo pun cenderung lebih memilih start up yang berlatar belakang sektor industri sehari-hari, yaitu pertanian, kesehatan, teknologi finansial, pendidikan, dan pangan. Sektor-sektor industri ini diperkirakan bisa bertahan jika ada resesi.
”Kami juga akan fokus berinvestasi kepada start up yang bisa mengelola uang kas dengan baik dan mampu mencetak untung. Setidaknya start up harus memiliki strategi untuk meraih untung. Start up harus pintar mengelola uang kas, kurangi bakar uang, perekrutan tenaga kerja baru, atau ekspansi yang tidak menghasilkan,” ujar Eddi.
Dalam laporan e-Economy SEA 2022 juga disampaikan temuan survei konsumen digital. Untuk Indonesia, niat untuk menggunakan layanan e-dagang, supermarket daring, transportasi, dan pesan antar makanan yang lebih banyak ternyata tidak sampai 35 persen. Konsumen Indonesia memilih mempertahankan niat porsi pembelian sama seperti tahun sebelumnya.
Untuk Indonesia, laporan itu menyatakan, Indonesia tetap menjadi ekonomi internet terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Untuk Indonesia, laporan itu menyatakan, Indonesia tetap menjadi ekonomi internet terbesar di kawasan Asia Tenggara. Vietnam diperkirakan akan tumbuh pada tingkat tercepat di antara enam negara yang diteliti, lebih dari dua kali lipat dalam GMV selama tiga tahun ke depan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kelompok warga menengah ke bawah mengurangi konsumsi makanan karena mereka memiliki keterbatasan uang. Kondisi ini membuat mereka kesulitan untuk mengalokasikan pendapatan mereka untuk kebutuhan lain, seperti properti. Sementara kelompok warga kelas menengah menambah pengeluaran makanan.
”Kenaikan inflasi menyebabkan warga memprioritaskan kebutuhan pokok,” katanya.