Kerja sama menurunkan emisi semakin diperlukan. Perlu ada orkestrasi yang melibatkan semua sektor, baik publik maupun privat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana diskusi pada Indonesia Sustainable Energy Week di Jakarta, Senin (10/10/2022). Acara tersebut membahas sejumlah aksi dan strategi Indonesia dalam transisi dari energi fosil ke energi yang lebih bersih atau energi terbarukan.
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan target pengurangan emisi karbon Indonesia dalam dokumen Enhanced National Determined Contribution atau ENDC terbilang agresif dan ambisius. Hal itu menghadirkan tantangan sekaligus menunjukkan optimisme dalam transisi energi menuju lebih bersih.
Dikutip dari laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KLHK selaku National Focal Point pada Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) telah menyampaikan peningkatan ambisi itu lewat ENDC. Secara bertahap, target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia akan sejalan dengan target menuju emisi nol bersih (NZE) 2060 atau lebih cepat.
Dalam ENDC, salah satu yang dimutakhirkan ialah target penurunan emisi GRK Indonesia pada 2030. Apabila sebelumnya, pada Updated NDC (UNDC), target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, kini menjadi 31,89 persen. Sementara target penurunan dengan dukungan internasional meningkat dari 41 persen menjadi 43,20 persen.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana pada hari pertama Indonesia Sustainable Energy Week di Jakarta, Senin (10/10/2022), mengatakan, peningkatan target itu menunjukkan optimisme. Konsekuensinya, kerja bersama semakin diperlukan. Perlu ada orkestrasi yang melibatkan semua sektor, baik publik maupun privat, mengingat hal ini amatlah menantang.
”(Dalam mencapai target itu), kami rencanakan lewat pengembangan energi terbarukan yang lebih agresif. Selain itu, juga untuk menangkap peluang ke depan, termasuk dalam early retirement (pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap batubara) terjadi dalam waktu dekat,” tutur Rida.
Rida menambahkan, sejumlah upaya didorong untuk mencapai ENDC, seperti digitalisasi hingga dekarbonisasi di tingkat pembangkit listrik, baik untuk skala kecil yang tersebar di seluruh Indonesia maupun dengan skala yang lebih besar. Misalnya, penggantian diesel dengan gas ataupun dengan energi terbarukan.
Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, kata Rida, menjadi salah satu langkah demi tercapainya target. Perpres itu juga salah satunya memuat tentang pengakhiran dini PLTU. Juga, terkait insentif untuk menguatkan investasi energi terbarukan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Vivi Yulaswati menuturkan, upaya percepatan transisi energi sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030. Di dalamya mencakup pengurangan emisi karbon.
Saat ini, energi fosil masih dominan, bahkan menjadi komoditas ekspor andalan yang menyumbang devisa bagi Indonesia. Menghadapi tantangan itu, salah satu strategi Bappenas, dalam rencana pembangunan jangka menengah, ialah low carbon development. Guna mendukung itu, berbagai inovasi juga terus didorong.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas membersihkan panel surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atas atap pabrik terigu milik PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (9/9/2022). PLTS yang baru mulai dioperasikan itu mempunyai kapasitas sebesar 1 megawatt-peak dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik tersebut.
”Selain pembiayaan dan teknologi, yang juga penting ialah bagaimana kita membangun kapasitas semua pihak, termasuk masyarakat. Harapannya, ketergantungan pada batubara dan kegiatan-kegiatan ekonomi terkait perlahan diseimbangkan oleh hal-hal berkait energi terbarukan. Energi terbarukan tak hanya (mesti) ada, tetapi juga berkelanjutan,” papar Vivi.
Lanskap energi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, di tengah situasi yang amat tidak menentu, dengan harga bahan bakar fosil meningkat, yang juga dipengaruhi geopolitik, krisis energi dunia saat ini dinilai yang terburuk sejak 1990-an. Karena itu, perlu dibicarakan perubahan lanskap energi, termasuk penurunan emisi karbon di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga sudah semakin mengarah kepada transisi energi yang lebih bersih, salah satunya melalui Perpres No 112/2022 yang membahas pengakhiran dini PLTU. ”Ini tidak hanya soal perubahan, tetapi sesuai dengan Paris Agreement. Pada 2030, sebanyak 9,2 gigawatt coal capacity (PLTU) sudah seharusnya dipensiunkan,” katanya.
Charge d’Affaires Embassy of the Federal Republic of Germany Thomas Graf menilai, ada progres impresif dari Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan, termasuk terkait dengan terbitnya regulasi yang mendukung itu. Menurut dia, energi bersih yang berkelanjutan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi kawasan, termasuk bagi Indonesia sendiri.
Sementara itu, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji mengatakan, sebagai negara kepulauan, ada tantangan serupa antara Jepang dan Indonesia. ”Indonesia dan Jepang sudah bekerja sama. Kami akan dengan senang hati memberikan dukungan pendanaan,” ucapnya.