Hulu migas Indonesia perlu pembenahan. Realisasi ”lifting” minyak yang terus merosot terasa kontraproduktif dengan target produksi 1 juta barel per hari pada 2030. Tanpa pembenahan, Indonesia akan terus bergantung impor.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Kabar kurang menggembirakan datang dari sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia. Hingga triwulan 30 September 2022, produksi siap jual atau lifting minyak hanya 610.100 barel per hari. Capaian ini masih di bawah target APBN 2022 yang sebanyak 703.000 barel per hari. Padahal, Indonesia punya mimpi mencapai produksi 1 juta barel per hari pada 2030.
Dalam lima tahun terakhir, lifting minyak terus merosot. Sempat naik dari 779.000 barel per hari pada 2015 menjadi 829.000 barel per hari di 2016, realisasinya terus merosot menjadi 804.000 barel per hari di 2017. Lalu, berturut-turut lifting minyak terus turun hingga menjadi 660.000 barel per hari di 2021. Sejumlah kalangan pun memprediksi target lifting tahun ini bakal tidak tercapai.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) beralasan, turunnya lifting sejauh ini disebabkan oleh masalah operasional (Kompas, 18/10/2022). Masalah tersebut, antara lain longsor di wilayah kerja ExxonMobil Cepu Ltd di Bojonegoro, Jawa Timur, membuat pipa minyak tidak aman dioperasikan. Gangguan operasional lainnya adalah kebocoran selang pembongkaran yang berakibat produksi merosot.
Selain problem teknis tersebut, faktor fundamental yang menyebabkan lifting terus turun adalah usia sumur-sumur minyak di Indonesia sudah tua atau mencapai puluhan tahun. Sumur-sumur tersebut sudah melewati masa puncak produksinya. Di saat yang sama, Indonesia belum menemukan sumber cadangan baru berskala besar (sedikitnya 500 juta barel minyak) setelah penemuan minyak di Blok Cepu di era 2000-an.
Sementara itu, metode pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR) yang digadang-gadang bisa meningkatkan produksi tidak mudah diterapkan. EOR membutuhkan investasi yang tak sedikit. Keekonomian lapangan minyak, bergantung pada kondisi di lapangan, menjadi penting sebelum metode tersebut diterapkan. Teknologi EOR terbukti bisa menaikkan produksi, seperti yang dilakukan Chevron di lapangan Duri, Blok Rokan, di mana produksi 10.000 barel per hari berhasil dinaikkan menjadi 300.000 barel per hari pada 1996 dengan metode injeksi uap.
Teknologi EOR terbukti bisa menaikkan produksi, seperti yang dilakukan Chevron di lapangan Duri, Blok Rokan, di mana produksi 10.000 barel per hari berhasil dinaikkan menjadi 300.000 barel per hari pada 1996 dengan metode injeksi uap.
Namun, apa artinya metode canggih tersebut tanpa dibarengi penemuan sumber cadangan baru? Seberapa pun efektifnya EOR, suatu saat cadangan minyak di sumur akan ada di titik akhirnya: habis sampai tetes terakhir tak tersisa.
Eksplorasi
Berulang kali pemerintah berujar bahwa sumber daya migas di Indonesia masih (kemungkinan) besar. Hal itu ditandai dengan 74 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang belum diteliti. Mayoritas cekungan itu berada di wilayah timur Indonesia dan di perairan dalam. Dibutuhkan sumber daya yang besar, baik itu dana maupun teknologi, untuk mengeksplorasi ke-74 cekungan tersebut.
Tak cukup dengan eksplorasi, insentif fiskal dan nonfiskal juga dibutuhkan untuk mendongkrak daya tarik investasi hulu migas di Indonesia. Skema bagi hasil yang fleksibel bergantung pada kondisi keekonomian lapangan diharapkan membantu menarik minat investor. Sebab, selama ini iklim investasi di Indonesia masih tak bagus amat di mata investor, khususnya masalah ruwetnya mengurus perizinan atau birokrasi yang kompleks.
Mengutip data Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari skala 0 sampai 5, nilai Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas mencapai 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang 3,3. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah penyederhanaan birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas (Kompas, 20/11/2020).
Iklim investasi yang masih penuh tantangan seakan kontras dengan kondisi Indonesia. Sebab, sejak 2004 Indonesia menjadi negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Kebutuhan bahan bakar minyak untuk konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel per hari sampai 1,5 juta barel per hari tak sanggup dipenuhi dari dalam negeri. Dengan produksi minyak kurang dari 700.000 barel per hari, impor minyak mentah dan BBM Indonesia bisa mencapai 800.000 barel per hari.
Banyaknya perizinan yang tumpang tindih dengan waktu penyelesaian tak jelas sebaiknya dipangkas dan diberi kepastian waktu pengurusannya.
Dengan ketergantungan terhadap impor yang tinggi, termasuk klaim masih besarnya sumber daya hidrokarbon di Tanah Air, seharusnya pemerintah bergerak memperbaiki diri agar investor hulu migas berminat berinvestasi di Indonesia. Banyaknya perizinan yang tumpang tindih dengan waktu penyelesaian tak jelas sebaiknya dipangkas dan diberi kepastian waktu pengurusannya.
Kata kunci lainnya adalah eksplorasi. Tanpa usaha sungguh mencari sumber cadangan baru, Indonesia akan kian dalam terjerat pada ketergantungan impor. Tak perlu lagi ”jual mahal”, Indonesia masih butuh minyak meski sedang gencar bertransisi ke energi terbarukan.