Penerapan Ekonomi Biru Perlu Perhatikan Aspek Keadilan Laut
Penerapan ekonomi biru melalui program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu memerhatikan aspek keadilan laut. Salah satunya dengan meningkatkan partisipasi nelayan.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja memilih ikan tuna berdasarkan ukurannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Jumat (17/9/2021). Pemerintah segera memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan bagi industri perikanan. Sistem itu merupakan bagian dari kebijakan penangkapan terukur dan berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan lima program untuk mendorong penerapan prinsip ekonomi biru atau blue economy. Salah satunya adalah program Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota. Namun, program itu perlu memerhatikan aspek keadilan laut agar tidak merugikan nelayan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan, program Penangkapan Ikan Terukur merupakan upaya mendorong ekonomi biru dengan mengantisipasi overfishing atau penangkapan ikan secara berlebih. Sejauh ini, pihaknya terlalu fokus menghentikan penangkapan ikan oleh kapal asing sehingga tidak memerhatikan bahwa banyak kapal dalam negeri yang tidak terdaftar.
Ia menemukan ketidaksesuaian jumlah kapal ikan yang teregistrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sebanyak 22.000 kapal terdaftar di Kemenhub pada tahun ini, tetapi hanya 6.000 yang teregistrasi di KKP.
“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, berapa banyak ikan diambil oleh kapal yang tak terdaftar di KKP? Dari potensi sumber daya ikan sebanyak 12 juta ton per tahun, berapa yang tersisa? Penangkapan lestari kan hanya membolehkan 80 persen dari potensi yang ada,” ujar Trenggono dalam acara "Sinergi Kolaborasi dalam Rangka Pemberdayaan Nelayan dan Pengelolaan Pesisir untuk Mewujudkan Kesejahteraan dan Keadilan Laut", di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Trenggono heran hal itu bisa lolos dari pengawasan. Selain dengan penerapan Penangkapan Ikan Terukur, ia meminta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP untuk serius menangani tingginya jumlah kapal ikan yang belum terdaftar di KKP tersebut.
Adapun program Penangkapan Ikan Terukur ini berbasis kuota di enam zona penangkapan ikan yang ditentukan. Dengan adanya kuota, harapannya jumlah penangkapan ikan sesuai dengan prinsip ekonomi biru. Selain itu, nelayan kecil juga mendapatkan perlindungan.
“Tujuan program ini untuk nelayan Indonesia yang jumlahnya 2,5 sampai 3 juta (nelayan). Sebisa mungkin, produktivitas mereka meningkat dengan penerapan kuota ini,” ujar Trenggono.
Selain Penangkapan Ikan Terukur, ada empat program lain dari KKP untuk mendorong ekonomi biru. Pertama, perluasan wilayah konservasi dengan target mencapai 30 persen pada tahun 2045. Kedua, pembangunan budidaya yang ramah lingkungan di wilayah laut, pesisir, dan darat. Ketiga, program penjagaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap potensi kerusakan akibat kegiatan ekonomi yang tidak terkendali. Terakhir, penerapan program “Bulan Cinta Laut” sebagai komitmen Indonesia untuk menjaga wilayah laut bersih dan bebas sampah plastik.
Meskipun demikian, program Penangkapan Ikan Terukur dalam rangka mendorong penerapan ekonomi biru ini perlu memerhatikan keadilan laut. Terlebih, menurut studi Nathan Bennet dalam “Blue growth and Blue Justice: Ten Risks and Solutions for The Ocean Economy”, ekonomi biru menimbulkan 10 risiko ketidakadilan laut.
Risiko tersebut di antaranya degradasi lingkungan dan pengurangan ketersediaan layanan ekosistem serta dampak mata pencaharian bagi nelayan skala kecil. Selain itu, hilangnya akses ke sumber daya laut yang dibutuhkan untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan serta distribusi manfaat ekonomi yang tidak merata.
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, ada kekhawatiran pendekatan sustainable ocean economy (ekonomi kelautan yang berkelanjutan) atau ekonomi biru akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan. Pemikiran bahwa pendekatan ini semata-mata untuk pembangunan ekonomi dapat menimbulkan risiko ketidakadilan sosial, termasuk bagi nelayan kecil.
