Dukung Digitalisasi UMKM, Indosat Ooredoo Hutchison Ekspansi Jaringan
Perluasan jaringan itu dilakukan seiring penciptaan platfom digital Indosat Digital Ecosystem yang menyediakan ruang bagi usaha kecil, mikro, dan menengah untuk mengembangkan bisnisnya.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indosat Ooredoo Hutchison mengekspansi jaringan di wilayah Indonesia bagian timur. Salah satu tujuannya mendukung digitalisasi usaha kecil, mikro, dan menengah atau UMKM. Perluasan jaringan itu dilakukan seiring penciptaan platform digital Indosat Digital Ecosystem yang menyediakan ruang bagi UMKM untuk mengembangkan bisnisnya.
”Perluasan jaringan ini dilakukan untuk menaikkan traffic dalam rangka ekspansi bisnis dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harapannya, jaringan yang tersedia tidak hanya digunakan untuk mengakses hiburan, tetapi juga untuk kegiatan produktif, seperti berbisnis,” ucap Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Bayu Hanantasena dalam peluncuran platform digital Indosat Digital Ecosystem, di Jakarta, Kamis (13/12/2022).
Bayu menuturkan, perluasan jaringan sudah mencapai 50 persen dengan daerah yang menjadi lokasi ekspansi akan diumumkan segera. Ekspansi tergolong panjang, termasuk survei lokasi yang jadi prioritas. Untuk daerah yang belum ada infrastruktur digital, IOH akan membangun BTS.
Dengan jaringan yang menjangkau banyak tempat, Bayu berharap banyak pelaku UMKM yang bertransformasi ke digital. Pihaknya juga menyediakan ekosistem digital bagi UMKM berupa Indosat Digital Ecosystem (IDE). IDE menyediakan fitur-fitur yang dapat digunakan UMKM untuk mengembangkan bisnis secara digital.
Fitur tersebut, antara lain, platform pembelajaran dalam membangun bisnis digital bernama IDE Academy. Ada juga fitur IDE Advisory yang menyediakan data, analisis, dan wawasan bisnis bagi UMKM. Terakhir, fitur IDE Marketspace sebagai ruang komunitas pelaku UMKM untuk memperluas jejaring bisnis, relasi, dan kesempatan untuk cross-promotion.
Dalam pengembangan dan peluncuran IDE, IOH bekerja sama dengan Google Cloud sebagai penyedia data. Country Director Google Cloud Megawaty Khie mengatakan, platform IDE menyediakan perangkat yang diperlukan UMKM untuk menjadi perusahaan yang mapan di masa depan melalui penggabungan teknologi komputasi awan dan telekomunikasi.
Yang perlu dijaga adalah mimpi untuk menjadi perusahaan besar. Mimpi itu bisa terwujud dengan dukungan teknologi karen penggunaan teknologi saat ini merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.
”Semua perusahaan mulanya dari usaha kecil, termasuk Google. Yang perlu dijaga adalah mimpi untuk menjadi perusahaan besar. Mimpi itu bisa terwujud dengan dukungan teknologi karena penggunaan teknologi saat ini merupakan sesuatu yang tidak terelakkan,” ucap Megawaty.
Tujuan IDE untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis dan mendorong digitalisasi UMKM sejalan dengan program pemerintah lewat Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Indonesia. Dalam acara yang sama, Asisten Deputi Teknologi Informasi dan Inkubasi Usaha Deputi Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM Cristina Agustin mengatakan, ada 65,1 juta pelaku UMKM di Indonesia. Dari seluruh pelaku UMKM itu, sudah ada 20,24 juta UMKM yang menggunakan platform digital per Agustus 2022.
”Pada 2024, pemerintah menargetkan 30 juta UMKM menggunakan platform digital untuk bisnis mereka. Tahun ini, kami sudah melampaui target sebesar 20 juta UMKM terdigitalisasi. Namun, kami terus mendorong akselerasi digitalisasi UMKM. Dengan teknologi dan platform digital, UMKM dapat memahami tata kelola bisnis lebih baik dan bisa memanfaatkan potensi bisnis yang besar,” ucap Cristina.
Najla Bisyir, pendiri Bittersweet by Najla, melihat digitalisasi sebagai suatu keniscayaan dalam pengembangan UMKM. Terlebih, masyarakat kerap mengandalkan teknologi digital dalam keseharian. Transformasi digital membuat UMKM bisa menjangkau pasar lebih luas. Sebelum akhirnya memiliki lebih dari 35 gerai, Najla sepenuhnya mengandalkan pasar digital untuk menjual produk makanan penutup miliknya.
”Kalau kita buka bisnis luring, dramanya banyak. Biaya sewa tempat mahal, bikin tempat sendiri juga mahal, belum ditambah pengeluaran lainnya. Dengan transformasi ke digital, dramanya lebih sedikit, biaya operasional juga lebih hemat, dan tentunya semua bisa kita kelola sendiri,” ujar perempuan yang memulai usahanya pada 2015 itu.