Pemerintah masih berpatok pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan kebijakan upah minimum 2023. Namun, di tengah pro dan kontra yang berkembang, ruang dialog lebih luas akan dibuka.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren meningkatnya harga kebutuhan pokok, diskusi seputar kenaikan upah minimum kembali menghangat. Selama dua pekan ke depan, pemerintah akan membuka ruang dialog untuk menampung usulan dari berbagai pihak. Kenaikan upah minimum diharapkan tidak kembali berada di bawah tingkat inflasi.
Kebutuhan untuk membuka ruang dialog itu menjadi kesepakatan dalam sidang pleno Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) yang digelar di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Rapat internal selama 3,5 jam itu dipimpin Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI-Jamsos) Indah Anggoro Putri dan dihadiri oleh perwakilan unsur serikat buruh dan pengusaha.
Indah Anggoro Putri mengatakan, pemerintah masih berpatok pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai landasan hukum kebijakan upah minimum tahun 2023. Namun, melihat tingginya pro dan kontra terkait regulasi turunan Undang-Undang Cipta Kerja itu, pemerintah menilai perlu membuka ruang dialog lebih luas.
Putri mengatakan, ruang dialog itu merupakan arahan langsung dari Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. ”Dialog itu harus merespons petisi dalam unjuk rasa kemarin. Selama ini, kan, belum ada kajian konkret, baru menolak. Kami akan dorong bagi yang merasa tidak cocok (dengan PP 36/2021), seperti apa kajiannya? Supaya jangan ada kegaduhan dan kesan bahwa pemerintah diam saja tidak merespons,” kata Putri saat ditemui usai sidang pleno, Selasa.
PP 36/2021 sebelumnya pernah dijadikan acuan dalam menetapkan upah minimum tahun 2022. Saat itu, hasil perhitungan berdasarkan rumus baru yang berlaku menghasilkan persentase kenaikan upah minimum di bawah tingkat inflasi.
Di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tren inflasi muncul usulan supaya kebijakan pengupahan tahun depan tidak hanya berpatok pada formula baru di PP 36/2021 agar laju kenaikan upah minimum tidak kembali berada di bawah inflasi. Serikat buruh beberapa kali mengadakan unjuk rasa terkait hal itu.
Putri mengatakan, pemerintah akan membuka waktu selama 10 hari sampai 14 hari ke depan untuk berdialog. Setiap kepala dinas ketenagakerjaan telah diminta untuk membuka ruang dialog yang sama dengan perwakilan buruh dan pengusaha di daerahnya masing-masing.
”Setelahnya, Depenas akan membahas semua masukan itu, sejauh mana yang bisa diakomodasi dan tidak. Nanti kita petakan sebagai bahan masukan ke Menaker, semoga ada solusi terbaik,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan pemerintah melakukan penyesuaian formulasi penetapan upah minimum, ia menegaskan, ruang dialog itu bukan untuk merespons keinginan merevisi PP 36/2021. Namun, keputusan terakhir ada di tangan Menaker.
”Masalah keputusannya nanti bagaimana, bukan di kami yang mengubah. Yang penting kami mendengar dulu. Kita challenge dulu, kajiannya mana. Nanti kalau hanya PP 36/2021 plek-plek (apa adanya), kesannya kita ini otoriter,” kata Putri.
Wakil Ketua Depenas dari unsur serikat buruh Surnadi mengatakan, serikat buruh bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan mengadakan survei pasar di sejumlah daerah berdasarkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) untuk mengecek dampak kenaikan harga BBM terhadap biaya hidup pekerja.
Pemerintah akan membuka waktu 10-14 hari ke depan untuk berdialog.
Hasilnya akan dijadikan faktor pertimbangan dalam menetapkan kebijakan upah minimum 2023. ”Kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah dan pengusaha. Artinya, harus ada alternatif lain untuk penetapan upah di tahun depan,” katanya.
Sejauh ini, simulasi sementara yang dilakukan oleh unsur pengusaha di Depenas memperkirakan kenaikan upah minimum 2023 bisa berada di kisaran 4-6 persen. Serikat buruh akan menghitung simulasi sendiri berdasarkan kajian survei pasar.
”Sekarang ini memang sudah ada usulan kenaikan 9-13 persen oleh teman-teman serikat buruh. Ini akan kita kaji, angkanya dari mana? Seperti apa penghitungannya? Bisa jadi itu sudah memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM,” ujarnya.
Menurutnya, unsur serikat buruh di Depenas tidak keberatan menggunakan PP 36/2021. Namun, perlu ada penyesuaian dengan kenaikan harga BBM yang berpengaruh pada tren kenaikan inflasi. Kementerian Keuangan sendiri memproyeksikan, akibat kenaikan harga BBM, inflasi pada akhir tahun ini bisa menyentuh 6-6,8 persen.
”Jadi meski rujukannya tetap ke PP 36/2021, tetap harus ada hal lain yang diperhitungkan karena ada kenaikan harga BBM saat ini,” ujar Surnadi.
Kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah dan pengusaha.
Kondisi tidak sama
Wakil Ketua Depenas dari unsur pengusaha Adi Mahfudz memperkirakan, kenaikan upah minimum kali ini tidak akan sama dengan sebelumnya. ”Kondisinya, kan, waktu itu sama-sama tergerus oleh dampak pandemi Covid-19. Saat ini, kondisinya sudah lebih baik sehingga itu pasti akan sangat berpengaruh terhadap penyesuaian kenaikan upah minimum,” ucap Adi.
Depenas masih menunggu data dari BPS untuk menjadi pijakan dalam menghitung upah minimum. ”Sebelum itu dikirim oleh BPS, kami tidak bisa berandai-andai. Karena itu nanti hitungan matematis. Dampak pandemi yang mulai stabil pasti akan berpengaruh,” katanya.
Massa buruh dari berbagai serikat pekerja dan elemen buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Rabu (8/12/2021). Mereka kembali menyerukan penolakan atas Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi serta memprotes penetapan upah minimum provinsi (UMP). Revisi Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan menjadi momentum menemukan jalan tengah yang tidak mengurangi kesejahteraan buruh dan tidak memberatkan pengusaha.
Ia juga menegaskan, kebijakan upah minimum juga harus memperhatikan keberlangsungan usaha. Khususnya, sektor tertentu yang belum bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. ”Tidak mungkin kita hanya parsial menimbang kesejahteraan pekerja karena keberlangsungan usaha juga menentukan napas pekerja,” katanya.
Di sisi lain, Adi dan Surnadi juga menegaskan, upah minimum bukan satu-satunya hal yang perlu diperjuangkan oleh buruh. Pasalnya, besaran upah minimum hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun, sementara untuk pekerja yang sudah bekerja di atas satu tahun harus ada kenaikan upah lebih tinggi sesuai dengan struktur dan skala upah.
”Ini yang sebenarnya harus diperjuangkan oleh serikat, jadi tidak hanya berkutat di upah minimum terus. Survei yang pernah kami lakukan di tahun 2016-2019, upah minimum yang terus kita ributkan itu hanya untuk 0,07 persen pekerja saja,” kata Surnadi.