Digitalisasi Hulu-Hilir Perikanan untuk Dorong Daya Saing
Peran usaha rintisan berbasis teknologi di sektor perikanan Indonesia diharapkan mendorong daya saing produksi dan pemasaran dalam perikanan global.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan prinsip ekonomi biru dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan dinilai membuka peluang usaha, termasuk usaha rintisan berbasis teknologi atau start up. Usaha rintisan yang semakin banyak muncul diharapkan memperkuat ekosistem perikanan yang berkelanjutan.
Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nono Hartanto mengungkapkan, kebijakan ekonomi biru bertujuan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi. Penerapan teknologi digital sangat dibutuhkan untuk mendorong produktivitas dan kualitas hasil perikanan budidaya sesuai prinsip ekonomi biru.
Sayangnya, saat ini masih minim pembudidaya di Tanah Air yang menerapkan teknologi digital dalam rantai produksi hingga pemasaran. Ini merupakan peluang besar bagi start up untuk menggarap digitalisasi perikanan budidaya. Di antaranya teknologi pengelolaan air dan kesehatan ikan, pemetaan dan pemilihan lokasi tambak, serta desain kolam, tambak, ataupun keramba jaring apung.
Digitalisasi juga diperlukan dalam peralatan pendukung budidaya, misalnya kincir air. Saat ini kebanyakan produk tersebut masih berasal dari luar negeri. ”Ini belum membicarakan bagaimana membersihkan keramba dan dasar tambak menggunakan perangkat robotik. Itu belum tersentuh, masih manual,” kata Nono dalam Bincang Bahari bertema ”Ekonomi Biru di Mata Start Up,” Kamis (22/9/2022), di Jakarta.
Nono menambahkan, digitalisasi perikanan diharapkan menguntungkan pembudidaya ikan yang selama ini menghadapi tekanan paling besar, yakni membeli benih dengan harga mahal, tetapi harga jual produksi rendah karena panjangnya mata rantai pemasaran.
”Kami berharap digitalisasi ini bisa menguntungkan pembudidaya dengan memperpendek jalur penjualan sehingga tidak lagi melalui pengumpul yang menyebabkan margin keuntungan pembudidaya menjadi kecil,” ujarnya.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Erwin Dwiyana mengemukakan, potensi pasar perikanan di dalam ataupun luar negeri masih sangat besar. Di dalam negeri, angka konsumsi ikan terus meningkat seiring penambahan populasi dan persepsi masyarakat tentang ikan sebagai sumber pangan. Tahun 2021, angka konsumsi ikan nasional tercatat 55,37 kilogram (kg) per kapita.
Nilai perdagangan produk perikanan Indonesia di pasar global juga meningkat. Dari data Rabobank Market Research, nilai perdagangan komoditas perikanan pada tahun 2021 sebesar 164 miliar dollar AS, atau naik 7,8 persen dibandingkan dengan 2020 yang sebesar 152 miliar dollar AS. Beberapa komoditas unggulan antara lain udang, tuna-tongkol-cakalang, kepiting, dan rajungan.
Digitalisasi dapat berperan memperkuat daya saing pemasaran. Kerja sama telah dirintis KKP dengan beberapa usaha rintisan, seperti Kalikan, Aruna, eFishery, Fishlog, dan Warung Grosir. Selain itu, pemasaran digital dengan lokapasar, seperti Shopee dan Gojek. ”Digitalisasi pemasaran bertujuan mempromosikan usaha mikro, kecil, dan menengah lewat e-dagang dan lokapasar,” katanya.
CEO Kalikan Dian Rachmawan menilai, kolaborasi pemerintah dan start up sangat penting dalam penerapan program ekonomi biru. Pihaknya telah menyepakati kerja sama dengan KKP untuk pengembangan pemasaran ikan hias air tawar di Indonesia, antara lain solusi digital pemasaran lewat lokapasar, penguatan komunitas, pembangunan taman ikan hias air tawar, dan pameran ikan hias.
People Strategic & Development eFishery Dimas Sandya mengemukakan, sektor perikanan adalah masa depan dunia terkait kebutuhan pangan. Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam potensi perikanan air tawar dan laut, yakni sekitar 1,2 triliun dollar AS, serta tergolong negara dengan pertumbuhan sektor pangan tercepat.
Saat ini, terdata 30,2 juta kolam dan 3,3 juta pembudidaya ikan. EFishery menggarap peluang itu dengan solusi teknologi budidaya ramah lingkungan yang produktif. Pihaknya juga berencana menggarap ekspor udang, bandeng, nila, dan patin melalui kemitraan dengan pembudidaya. ”Agar budidaya perikanan maju dan kompetitif harus dibangun cara pandang bahwa pelaku budidaya siap berkompetisi secara global,” ujarnya.
Sementara itu, CEO Fishlog Bayu Anggara berpendapat, salah satu kendala pemasaran adalah kestabilan stok ikan yang memicu harga ikan tidak menentu. Masih ada ketimpangan pencatatan hasil tangkapan ikan per hari dengan data distribusi ikan. ”Ikan yang ditangkap di suatu daerah bisa diangkut dan dikonsumsi oleh daerah lain, akibatnya data hasil tangkapan kurang menunjukkan kestabilan (stok) ikan,” katanya.
Pihaknya menggarap digitalisasi gudang berpendingin (cold storage) perikanan agar pendataan stok ikan lebih terintegrasi. Saat ini, digitalisasi telah dilakukan pada 27 gudang berpendingin dengan total kapasitas 5.000 metrik ton.
Public Policy Aruna Rian Fiqi Saputra mengemukakan, prinsip ekonomi biru di usaha perikanan perlu diterapkan hulu-hilir. Aruna telah menetapkan sistem yang memastikan hasil tangkapan nelayan berasal dari sumber dan lokasi yang dapat dilacak. Selain itu, penyediaan fasilitas alat tangkap ramah lingkungan bagi mitra-mitra nelayan. Saat ini, Aruna bermitra dengan 36.000 nelayan.
”Kehadiran start up perikanan harus mendorong sektor perikanan semakin mampu mewujudkan ekonomi biru untuk usaha perikanan yang berkelanjutan,” kata Rian.