“Untuk itu, ekonomi biru harus kental dengan dua hal, yakni keadilan sosial agar masyarakat mendapatkan manfaat yang berkeadilan. Kedua, keadilan ekologis dengan paradigma pembangunan ekonomi harus disertai dukungan dan daya dukung ekosistem yang kuat," kata Mas Achmad.
Adapun Direktur IOJI Stephanie Juwana secara spesifik menyampaikan, pemerintah perlu mengingat bahwa implementasi program Penangkapan Ikan Terukur harus didasarkan pada prinsip keadilan laut. Hal itu bertujuan agar nelayan tidak dirugikan.
Selain itu, kata Stephanie, manfaat dari program itu jangan sampai hanya dirasakan orang-orang tertentu. Harus banyak orang yang merasakan manfaat dari program ini. Termasuk harus menunjang pembangunan di pesisir dan pelabuhan.
IOJI telah memberikan rekomendasi agar pemerintah menerapkan kebijakan yang mengarusutamakan prinsip-prinsip keadilan laut. Rekomendasi itu didasarkan atas kajian pelaksanaan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) dan Undang-undang Perlindungan Nelayan di tujuh lokasi Indonesia. Adapun kajian dilakukan IOJI dengan dukungan dari Yayasan Pesisir Lestari dan KKP.
Dalam kajiannya, IOJI menulis bahwa UU PWP3K dan UU Perlindungan Nelayan sudah memuat filosofi dan tujuan yang sejalan dengan konsep keadilan laut. IOJI merekomendasikan pemerintah untuk mendorong dan menyempurnakan instrumen-instrumen dalam kedua UU tersebut. Beberapa instrumen kunci, seperti Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang terintegrasi dalam rencana pembangunan, serta instrumen pendidikan, pelatihan, penyuluhan WP3K perlu semakin digalakkan.
Tingkatkan partisipasi nelayan
Selain itu, IOJI juga merekomendasikan perbaikan mekanisme partisipasi nelayan untuk mewujudkan keadilan laut. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses terus-menerus dari nelayan dalam inisiatif pengelolaan sumber daya perikanan. Adapun pemerintah perlu menyediakan informasi yang aktif dan memperbaiki proses partisipasi agar terus adaptif dan berkelanjutan.
“Kami melihat partisipasi dalam pengambilan kebijakan ini menentukan segala hal. Kalau mereka tidak ikut penentuan kebijakan KKP terbaru, misalnya, mereka tidak punya akses menyuarakan kekhawatiran mereka. Partisipasi penting agar masyarakat ikut menentukan arah kebijakan bertujuan melindungi dan memberdayakan mereka,” kata Stephanie.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga mencari ikan di dermaga Kampung Yensner, Teluk Mayalibit, Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (3/6/2021). Warga kampung tersebut masih menerapkan tradisi Sasi. Sasi merupakan kearifan lokal yang mengatur pengelolaan alam agar alam itu memberi manfaat bagi manusia secara berkelanjutan.
Hal senada disampaikan Direktur Yayasan Pesisir Lestari, Maman. Menurut dia, masyarakat lebih tahu kondisi lingkungan mereka sehingga pengetahuan itu perlu dimasukkan ke dalam kebijakan. Pengetahuan itu berupa kearifan lokal yang biasanya sudah ada sejak lama dan diterapkan secara turun temurun.
Maman mencontohkan tradisi Sasi di beberapa wilayah Indonesia bagian Timur. Sasi merupakan larangan mengambil sumber daya alam di darat maupun laut dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini merupakan upaya menjaga alam tetap lestari dengan menghindari eksploitasi berlebih.
Dengan adanya kearifan lokal seperti Sasi, penting bagi pemerintah menguatkan akses partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Hal itu juga berpotensi mewujudkan co-management antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelola sumber daya laut.
“Masyarakat juga bisa diberdayakan untuk tujuan ekologi. Alhasil, antara ekologi dan pemenuhan ekonomi masyarakat bisa beriringan. Pada akhirnya, masyarakat harus menjadi tokoh, harus menjadi subjek, dalam kegiatan pengelolaan sumber daya laut tersebut,” kata Maman.