Hilirisasi Kian Gencar, Pengembangan SDM Jadi Pekerjaan Rumah
Dampak kebijakan hilirisasi nikel terhadap kinerja ekspor tidak diragukan. Namun, efek ganda investasi hilirisasi terhadap penciptaan lapangan kerja di daerah belum signifikan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi tambang diandalkan sebagai instrumen yang akan membuat Indonesia naik kelas menjadi negara maju. Meski demikian, dampaknya bagi masyarakat setempat di daerah belum signifikan, terutama dalam hal menciptakan lapangan kerja yang layak. Hilirisasi yang semakin gencar perlu diimbangi dengan pengembangan sumber daya manusia secara serius dan tegas.
Pemerintah saat ini sedang menggencarkan strategi hilirisasi, khususnya pada komoditas tambang mineral dan batubara (minerba). Setelah resmi melarang ekspor ore nikel pada tahun 2020 dan mendorong hilirisasi nikel sejak sebelum itu, pemerintah juga berencana melarang ekspor bijih timah, bauksit, dan tembaga per tahun depan dan mendorong hilirisasi di sektor komoditas-komoditas tersebut.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, hilirisasi adalah instrumen transformasi ekonomi yang harus ditempuh untuk membawa Indonesia naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju. Strategi hilirisasi juga diyakini akan menjaga ketahanan ekonomi Indonesia di ambang resesi dunia.
”Instrumennya adalah hilirisasi. Kita bisa mendapat nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara, mendorong substitusi impor, dan membuat ketahanan ekonomi kita kuat,” ujar Bahlil, Jumat (7/10/2022), dalam rangkaian Orasi Ilmiah: Transformasi Ekonomi melalui Hilirisasi dengan Kearifan Lokal di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Meski demikian, ia mengatakan, upaya pemerintah dalam mendorong hilirisasi masih menghadapi tantangan besar, salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) di dalam negeri yang dinilai belum siap untuk memasuki industri hilirisasi tersebut. Oleh karena itu, ujarnya, pengembangan SDM lokal perlu lebih dimaksimalkan.
Selagi SDM dalam negeri belum siap, ia menilai masuknya tenaga kerja asing (TKA) tidak bisa dihindari. ”Kita jangan pesimistis, Indonesia harus siap menuju hilirisasi. Strateginya, maksimalkan tenaga dalam negeri yang ada. Kalau belum ada, kita harus berbesar hati menerima (tenaga kerja) dari luar negeri,” kata Bahlil dalam kesempatan rangkaian orasi ilmiah yang sama sebelumnya di Universitas Indonesia, Jakarta.
Menurut dia, kehadiran TKA dibutuhkan untuk mendorong transfer pengetahuan (transfer of knowledge) ke tenaga kerja lokal. ”Jauh lebih penting transfer knowledge itu. Tinggal bagaimana kita melakukan percepatan,” ucap Bahlil.
Dampak kebijakan hilirisasi nikel terhadap kinerja ekspor sejauh ini tidak diragukan. Sebagai perbandingan, pada 2017, ekspor nikel Indonesia tercatat hanya 3,3 miliar dollar AS. Pada 2021, setelah pemerintah melarang ekspor ore nikel pada tahun 2020, nilai ekspor dari komoditas hilirisasi nikel melonjak mencapai 20,9 miliar dollar AS dan ditargetkan menyentuh 30 miliar dollar AS pada 2022.
Kendati demikian, dampak masuknya investasi hilirisasi pada penciptaan lapangan kerja belum terpantau signifikan. Beberapa tahun terakhir ini, serapan tenaga kerja terus merosot, tidak sejalan dengan nilai proyek investasi yang masuk.
Beberapa tahun terakhir ini, serapan tenaga kerja terus merosot, tidak sejalan dengan nilai proyek investasi yang masuk.
Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap 4.954 orang tenaga kerja. Pada 2019, investasi Rp 1 triliun menyerap 1.438 orang. Kini, setidaknya per triwulan II tahun 2022, Rp 1 triliun hanya menyerap 1.340 orang tenaga kerja.
Pada triwulan II-2022, Kementerian Investasi mencatat, tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 320.534 orang. Meski meningkat tipis dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dengan serapan 319.013 orang tenaga kerja, tingkat penyerapan tenaga kerja itu tidak sebanding dengan laju investasi yang meningkat pesat akibat hilirisasi.
Tidak seimbangnya penyerapan tenaga kerja lokal dengan nilai investasi yang masuk ini juga berulang kali diakui oleh pemerintah. Dalam kesempatan berbeda, Bahlil pernah mengatakan bahwa ini menjadi pekerjaan rumah yang harus disiasati pemerintah.
”Ini memang terjadi anomali. Investasi yang lebih besar itu bersifat padat modal. Kami sedang coba siasati bagaimana menyeimbangkan tuntutan kecepatan berproduksi dengan kebutuhan kita untuk menciptakan lapangan kerja lebih banyak,” ujarnya.
Lebih tegas
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, meski pekerja lokal tetap mendominasi lapangan kerja yang tercipta dari investasi yang masuk, sering kali terjadi kesenjangan kualifikasi serta upah antara pekerja lokal dan asing.
Hal itu berkaitan dengan adanya persepsi serta perbedaan keterampilan teknis yang membuat tenaga kerja lokal menduduki posisi dan upah lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja asing yang dinilai lebih terampil.
Persoalannya, menurut Tauhid, seharusnya ada transisi setelah kurun waktu tertentu dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja lokal. Hal ini yang belum diterapkan oleh perusahaan dan tidak tegas dinegosiasikan pemerintah sejak awal.
”Ini tidak hanya terjadi di hilirisasi nikel, tetapi di banyak sektor. Seharusnya di tahun keempat atau kelima sejak investasi itu masuk, sudah ada transisi, tenaga kerja asingnya mulai berkurang. Tetapi ini, kan, tidak selalu jalan. Perusahaan menganggap itu memberatkan karena artinya mereka harus melatih tenaga kerja lokal, lebih mudah mereka mencari orang yang sudah terdidik,” kata Tauhid.
Pengembangan SDM dan kebijakan transisi itu yang seharusnya lebih tegas diterapkan agar kemajuan ekonomi akibat hilirisasi tidak hanya dirasakan di level makro atau hanya dinikmati oleh segelintir orang dan negara asal investor.
Menurut dia, pelatihan bagi SDM lokal dan transisi dari TKA menuju tenaga kerja lokal harus menjadi syarat penting dalam negosiasi paket investasi antara pemerintah dan investor terkait. ”Seharusnya itu bisa dijadikan klausul mengikat sejak penjajakan investasi, itu tergantung will (kemauan) dan ketegasan dari pemerintah saja,” tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah harus lebih gencar mendorong kebijakan pengembangan kualitas SDM. ”Memang sudah ada sekolah vokasi, tetapi itu masih di level pendidikan menengah selevel SMA, sementara yang dibutuhkan itu lebih advance, seperti ahli industri, ahli teknik mesin, yang kebutuhannya lebih dari itu,” katanya.