Mewujudkan Hilirisasi dan Revitalisasi Industri Tanah Air
Hilirisasi dan revitalisasi industri harus diwujudkan guna mengoptimalkan kekayaan alam Indonesia. Keberlanjutannya akan menciptakan ekonomi yang inklusif dan lebih kuat, baik domestik maupun dalam perdagangan global.
Oleh
Agustina Purwanti
·7 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pabrik manufaktur Hyundai di kawasan industri GICC, Desa Sukamukti, Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (30/7/2022). Selain memproduksi mobil berbahan bakar bensin, yakni Hyundai Creta pada awal 2022, pabrik tersebut kini juga memproduksi mobil listrik, Ioniq 5. Mobil listrik pertama yang dibuat di Indonesia diproduksi di pabrik asal Korea Selatan tersebut. Hyundai tertarik berinvestasi dan mengembangkan ekosistem mobil listrik di ASEAN mengingat sektor otomotif di kawasan ini diperkirakan tumbuh hingga 64 persen pada 2030. Pemerintah terus berupaya mendorong berkembangnya ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau KBLBB di Indonesia. Kendaraan ramah lingkungan ini kian mendapat sejumlah prioritas dan kemudahan. Namun, kini, kondisi pasar otomotif di Indonesia tengah terpukul, yakni adanya kenaikan harga minyak dan bahan baku, seperti besi baja serta persoalan paling utama adalah pasokan semikonduktor yang tidak dapat memenuhi kebutuhan produksi otomotif.
Memberikan sumbangan yang besar pada perekonomian nasional membuat industri manufaktur menjadi salah satu fokus kerja pemerintah tahun mendatang. Berbekal sumber daya alam yang melimpah, hilirisasi, dan revitalisasi industri akan mendorong ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara, Jakarta, 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa hilirisasi dan revitalisasi industri menjadi salah satu fokus kebijakan fiskal di tahun 2023. Hal tersebut tak dapat dilepaskan dari kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Ekspor tidak lagi hanya berupa komoditas mentah semata, tetapi akan lebih ditingkatkan nilai tambahnya. Dengan industrialisasi, nilai jual komoditas meningkat serta memberikan nilai tambah lebih optimal bagi perekonomian nasional.
Dengan melepaskan ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, ekonomi Indonesia diharapkan dapat lebih stabil. Pasalnya, harga komoditas global tidak menentu. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang diuntungkan dari melonjaknya harga komoditas dunia (windfall). Hal tersebut tecermin dari surplus neraca perdagangan Indonesia selama 27 bulan terakhir.
Hanya saja, posisi menguntungkan tersebut relatif tidak konstan karena tergantung dari fluktuasi harga komoditas global. Saat harga turun maka ekonomi nasional akan mudah terpuruk. Seperti yang dialami Indonesia pada 2019 ketika perang dagang antara Amerika Serikat dan China memanas. Harga komoditas global anjlok sehingga defisit neraca perdagangan melebar menjadi 1,16 miliar dollar AS. Defisit tersebut menjadi yang terdalam sejak 2014. Pada saat itu, harga barang jadi atau setengah jadi relatif stabil sehingga kondisi ini membuat hilirisasi industri menjadi penting untuk menjaga stabilitas makro ekonomi nasional.
Beberapa waktu terakhir, kualitas ekspor Indonesia menunjukkan penguatan. Salah satunya tergambar dari ekspor nonmigas yang kian mendominasi. Hingga tahun 2022, ekspor nonmigas menyumbang 94,5 persen dari total ekspor. Dominasi ini kian membesar dari satu dekade silam yang telah menyumbang sekitar 82 persen.
Dilihat dari strukturnya, kontribusi terbesar ekspor nonmigas disumbang oleh sektor industri manufaktur sekitar 80 persen. Sisanya, disumbang oleh sektor pertambangan, pertanian, dan sektor lainnya.
