Produksi padi tahun ini diperkirakan mencukupi kebutuhan beras nasional. Namun, pemerintah perlu memperkuat stok guna mengantisipasi gejolak di pasar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi tahun ini mencukupi kebutuhan beras nasional yang mencapai 30 juta ton per tahun. Namun, pemerintah perlu meningkatkan cadangan beras untuk mengantisipasi gejolak. Apalagi, situasi di pasar beras global makin ketat akibat kebijakan proteksi negara produsen dan gangguan cuaca.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Jumat (7/10/2022), menyebutkan, harga beras global pada September 2022 naik 2,2 persen. Kenaikan itu merupakan respons atas perubahan kebijakan ekspor di India yang mendorong pembeli beralih ke negara pemasok beras lain. Gangguan pemasaran dan ketidakpastian produksi akibat banjir besar di Pakistan juga mendorong kenaikan itu.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional M Yadi Sofyan Noor, saat dihubungi, Minggu (9/10/2022), berpendapat, harga gabah cenderung naik belakangan ini. Kenaikan itu bukan karena ketiadaan barang, melainkan karena biaya operasional, termasuk upah buruh tani, meningkat seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi per 3 September 2022.
Dari sisi produksi, ia meyakini bakal cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Syaratnya, tidak ada kendala berarti. ”Apabila perhitungan tidak meleset, Indonesia akan surplus di akhir tahun. Dengan catatan tidak terkena banjir atau dampak perubahan iklim lain, (tahun 2022) akan surplus 2,91 juta ton,” ujarnya.
Panen diperkirakan masih akan berlangsung hingga akhir tahun. Di wilayah Jawa Barat, misalnya, puncak panen musim gadu diperkirakan terjadi pada akhir Oktober 2022. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, panen masih berlanjut ke bulan berikutnya.
Ketua KTNA Jawa Barat Otong Wiranta menyebutkan, memasuki Agustus 2022, ada peningkatan produksi ataupun kualitas sehingga berpengaruh pada kenaikan harga gabah kering panen (GKP). ”Pada Maret-Mei 2022, harga GKP berkisar Rp 4.600-Rp 4.800 per kilogram (kg), sekarang di lapangan mencapai Rp 5.200-Rp 5.400 per kg,” kata Otong.
Kendati harga gabah lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 per kg, kalangan petani berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan itu. Sebab, ongkos produksi terus naik. Berdasarkan perhitungan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) tahun 2019, biaya produksi mencapai Rp 4.523 per kg GKP. Kini biaya produksinya telah naik menjadi Rp 5.876 per kg GKP, terutama didorong naiknya komponen biaya usaha tani, seperti sewa lahan, upah buruh tani, dan sarana produksi.
Penyerapan
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan, Said Abdullah, berpendapat, produksi akan cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. ”Tinggal bagaimana Bulog bisa terus menyerap karena sekarang harga (GKP) sudah tinggi. Memang ada opsi impor (untuk memperkuat cadangan beras pemerintah/CBP), tetapi saya pikir sama saja karena akan butuh waktu. Nanti (beras impor) malah datang saat panen raya. Saya pikir lebih baik penguatan di Bulog dengan sejumlah kebijakan agar lebih banyak gabah/beras terserap,” kata Said.
Terkait hal itu, pemerintah tengah menggenjot penyerapan beras produksi petani untuk memperkuat CBP. Menurut Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi, untuk mengamankan atau menguasai stok beras 1,2 juta ton hingga akhir Desember 2022, Bulog perlu menyerap minimal 948.000 ton. ”Jumlah CBP yang dikelola Bulog sampai akhir September lalu sekitar 793.000 ton. Sementara rencana pengeluaran hingga akhir Desember 2022 sebesar 541.000 ton,” kata Arief, Jumat.
Salah satu langkah pemerintah mempercepat penyerapan beras petani ditempuh melalui kebijakan fleksibilitas harga pembelian oleh Bulog. HPP beras dinaikkan dari Rp 8.300 per kg menjadi Rp 8.800 per kg. Kebijakan itu diperpanjang hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
Sebelumnya, Arief menyatakan, saat ini fokus pemerintah adalah menyerap beras produksi dalam negeri. Namun, jika upaya itu tidak mampu memenuhi target stok, opsi lain terbuka, termasuk impor. ”Sekarang mulai dari lokal. Sebab, kalau kita impor (beras), harganya cuma Rp 7.200 (per kg), nanti (harga beras) jeblok. Kasihan petani. (Impor) Itu pilihan terakhir,” ujarnya.
Terkait situasi di pasar beras internasional, Said menambahkan, Thailand dan Vietnam tetap waspada meski sudah melonggarkan ekspor, sementara India sangat berhati-hati. Kini, pengaruh iklim seperti banjir di Pakistan juga akan memengaruhi psikologi di pasar global. Jika memang Indonesia perlu mengimpor beras, risikonya adalah situasi harga yang diperkirakan tinggi.
Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo akan membawa isu pangan dalam Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting (JFAMM) di Washington DC, Amerika Serikat, pada 11 Oktober 2022. Pertemuan itu membahas antara lain identifikasi solusi dan arah ke depan dalam mengatasi kerawanan pangan global.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri, Minggu, menuturkan, sejumlah poin yang akan diangkat dalam JFAMM ialah terkait mengatasi kerawanan pangan dan gizi; mendukung secara politis pemetaan, penyusunan kerangka acuan, dan tindakan konkret; dan menjajaki aksi nyata mengatasi ketersediaan pupuk. Juga, koordinasi di bidang keuangan dan pertanian jangka panjang serta percepatan implementasi komitmennya.