Kelas Menengah Didera Inflasi dan Cicilan Pinjaman
Kondisi keuangan konsumen pasca-kenaikan harga BBM turun drastis. Pengeluaran makin bertambah, tabungan tergerus, dan kemampuan mencicil utang berkurang.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi tinggi tidak hanya menggerus kelompok masyarakat rentan, tetapi juga kelas menengah. Mereka yang memiliki pinjaman dengan suku bunga mengambang atau floating rate juga bakal menanggung kenaikan bunga kredit.
Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, Rabu (12/10/2022), mengatakan, kenaikan tingkat inflasi dan suku bunga acuan Bank Indonesia bakal semakin menggerus daya beli masyarakat. Tidak hanya kelompok rentan, daya beli kelompok menengah juga lama-lama akan tergerus.
Biaya transportasi pribadi dan daring sudah pasti naik akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam 2-3 bulan mendatang, suku bunga kredit, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan konsumtif, bakal naik.
”Mereka yang menanggung cicilan rumah, kendaraan bermotor, gawai, bahkan paylater dengan bunga tidak tetap pasti angsuran kreditnya membengkak,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Mereka yang menanggung cicilan rumah, kendaraan bermotor, gawai, bahkan paylater dengan bunga tidak tetap pasti angsuran kreditnya membengkak.
Selama ini, lanjut Rusli, masyarakat kelas menengah tidak pernah masuk dalam kategori penerima bantuan sosial (bansos). Mekanisme ketahanan ekonomi yang mereka lakukan adalah mengurangi belanja-belanja nonprimer, beralih ke moda transportasi publik, dan menahan pengeluaran rekreasi atau hiburan.
Rembetannya ke depan akan membuat komponen pertumbuhan ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga, tumbuh melambat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah benar-benar harus bekerja keras menjaga daya beli masyarakat.
”Hal itu bisa dilakukan dengan menggulirkan sejumlah kebijakan, seperti menyubsidi transportasi barang kebutuhan pokok dan umum, serta menyesuaikan upah atau gaji pekerja,” kata Rusli.
Kondisi keuangan konsumen pascakenaikan harga BBM turun drastis. Pengeluaran semakin bertambah, tabungan tergerus, dan kemampuan mencicil utang berkurang.
Kondisi keuangan konsumen pasca-kenaikan harga BBM turun drastis. Pengeluaran semakin bertambah, tabungan tergerus, dan kemampuan mencicil utang berkurang.
Hasil Survei Konsumen oleh Bank Indonesia (BI) pada September 2022 menunjukkan, pengeluaran konsumen sudah meningkat dan tabungan mereka mulai tergerus. Rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) meningkat dari 73,6 persen menjadi 74,8 persen.
Di sisi lain, proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) sebesar 15,8 persen, lebih rendah dari 16,8 persen dari Agustus 2022. Adapun rata-rata proporsi pembayaran cicilan/utang (debt to income ratio) turun dari 9,6 persen menjadi 9,4 persen.
BI juga menyebutkan, rata-rata porsi konsumsi terhadap pendapatan meningkat pada seluruh kategori kelompok pengeluaran. Peningkatan tertinggi pada responden dengan tingkat pengeluaran kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Seluruh kategori kelompok pengeluaran juga mengalami penurunan porsi tabungan terhadap pendapatan. Penurunan terdalam juga terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Menunda kenaikan harga
Industri makanan-minuman olahan menengah dan besar menunda kenaikan harga produk hingga tahun depan. Mereka masih menunggu pemerintah menentukan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pasca-kenaikan harga BBM.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, kenaikan harga BBM telah berimbas ke biaya logistik. Rata-rata biaya logistik, baik untuk pengangkutan bahan baku maupun pendistribusian produk jadi, meningkat masing-masing sekitar 1 persen.
Kebanyakan industri makanan-minuman menengah dan besar masih menahan kenaikan harga meski beban biaya logistik naik. Daya beli masyarakat yang kembali melemah akibat kenaikan harga BBM menjadi pertimbangan utama.
”Kami juga masih menunggu pemerintah menentukan UMP. Hal itu juga akan menjadi dasar penghitungan struktur biaya produksi dan harga produk jadi,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Kami juga masih menunggu pemerintah menentukan UMP. Hal itu juga akan menjadi dasar penghitungan struktur biaya produksi dan harga produk jadi.
Menurut Adhi, penurunan harga minyak mentah global yang saat ini di bawah 90 dollar AS per barel juga memberikan angin segar bagi pelaku industri. Hal itu membuat harga energi nonsubsidi untuk industri juga turun.
Dengan mempertimbangkan sejumlah faktor itu, industri menengah dan besar baru akan menaikkan harga produk jadi pada awal 2023. Untuk periode Natal dan Tahun Baru, harga produk-produk tersebut tidak akan banyak berubah.
Namun, untuk industri kecil, lanjut Adhi, sudah ada yang menyesuaikan harga produk jadi. Kalau tidak menyesuaikan harga, mereka mengecilkan ukuran atau volume produk. Hal itu terjadi lantaran modal usaha terbatas.
”Mereka biasanya juga membeli bahan baku secara harian atau mingguan sehingga rawan dengan gejolak harga,” katanya.
Gapmmi berharap agar pemerintah segera mengoptimalkan penyaluran bansos untuk menjaga daya beli masyarakat. Di sisi lain, Gapmmi meminta pemerintah melonggarkan bea masuk sejumlah bahan baku pangan dan barang penting yang dibutuhkan industri manufaktur untuk menekan biaya produksi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi nasional pada September 2022 sebesar 1,17 persen secara bulanan dan 5,95 persen secara tahunan. Inflasi bulanan itu merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014 yang inflasinya tercatat 2,46 persen, sementara inflasi tahunan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 yang mencapai 6,25 persen.
Inflasi yang dipicu kenaikan harga BBM makin menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal itu tecermin dari upah harian buruh dan nilai tukar petani di hampir semua subsektor.
Dari sisi upah, misalnya, rata-rata upah nominal harian buruh naik tipis, tetapi tidak mampu mengompensasi tingginya pengeluaran buruh yang tecermin dari upah riil. Upah riil buruh menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh.
Berdasarkan data BPS, pada September 2022 upah nominal harian buruh tani naik 0,38 persen, sedangkan upah riil hariannya turun 0,66 persen. Begitu juga upah nominal harian buruh bangunan yang naik 0,18 persen, tetapi upah riil hariannya turun 0,99 persen.