Salah satu keberhasilan industrialisasi dalam menyumbang ekspor barang jadi dan setengah jadi tercermin dari ekspor besi baja, hasil hilirisasi nikel. Data BPS menyebutkan, ekspor besi dan baja telah meningkat 12 kali lipat sepanjang satu dekade terakhir. Tahun 2012, volume ekspor besi baja baru mencapai 1,4 juta ton senilai 1,8 miliar dollar AS. Namun, pada tahun 2021, jumlahnya meningkat menjadi 13,8 juta ton bernilai 21,5 miliar dollar AS.
Ekonomi domestik
Tak hanya untuk kepentingan perdagangan, industrialisasi juga berperan penting dalam penguatan ekonomi domestik. Salah satunya dalam hal penyediaan lapangan kerja. Selama ini, industri berhasil menjadi sumber penghidupan bagi belasan juta tenaga kerja.
Merujuk data BPS pada Februari 2022, industri manufaktur mampu menyerap 18,7 juta pekerja atau sekitar 13,8 persen dari total pekerja nasional. Dengan jumlah tersebut, industri manufaktur menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar ketiga setelah pertanian dan perdagangan.
Dalam perjalanannya, kontribusi manufaktur dalam menyerap tenaga kerja fluktuatif, tetapi trennya cenderung meningkat. Hingga tahun ini, serapan tenaga kerja pada sektor industritrialisasi tersebut meningkat 8,6 persen terhitung sejak 2011.
Terbukanya lapangan kerja dalam jumlah besar pada akhirnya kembali mendorong perekonomian nasional melalui konsumsi. Pasalnya, konsumsi masyarakat masih mendominasi PDB dari sisi pengeluaran, dengan kontribusi lebih dari 50 persen.
Jika diasumsikan seorang pekerja pada industri manufaktur adalah kepala rumah tangga dengan tiga hingga empat anggota keluarga, maka sektor industri mampu menghidupi sekitar 56-75 juta jiwa. Dengan demikian, roda ekonomi terus berputar karena konsumsi rumah tangga pada gilirannya juga akan mendorong permintaan pada industri manufaktur secara keseluruhan. Begitu seterusnya.
Deskripsi tersebut menunjukkan hubungan timbal-balik yang erat antara industrialisasi, konsumsi, dan kemajuan ekonomi. Saat konsumsi masyarakat lesu, roda industri akan bergerak melambat. Situasi demikian akan berujung pada pemangkasan tenaga kerja karena permintaan barang dan jasa dari sektor industri menyusut seiring melemahnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya, hal ini akan memperburuk kinerja industri sehingga berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.
Besarnya efek berganda dari industrialisasi itu dikarenakan sektor manufaktur merupakan penghubung penting antara sektor primer (penghasil sumber daya) dengan sektor tersier (jasa). Apabila, sektor penghubung ini terdampak maka akan memberi efek yang signifikan mulai dari sisi hulu hingga hilirnya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Para pemasok buah sawit mengantre untuk dapat memasok tandan buah segar ke pabrik pengolahan minyak sawit di Kabupaten Muaro Jambi, Senin (18/7/2022). Harga buah sawit di wilayah itu kini mencapai Rp 1.200 per kilogram.
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu gambaran kondisi tersebut. Saat aktivitas masyarakat dibatasi sebagai salah satu upaya pencegahan penularan virus, konsumsi pun berkurang. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga saat itu tumbuh minus 1,38 persen. Akibatnya, roda industri nyaris tak bergerak sehingga pertumbuhannya terkontraksi 6,18 persen. Terdapat lebih dari 29 juta tenaga kerja yang terdampak. PHK pun terjadi di mana-mana. Pada akhirnya, ekonomi nasional turut terkontraksi 5,32 persen. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya sektor industrialisasi bagi perekonomian makro Indonesia.
