Pemerintah Daerah Disarankan Menggunakan Hak Diskresinya
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia berharap pemerintah menggunakan hak diskresinya untuk menetapkan upah minimum tahun 2023 sesuai dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok pekerja/buruh tetap bersikeras menolak penghitungan upah minimum sesuai formula yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Mereka menyerukan agar pemerintah, terutama pemerintah daerah, menggunakan hak diskresinya dalam menetapkan upah minimum tahun 2023 sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
”Kami menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2020 karena Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih inkonstitusional sehingga otomatis turunannya pun tidak bisa dipakai sebagai acuan menentukan upah tahun 2023. Dan, tentu saja KSBSI akan melangsungkan demo lagi tanggal 28 Oktober 2022,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Senin (17/10/2022), di Jakarta.
Untuk saat ini, Elly menyampaikan, pihaknya menginginkan agar gubernur dan pemerintah kabupaten/kota menggunakan hak diskresinya dalam menentukan penghitungan upah minimum. Sebab, setiap daerah mempunyai tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda.
Diskresi merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada UU. Hal itu merupakan kebebasan seorang pejabat mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri dan tentu saja atas rekomendasi dewan pengupahan.
Menurut Elly, beberapa perusahaan yang memiliki serikat pekerja/buruh dan daya tawar kolektif tinggi sedang melakukan negosiasi upah minimum. Akan tetapi, jumlahnya tidak banyak dan tidak berhasil sebab tidak ada dasar hukum.
”Saat ini, kami butuh ketegasan dan kepedulian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah,” imbuhnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga M Hadi Shubhan mengatakan, UU No 11/2020 secara normatif tetap berlaku sekarang sampai maksimal tahun depan. Selanjutnya, itu tergantung pada sikap Mahkamah Konstitusi apakah UU No 11/2020 tetap lanjut atau dibatalkan permanen tahun depan.
”Karena UU No 11/2020 sampai sekarang tetap berlaku, peraturan organiknya, termasuk PP No 36/2021 juga tetap berlaku. Hanya saja, keadaan berubah cukup drastis karena kenaikan bahan bakar minyak dan situasi praresesi dunia. Jadi, pemerintah perlu membuat diskresi dengan perlakuan khusus untuk upah minimum tahun depan,” ujar Hadi.
Diskresi yang dimaksud berupa upah minimum tahun 2023 sama dengan upah tahun 2022 ditambah dengan angka inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi kumulatif. Pemerintah bisa mengeluarkan surat edaran sebagai landasan hukum mengeluarkan diskresi itu.
”Apabila mau taat asas, pemerintah sebenarnya bisa mengubah PP No 36/2020. Lama tidaknya penyusunan revisi PP tergantung komitmen politik. Dulu, saat pembahasan UU No 11/2020 sangat cepat, meskipun naskahnya tebal sekali,” imbuhnya.
Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, mekanisme upah minimum seharusnya mengedepankan win-win solution. Baik pekerja/buruh, pengusaha, maupun pemerintah harus sama-sama untung.
Dia sependapat dengan Hadi bahwa besaran kenaikan upah minimum setidaknya harus bisa mengompensasi kenaikan inflasi umum dan inflasi komoditas/item yang masuk dalam daftar komponen hidup layak per tahun. Hal ini semestinya selalu diterapkan untuk apa pun formula penghitungan upah minimum.
Untuk jangka panjang, Rusli memandang pemerintah bisa menerapkan pendapatan dasar universal (universal basic income/UBI). Dia menilai UBI sejalan dengan amanat konstitusi Indonesia yang sejatinya menganut paham bernegara welfare state (negara kesejahteraan). Adanya UBI diharapkan mampu mengurangi polemik penentuan upah minimum setiap tahun.
”UBI bisa berupa transfer tunai ke semua penduduk tanpa kecuali/syarat demi memenuhi kebutuhan minimum,” katanya.
Menurut Rusli, untuk mewujudkan UBI jangka panjang, Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen politik yang kuat, memberantas korupsi, dan meningkatkan rasio pajak. Rasio pajak di Indonesia tahun 2021 sebesar 9,11 persen, lebih rendah daripada negara-negara kawasan ASEAN. Di Malaysia, misalnya, rasio pajaknya telah mencapai sekitar 14 persen.