Penangkapan Terukur Berpotensi Memicu Konflik di Tengah Laut
Kebijakan penangkapan terukur berpotensi menimbulkan konflik di tengah laut antara korporasi pemegang kontrak dan nelayan lokal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
JOHAN UNTUK KOMPAS
Poli Pikaem (50), nelayan asal Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, menyiapkan perahu dayung untuk melaut pada Rabu (16/3/2022) petang.
DOBO, KOMPAS — Implementasi kebijakan penangkapan terukur yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat berpotensi menimbulkan konflik terbuka di tengah laut. Konflik dimungkinkan terjadi antara nelayan lokal dan korporasi perikanan skala besar yang mengantongi izin kontrak kuota penangkapan dari pemerintah.
Kekhawatiran akan konflik terbuka itu diutarakan lewat sambungan telepon oleh sejumlah nelayan lokal di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, pada Kamis (1/9/2022). Para nelayan itu biasanya beroperasi di Laut Arafura yang menurut rencana akan dijadikan perairan pertama implementasi penangkapan terukur.
Laut Arafura membentang dari bagian tenggara Kepulauan Maluku hingga sisi selatan Papua. Sebagaimana data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laut Arafura berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 yang memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional.
Paulus Pikaem (50), nelayan, menuturkan, konflik itu terkait perebutan tempat pencarian ikan. Di saat nelayan lokal dengan perahu motor seadanya sedang menangkap ikan, kapal-kapal besar milik perusahaan pemegang kontrak bisa saja akan merebut areal itu. Caranya adalah melepas alat tangkap di tempat yang sama.
Lokasi paling mungkin yang menjadi daerah perebutan adalah di bawah 12 mil laut di mana terdapat banyak udang. Secara aturan, kapal besar berukuran di atas 30 gross ton (GT) milik korporasi besar tidak boleh menangkap ikan di bawah 12 mil laut. Adapun kapal berukuran 30 GT ke bawah menjadi kewenangan daerah.
”Kalau mereka sudah memegang kontrak, laut sudah jadi milik mereka. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Apalagi, nelayan kecil yang hanya dengan modal perahu motor otomatis akan tersingkir. Dan kondisi ini memang sering terjadi sebelum adanya kebijakan penangkapan terukur ini,” katanya.
Kalau mereka sudah memegang kontrak, laut sudah jadi milik mereka. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka. (Paulus Pikaem)
Mato Jabumona (37), nelayan lain, menuturkan, pada awal 2022, sebuah kapal ikan yang menggunakan pukat trawl dengan sengaja menabrak alat tangkap milik nelayan lokal di bagian selatan Kepulauan Aru. Sempat terjadi adu mulut di tengah laut. Kapal penabrak yang sempat diidentifikasi namanya itu kemudian kabur.
Menurut Mato, implementasi penangkapan terukur di satu sisi memberi kekuasaan penuh pada korporasi besar, tetapi di sisi lain membuat nelayan lokal bakal semakin tertindas. Mereka tertindas di perairan sendirian oleh kapal yang juga dari dalam negeri sendiri. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi perlawanan.
DOKUMEN JOHAN
Aksi mimbar bebas menanggapi rencana pelaksanaan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai penangkapan terukur di Laut Aru dan Laut Arafura. Aksi itu berlangsung di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, pada Selasa (15/3/2022).
”Kalau terus-terusan diintimidasi atau ditindas di tengah laut, pasti akan terjadi perlawanan karena ini menyangkut nafkah orang. Laut tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi nelayan lokal untuk mencari ikan. Kondisi seperti ini yang kami nelayan lokal sangat khawatirkan jangan sampai terjadi,” katanya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR pada Selasa (30/8/2022), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas,31/8/2022).
Hingga kini belum diketahui dengan pasti kapan kebijakan yang menuai penolakan dari nelayan lokal dan kritik dari wakil rakyat di DPR itu akan mulai diterapkan. Pun belum diumumkan nama perusahaan yang menjadi pemegang kontrak dalam penangkapan terukur di Laut Arafura.