Revitalisasi
Maka, rasanya tak berlebihan jika industrialisasi menjadi salah satu agenda besar pemerintah pada tahun mendatang dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Apalagi, hingga saat ini industri masih menjadi penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Meski demikian, agaknya pemerintah pun menyadari bahwa struktur ekonomi nasional telah mengalami pergeseran sehingga pemerintah lebih menekankan revitalisasi. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi merupakan suatu proses menghidupkan atau menggiatkan kembali. Pilihan diksi tersebut rupanya sangat tepat untuk menggambarkan kondisi sektor industri terkini.
Hingga saat ini, industri manufaktur memang masih menjadi penyumbang terbesar pada PDB nasional. Namun, data menunjukkan bahwa dominasinya melemah. Tahun 2001, kontribusi industri padat karya itu mencapai 29 persen, hampir sepertiga dari total PDB. Sayangnya, tahun demi tahun besarannya semakin menurun. Hingga pada triwulan II 2022, industri manufaktur hanya mampu menyumbang 17,84 persen.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Mobil-mobil siap ekspor terparkir di Terminal Mobil Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (17/8/2022). Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, pada periode Januari-Juli 2022 total ekspor kendaraan utuh (CBU) sebanyak 242.201 unit. Jumlah ini meningkat 45,8 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Struktur ekonomi nasional kini didominasi oleh sektor tersier yang banyak didukung oleh sektor jasa. Pergeseran ke sektor jasa itu sejatinya pertanda baik bagi kemajuan Indonesia karena mengarah pada tipikal perekonomian negara maju yang didominasi oleh sektor jasa. Untuk bergeser ke tingkatan ekonomi lebih tinggi ini perlu topangan sektor industri yang kokoh. Sayangnya, industrialisasi Indonesia relatif belum solid dan stabil layaknya negara maju.
Tanpa menegasikan prestasi industri, terdapat sejumlah catatan yang mewarnai kinerja sektor manufaktur beberapa waktu terakhir. Laju pertumbuhan, misalnya. Berdasarkan data tahunan BPS dua dekade terakhir, mayoritas laju pertumbuhan industri manufaktur lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Hanya empat tahun laju pertumbuhan manufaktur melampaui capaian nasional, yakni kurun 2002-2004 dan tahun 2011.
Tak terkecuali saat pandemi melanda. Tahun 2020, industri manufaktur tumbuh minus 2,93 persen saat ekonomi nasional terkontraksi 2,07 persen. Begitu pula tahun berikutnya. Saat itu pemerintah menargetkan industri mampu tumbuh lebih besar atau paling tidak sama dengan PDB nasional, yakni 4,5-4,7 persen. Namun, kenyataannya industri hanya tumbuh 3,39 persen saat PDB nasional tumbuh 3,69 persen. Harapan pemerintah agar kontribusi industri meningkat dan tidak turun pun tak terwujud pada 2021. Industri hanya menyumbang 19,25 persen, turun 62 poin persen dari tahun sebelumnya.
Catatan berikutnya yang perlu dibenahi adalah tingginya ketergantungan pada bahan baku impor. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan impor bahan baku industri pada 2021 mencapai 71,9 milliar dollar AS atau meningkat 40 persen dari impor tahun sebelumnya. Kondisi tersebut membuat capaian pada tahun 2019 dan 2020 mengalami kemunduran karena impor untuk bahan baku pada tahun-tahun itu sebenarnya sudah berkurang.
Di lain sisi, jumlah sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sudah mengalami peningkatan. Hingga Agustus 2022 terdapat 17.620 sertifikat TKDN yang masih berlaku. Jumlahnya naik empat kali lipat dari Desember 2020 yang baru mencapai 4.261 sertifikat. Artinya, semakin banyak lini usaha yang memiliki kesadaran akan penggunaan sumber bahan baku dari dalam negeri. Evaluasi pun tetap harus dilakukan agar sertifikat yang terdaftar selaras dengan kondisi di lapangan.
Pada akhirnya, upaya revitalisasi industri harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pasalnya, industri menjadi pilar penghubung sektor primer dan mampu menghidupi sektor tersier. Hilirisasi dan keberlanjutan sektor industri juga memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian, baik domestik maupun dalam perdagangan global. (LITBANG KOMPAS)