Beroperasinya 16.000 kapal tidak berizin dapat menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Negara mengalami kerugian dari hilangnya data hasil tangkapan, produksi, penerimaan negara bukan pajak, dan pajak.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah diharapkan segera menindaklanjuti indikasi kapal perikanan tidak berizin yang jumlahnya mencapai 16.000 kapal. Tata kelola perikanan perlu dibenahi untuk memberikan kepastian kepada usaha perikanan tangkap di Tanah Air.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan, terdapat ketidaksesuaian jumlah kapal ikan yang teregistrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sebanyak 22.000 kapal terdaftar di Kemenhub pada tahun ini, tetapi hanya 6.000 yang teregistrasi di KKP. Pihaknya terlalu fokus menghentikan penangkapan ikan oleh kapal asing sehingga tidak memperhatikan bahwa banyak kapal dalam negeri yang tidak terdaftar (Kompas.id, 11/10/2022).
Peneliti Destructive Fishing Watch Indonesia, Muhamad Arifuddin, menilai, selisih 16.000 kapal yang tidak terdaftar di KKP sangat besar dan semestinya tidak terjadi. Informasi yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut perlu diungkap dan ditindaklanjuti sebab jika benar hal tersebut menandakan kerunyaman tata kelola perikanan terutama perizinan kapal.
”Jika benar ada perbedaan data, mesti dicari sebabnya, apakah ada perbedaan format data dan penyajian atau secara faktual ada perbedaan angka,” kata Arifuddin, dalam keterangan pers, Minggu (16/10/2022).
Arifuddin menambahkan, Pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai satu data tentang jumlah kapal ikan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Tanpa akurasi data, implementasi penangkapan ikan terukur dinilai akan menghadapi hambatan besar. ”Tantangan implementasi penangkapan ikan terukur makin bertambah dengan berbedaan data ini,” lanjutnya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengatakan, salah satu prinsip bisnis perikanan tangkap adalah adanya kepastian. Dualisme informasi dikhawatirkan membuat pelaku usaha berpikir ulang dalam berinvestasi. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan fundamental dari tata kelola perikanan.
”Perlu pemetaan rantai hulu-hilir dan titik permasalahan sensitif yang menjadi faktor penghambat yang menyebabkan bisnis perikanan tangkap selama ini menjadi tidak transparan,” kata Abdi.
Pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai satu data tentang jumlah kapal ikan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Tanpa akurasi data, implementasi penangkapan ikan terukur dinilai akan menghadapi hambatan besar.
Beroperasinya 16.000 kapal tidak berizin juga dapat menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Negara mengalami kerugian dari hilangnya data hasil tangkapan, produksi, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan pajak. Padahal, KKP memiliki sistem radar canggih yang seharusnya bisa memantau dan mendeteksi kapal ikan berukuran besar yang beroperasi tanpa izin KKP.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, data dari Kementerian Perhubungan perlu dianalisis karena merupakan akumulasi data. Pihaknya sedang melakukan harmonisasi.
”Data dari Kementerian Perhubungan sedang kami analisis dan tentunya menjadi bagian dari tugas untuk pengecekan di lapangan,” ujarnya.
Adin menambahkan, PSDKP KKP akan terus melaksanakan pengawasan. Pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha yang izinnya diterbitkan di DJPT. ”Kami berkolaborasi untuk meyakinkan bahwa semua pelaku usaha perikanan tangkap memiliki izin,” katanya.