Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi sejarah baru di bidang usaha perikanan tangkap. Ini menjadi tatanan baru dalam usaha penangkapan ikan.
Oleh
HENGKY
·5 menit baca
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi sejarah baru di bidang usaha perikanan tangkap. Dengan PP ini, PNBP dibuka dengan sistem penarikan pasca produksi, dengan kata lain pungutan hasil perikanan (PHP) dipungut berdasarkan produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Dengan aturan baru ini diharapkan industri perikanan tangkap dapat berkembang pesat.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pun menggaungkan semangat KKP rebound. Tidak tanggung tanggung, KKP menargetkan menaikkan PNBP sektor perikanan tangkap dari Rp 600 miliar tahun 2020 menjadi Rp 12 triliun per tahun. Bukan pekerjaan mudah untuk mencapai target itu karena satu-satunya jalan hanya meningkatkan upaya tangkap (fishing effort) berupa penambahan kapal perikanan khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang selama tujuh tahun terakhir tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dengan besarnya potensi perikanan di ZEEI, bukan tidak mungkin target itu tercapai. Apalagi, saat ini KKP membuat terobosan baru dengan membuka skema usaha baru dengan sistem kontrak bagi pemilik kapal ikan yang akan menangkap ikan di ZEE Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, potensi sumber daya ikan yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI sebesar 12.541 juta ton per tahun, belum termasuk ikan pelagis besar tuna dan cakalang. Terdapat surplus potensi yang belum dimanfaatkan yang akan dijadikan sebagai kawasan fishing industry bagi kapal ikan yang berukuran 100 gross tonnage (GT) ke atas.
Kawasan tersebut dibagi empat, yaitu Laut Natuna dan Natuna Utara (WPP RI 711) dengan surplus ikan sebesar 462.047 ton, Samudra Hindia (WPP RI 572 dan 573) dengan surplus ikan 1.415.189 ton, Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik (WPP RI 716 dan 717) dengan surplus ikan 738.000 ton, dan Laut Arafura dan Aru (WPP RI 715 dan 718) dengan surplus 1.861.500 ton per tahun.
Dengan rata-rata produksi per tahun per kapal sebesar 1.000 ton, penambahan kapal maksimal untuk WPP RI 711 sejumlah 462 kapal, WPP RI 572 dan 573 sejumlah 1.400 kapal, WPP RI 716 dan 717 sejumlah 738 kapal, dan WPP RI 715 dan 718 sejumlah 1.861 kapal ikan. Apabila potensi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal, KKP rebound akan terwujud. Produksi perikanan akan meningkat dan terbuka lapangan kerja di sektor perikanan tangkap untuk ratusan ribu tenaga kerja, dan industri perikanan pun akan berkembang dengan pesat.
Namun, tantangan terbesar program ini adalah keterbatasan kapal penangkap ikan dalam negeri dan sedikitnya pengusaha yang mau berusaha di bidang penangkapan ikan. Usaha perikanan tangkap termasuk usaha yang berisiko tinggi karena sifatnya hunting dan investasinya cukup besar.
Permasalahan yang dialami pengusaha di bidang penangkapan ikan harus dicarikan jalan keluar. Sebagai regulator, KKP harus melihat pengusaha yang bergerak di bidang penangkapan ikan adalah pengusaha yang perlu didukung dengan kebijakan yang dapat mempermudah kegiatan operasional kapal ikan.
Sebagian besar masyarakat kita melihat potensi ikan di laut dengan sederhana, yaitu pemilik kapal cukup panen ikan yang melimpah di laut tanpa ikut membesarkan ikan. Faktanya, usaha perikanan tangkap ini adalah usaha yang penuh ketidakpastian.
Banyak faktor yang memengaruhi penangkapan ikan selain musim ikan. Ada juga faktor kondisi cuaca, ketersediaan anak buah kapan (ABK), alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan, banyaknya perizinan yang harus dipenuhi, tingginya biaya operasional, sulit memperoleh permodalan dari perbankan, hingga kualitas hasil tangkapan yang kurang bagus.
Melihat target KKP dan kompleksitas permasalahan di bidang penangkapan ikan tersebut, ada baiknya KKP menjaga momentum sejarah, yaitu tatanan baru usaha perikanan tangkap. Selain PNBP dibayar setelah produksi, juga harga patokan ikan (HPI) saat ini ditetapkan mandiri oleh KKP, sebelumnya HPI selalu ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.
Peningkatan PNBP diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, keberlangsungan usaha perikanan dan penambahan jumlah kapal juga sesuatu yang wajib dilakukan agar target KKP tercapai.
Selain PNBP dari kapal penangkap ikan, KKP juga bisa mengandalkan PNBP dari kegiatan ekspor pasir laut. Terdapat banyak penerimaan negara yang bisa diharapkan dari sektor kelautan dan perikanan ini. Peningkatan produksi perikanan dapat meningkatkan pertumbuhan industri pengolahan ikan dalam negeri yang padat karya dan padat modal.
Dari kegiatan industri perikanan dan terbukanya lapangan pekerjaan yang luas akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan dengan sendirinya akan terjadi peningkatan penerimaan negara berupa pajak. Nilai pajak yang diperoleh dari berkembangnya industri perikanan dalam negeri bisa jauh lebih besar dari PNBP yang diterima dari kapal penangkap ikan, dan jangan lupa ini akan menimbulkan multiplier effect yang sangat besar terhadap perekonomian bangsa.
Sebagai seorang pengusaha sukses tentu Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono jeli melihat permasalahan yang dihadapi oleh sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Konsep perikanan terukur dan zona fishing industry adalah solusi yang ditawarkan bagi insan perikanan Indonesia.
Selain target PNBP KKP sebesar Rp 12 triliun, seharusnya KKP rebound juga mencanangkan program revolusi perikanan lainnya, yaitu, pertama, pembangunan industri pengolahan ikan dan pengalengan ikan baru sebanyak 500 unit; kedua, satu juta lapangan pekerjaaan baru di sektor perikanan; ketiga, terbentuknya tata niaga hasil perikanan nasional dengan berdirinya Bulog Perikanan; keempat, menjadikan Indonesia sebagai sumber hasil laut utama di dunia.
Solusinya, KKP sebagai regulator harus duduk bersama-sama dengan pelaku usaha dan fokus bagaimana potensi ikan di laut Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal dan didaratkan di Pelabuhan Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar target tersebut tercapai. Pertama, peningkatan jumlah kapal penangkap ikan di perairan ZEE Indonesia. Kedua, penyederhanaan perizinan penangkapan ikan dengan tetap tidak mentolerir pelaku pencurian ikan (illegal fishing).
Ketiga, dukungan permodalan dari perbankan khusus untuk usaha penangkapan ikan. Keempat, membuka investasi seluas-luasnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri dengan ketentuan harus membangun industri perikanan di Indonesia. Kelima, memberikan insentif atau tax holiday bagi usaha industri perikanan terpadu dari hulu sampai hilir.
Keenam, pembatasan ekspor ikan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Ketujuh, memperbaiki fasilitas di pelabuhan perikanan untuk mendukung kelancaran operasional kapal. Kedelapan, mempersiapkan ABK yang berkualitas bagi kapal ikan.
Diharapkan KKP benar-benar rebound dan menjadi solusi bagi kemajuan perikanan Indonesia, dan kalau tidak mampu rebound berarti sebaliknya!
Hengky, Pemerhati Perikanan Tangkap; Lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Tahun 2002