Masyarakat Menahan Belanja, Konsumsi Rumah Tangga Bisa Tumbuh Lambat
Selama empat minggu pasca-kenaikan harga BBM, tingkat belanja masyarakat sedikit lebih rendah dibanding sebelum pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar. Konsumsi rumah tangga bisa tumbuh melambat.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak membuat masyarakat menahan belanja. Hal itu terjadi pula di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor dan berbasis pariwisata. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen terbesar penopang pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh melambat.
Hasil riset Mandiri Institute tentang belanja masyarakat per 2 Oktober 2022 menunjukkan, tingkat belanja masyarakat masih terus tertahan di tengah lonjakan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Selama empat minggu pasca-kenaikan harga BBM, tingkat belanja tersebut sedikit lebih rendah dibanding sebelum pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September 2022.
Per 2 Oktober 2022, indeks nilai dan frekuensi belanja masyarakat masing-masing sebesar 128,6 dan 158,6. Adapun per 26 Agustus 2022, indeks nilai dan frekuensi belanja masyarakat masing-masing berada di level 128,7 dan 158,7.
Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani, Jumat (14/10/2022), mengatakan, perlambatan tingkat belanja masyarakat itu terjadi akibat kenaikan inflasi pada September 2022. Kenaikan inflasi itu dipicu oleh kenaikan harga BBM.
”Kendati terus turun, tingkat belanja masyarakat tersebut masih cukup resilien, terutama untuk pembelian barang-barang tidak tahan lama (nondurable goods). Hal itu ditunjukkan oleh angka indeks yang masih di atas ambang batas 100,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Selama empat minggu pasca-kenaikan harga BBM, tingkat belanja tersebut sedikit lebih rendah dibanding sebelum pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September 2022.
Menurut Dendi, penurunan tingkat belanja masyarakat juga terjadi di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tingginya inflasi di daerah tersebut, tetapi juga akibat penurunan harga komoditas global.
Penurunan harga komoditas global ini akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat di daerah penghasil komoditas ekspor. Namun, daya beli mereka masih cukup resilien karena harga komoditas global masih relatif tinggi kendati trennya turun.
”Yang perlu diantisipasi agar daya beli mereka tidak semakin tergerus adalah menekan dampak kenaikan harga BBM terhadap bahan pangan dan transportasi. Hal itu penting mengingat kenaikan inflasi di daerah-daerah luar Jawa tidak hanya disebabkan oleh rembetan kenaikan harga BBM. Kenaikan inflasi juga dipicu oleh meningkatnya permintaan yang tidak disertai kecukupan barang-barang pokok,” katanya.
Kenaikan inflasi di daerah-daerah luar Jawa tidak hanya disebabkan oleh rembetan kenaikan harga BBM. Kenaikan inflasi juga dipicu oleh meningkatnya permintaan yang tidak disertai kecukupan barang-barang pokok.
Selain daerah penghasil komoditas, lanjut Dendi, inflasi tinggi juga dapat menggerus daerah-daerah berbasis pariwisata. Bali, misalnya, yang saat ini masih dalam proses normalisasi tingkat belanja ke level prapandemi. Kenaikan harga BBM dapat menekan kembali sektor pariwisata sehingga berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi Bali.
Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu terus membangun optimisme dan mengendalikan inflasi untuk mendorong belanja masyarakat. Inflasi perlu dijaga pada periode Natal dan Tahun Baru nanti agar belanja masyarakat meningkat.
”Belanja masyarakat merupakan cerminan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Jika belanja masyarakat tertahan, konsumsi rumah tangga akan tumbuh lambat,” kata Dendi.
Belanja masyarakat merupakan cerminan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Jika belanja masyarakat tertahan, konsumsi rumah tangga akan tumbuh lambat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan II-2022 tumbuh 5,44 persen secara tahunan. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,51 persen dan berkontribusi sebesar 51,47 persen terhadap produk domestik bruto.
Inflasi dan tenaga kerja
Sementara itu, berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu kedua Oktober 2022, Bank Indonesia (BI) memperkirakan, tingkat inflasi sampai pekan kedua Oktober 2022 sebesar 0,05 persen secara tahunan. Komoditas utama penyumbang inflasi pada periode tersebut, antara lain, bensin 0,05 persen, tarif angkutan dalam kota 0,04 persen, tarif angkutan antarkota 0,01 persen, dan beras 0,01 persen.
”Adapun komoditas yang mengalami deflasi pada periode tersebut, antara lain, telur ayam ras sebesar 0,09 persen, cabai merah 0,08 persen, daging ayam ras 0,03 persen, cabai rawit 0,02 persen, dan minyak goreng 0,01 persen,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Junanto Herdiawan melalui siaran pers di Jakarta.
Di tengah inflasi tinggi, kinerja industri pengolahan juga diperkirakan masih positif. Namun, penggunaan tenaga kerja di sektor tersebut diperkirakan turun pada triwulan IV-2022.
BI menunjukkan, pada triwulan IV-2022, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan masih tetap kuat dan berada di fase ekspansi atau di atas ambang batas 50 meski tidak setinggi kinerja triwulan sebelumnya. Prompt Manufacturing Index (PMI) BI pada triwulan tersebut diperkirakan 53,18, sedikit lebih rendah daripada triwulan III-2022 yang sebesar 53,71. Beberapa komponen, seperti volume pesanan, produksi, dan persediaan barang jadi, serta penerimaan barang pesanan input, diperkirakan masih berada pada fase ekspansi.
Namun untuk komponen penggunaan tenaga kerja diperkirakan terkontraksi dengan indeks sebesar 49,6 atau di bawah ambang batas indeks 50. Indeks penggunaan tenaga kerja pada triwulan IV-2022 itu lebih rendah dibandingkan indeks pada triwulan III-2022 yang sebesar 50,32.