Daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan, semakin tergerus inflasi. Hal itu terlihat dari penurunan upah riil harian buruh dan nilai tukar petani di sejumlah subsektor pertanian.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Inflasi tinggi pada September 2022 makin menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Sementara bantuan sosial dinilai masih belum efektif meredam rembetan kenaikan harga bahan bakar minyak. Program itu perlu digelar lebih masif dan dikawal agar tetap sasaran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi pada September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan dan 5,95 persen secara tahunan. Angka inflasi itu di jauh di atas target inflasi Bank Indonesia pada 2022 yang sebesar 2-4 persen.
Pemicu utama inflasi itu adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Penyesuaian harga BBM tidak hanya berdampak di sektor transportasi, tetapi juga di sembilan dari 11 kelompok pengeluaran, antara lain di penyediaan makanan-minuman atau restoran, pakaian dan alas kaki, serta perlengkapan dan pemeliharaan rutin rumah tangga.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (4/10/2022) mengatakan, dampak kenaikan harga BBM sudah merembet ke berbagai sektor. Bahkan saat banyak komoditas pangan pokok mengalami deflasi atau penurunan harga, beras justru menyumbang inflasi.
“Faktor-faktor itulah yang membuat daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan, semakin tergerus. Sebelumnya daya beli masyarakat sudah tergerus oleh imbas pandemi Covid-19, serta kenaikan dan penurunan harga komoditas global,” kata Faisal ketika dihubungi di Jakarta.
Penurunan upah riil buruh dan nilai tukar petani (NTP) di sebagian besar subsektor pertanian menjadi indikator semakin tergerusnya daya beli masyarakat. Dari sisi upah, misalnya, rata-rata upah nominal harian buruh naik tipis, tetapi tidak mampu mengompensasi tingginya pengeluaran buruh yang tecermin dari upah riil. Upah riil buruh menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh.
BPS mencatat, pada September 2022, upah nominal harian buruh tani naik 0,38 persen, sedangkan upah riil hariannya turun 0,66 persen. Begitu juga upah nominal harian buruh bangunan yang naik 0,18 persen, namun upah riil hariannya turun 0,99 persen.
Pada September 2022, upah nominal harian buruh tani naik 0,38 persen, sedangkan upah riil hariannya turun 0,66 persen. Begitu juga upah nominal harian buruh bangunan yang naik 0,18 persen, namun upah riil hariannya turun 0,99 persen.
BPS juga menyebutkan, dari lima subsektor, NTP dan NTUP subsektor perikanan tangkap mengalami penurunan paling signifikan. NTP perikanan tangkap atau nilai tukar nelayan (NTN) turun 1,84 persen dari 107,21 pada Agustus 2022 menjadi 105,4 pada September 2022. Pada periode yang sama, NTUP perikanan tangkap turun 3,97 persen dari 109,95 menjadi 105,58.
“Hal itu terjadi lantaran pengeluaran (indeks yang dibayar) lebih besar daripada pendapatan (indeks yang diterima) nelayan. Komoditas penyumbang kenaikan indeks yang dibayar nelayan, baik dari sisi NTN maupun NTUP antara lain bensin, solar, ongkos angkut, dan upah penangkapan ikan,” kata Kepala BPS Margo Yuwono, Senin lalu.
Menurut Faisal, kenaikan harga BBM tidak menjadi satu-satunya faktor penyebab tergerusnya daya beli masyarakat rentan. Kenaikan harga pupuk, misalnya, juga turut menggerus pendapatan petani. Khusus untuk petani penghasil komoditas ekspor, penurunan harga komoditas global juga memengaruhi pendapatan petani.
Selain itu, Faisal juga menilai, merujuk pada indikator upah riil dan NTP pada September 2022, penyaluran aneka bentuk bantuan sosial (bansos) yang diberikan masih belum efektif meredam laju dampak kenaikan harga BBM. Hal ini bersumber dari persoalan klasik penyaluran bansos, yaitu masih banyak yang tidak tepat sasaran.
Data Survei Sosial Ekonomi BPS pada 2020 menunjukkan, penyaluran bansos bagi rumah tangga miskin penerima manfaat program Bantuan Pangan Non Tunai atau program Kartu Sembako yang tepat sasaran di semua provinsi masih di bawah 50 persen. Tertinggi ada di DI Yogyakarta yang sebanyak 47 persen dan terendah di Papua yang hanya 1 persen.
“Oleh karena itu, penyaluran bansos tidak hanya perlu dipercepat dan dioptimalkan, tetapi juga harus tepat sasaran agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat rentan,” kata Faisal.
Penyaluran bansos tidak hanya perlu dipercepat dan dioptimalkan, tetapi juga harus tepat sasaran agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat rentan.
Faisal juga berharap agar pemerintah mengatasi kenaikan harga pupuk yang terimbas kenaikan harga pupuk global. Hal itu dapat dilakukan dengan mendiversifikasi impor pupuk dari Rusia dan Ukraina ke negara-negara lain yang harganya lebih kompetitif.
Langkah tersebut dapat dimulai dengan mengatasi inflasi di daerah-daerah di Indonesia yang masuk dalam zona merah inflasi. Hal itu seperti di Sampit yang mengalami inflasi sebesar 8,85 persen pada September 2022, Padang 8,54 persen, Jayapura 8,62 persen, Luwuk 8,34 persen, dan Surakarta 7,84 persen.
Untuk mengatasi inflasi di berbagai daerah di Indonesia, khususnya Indonesia bagian Timur, Kementerian Perhubungan telah mengoptimalkan kapal tol laut untuk memasok berbagai keputuhan pokok dan barang penting. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, rute-rute kapal tol laut dapat diubah secara fleksibel menyesuaikan kebutuhan daerah yang kekurangan pasokan.
Adapun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, inflasi pada September 2022 masih terkendali. Tekanan inflasi pada bulan tersebut masih tertahan oleh penurunan harga komoditas hortikultura, seperti cabai dan bawang merah. Ia juga memperkirakan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi akan berlangsung hingga empat bulan ke depan.