Kenaikan Upah Buruh Perlu Selaras dengan Tren Inflasi
Tanpa perbaikan kondisi upah, kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya bisa semakin menggerus daya beli pekerja. Kebijakan upah minimum tahun 2023 perlu disesuaikan agar bisa mengejar inflasi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan upah minimum tahun depan perlu disesuaikan dengan tren peningkatan inflasi akibat naiknya harga bahan bakar minyak. Program bantuan subsidi upah tidak bisa dijadikan satu-satunya solusi. Diperlukan perbaikan kondisi upah untuk menjaga daya beli pekerja di tengah tren kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kenaikan harga BBM diperkirakan akan mendorong kenaikan inflasi lebih tinggi. Menurut proyeksi Kementerian Keuangan, inflasi pada akhir tahun ini bisa mencapai 6,6-6,8 persen, naik 1,9 persen dari inflasi tahunan per Agustus 2022 sebesar 4,69 persen. Proyeksi itu melebihi perkiraan awal pemerintah di kisaran 4-4,8 persen.
Di tengah kenaikan inflasi yang tinggi itu, upah buruh cenderung stagnan. Selama dua tahun pandemi Covid-19, pada tahun 2020 dan 2021, upah minimum tidak dinaikkan karena kondisi dunia usaha yang sedang terdampak pandemi. Sementara itu, pada tahun 2022, rata-rata nasional kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen, jauh di bawah tren kenaikan inflasi.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti mengatakan, tanpa adanya perbaikan kondisi upah, kenaikan harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok lainnya dapat menggerus daya beli pekerja hingga 30 persen. Hal itu tidak hanya bisa menekan kesejahteraan pekerja, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
”Bisa dibayangkan, selama pandemi upah tidak naik, sementara kita sedang dalam kondisi krisis di mana harga kebutuhan pokok di mana-mana mulai naik,” katanya, Selasa (6/9/2022).
Pemerintah pun diminta untuk tidak lagi menggunakan formula penetapan upah yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai patokan kebijakan upah minimum tahun 2023. Penetapan upah untuk tahun depan itu akan digodok dalam waktu dekat dan diumumkan pada November mendatang.
Buruh menilai, regulasi turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu mengatur formula baru yang dapat menahan kenaikan upah minimum, seperti terjadi pada tahun 2022. ”Apalagi, UU Cipta Kerja sebenarnya sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi dan harus direvisi dalam waktu dekat,” ujar Dian.
Tuntutan itu disuarakan buruh dalam aksi unjuk rasa yang diadakan di berbagai wilayah, Selasa. Selain menuntut kenaikan upah minimum di kisaran 10-13 persen, buruh juga menolak kenaikan harga BBM.
“Gula-gula”
Dian menilai, bantuan subsidi upah (BSU) yang saat ini disiapkan pemerintah bagi pekerja dengan upah minimum tidak cukup untuk menjaga daya beli yang sudah tergerus selama tiga tahun terakhir. Sebab, BSU senilai Rp 600.000 itu hanya diberikan satu kali. Dibutuhkan solusi yang sifatnya jangka panjang yaitu perbaikan kebijakan pengupahan.
”Pemerintah ibarat memberikan ’gula-gula’ atau pemanis lewat BSU, tetapi itu tidak bisa mengatasi dampak secara jangka panjang,” katanya.
Terlebih, BSU hanya diberikan kepada pekerja formal yang terdaftar di BP Jamsostek. Sementara, banyak buruh dalam kondisi rentan yang tidak bisa menerima bantuan karena tidak terdaftar di BP Jamsostek, seperti buruh kontrak, buruh alihdaya (outsourcing), buruh harian, buruh lepas, dan pekerja rumah tangga.
Sementara itu, Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) sedang bersiap mengkaji kebijakan upah minimum tahun 2023. Wakil Ketua Depenas dari unsur serikat buruh, Surnadi, mengatakan, kenaikan upah tahun depan seharusnya lebih fleksibel sesuai dengan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan saat ini.
Keinginan itu baru disuarakan oleh perwakilan serikat buruh dan belum menjadi keputusan bersama dengan perwakilan pengusaha dan pemerintah di Depenas. Sampai sekarang, rapat pembahasan upah minimum 2023 oleh Depenas baru satu kali diadakan.
”Pemerintah seharusnya lebih fleksibel, tidak bisa lagi saklekhanya menggunakan hitung-hitungan rumus di PP No 36/2021 di tengah kondisi seperti ini,” katanya.
Survei pasar
Perwakilan buruh dan pengusaha berencana melakukan survei pasar dengan mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) untuk menghitung biaya kebutuhan hidup riil pekerja. Survei itu rencananya akan dilakukan pada bulan September-Oktober oleh berbagai serikat buruh dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Survei tersebut akan menjadi data pembanding untuk menakar kondisi riil di lapangan sebelum menetapkan upah minimum. ”Sekarang kami masih menunggu pergerakan harga di pasar, terutama setelah harga BBM naik. Survei itu seharusnya bisa mengimbangi kenaikan upah buruh,” katanya.
Wakil Ketua Depenas dari unsur pengusaha, Adi Mahfudz, mengatakan, pada dasarnya, penetapan upah minimum tahun 2023 tetap harus mengacu pada PP No 36/2021. Di tengah kondisi inflasi saat ini, dunia industri juga ikut terdampak sehingga tidak semua sektor mampu melakukan penyesuaian kenaikan upah lebih tinggi.
Meski demikian, ia menilai, kebijakan itu dapat lebih fleksibel di tengah kondisi saat ini. ”Pasti pemerintah akan tetap menggunakan PP No 36/2021, tetapi kita akan mencoba melihat harga di pasar, kami fleksibel. Yang jelas, pelaku usaha akan menunggu Dewan Pengupahan bekerja terlebih dahulu,” katanya.
Sementara itu, saat ditanyakan mengenai kebijakan upah minimum 2023, Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah akan terlebih dulu fokus menyelesaikan penyaluran BSU sesuai target. ”Ini kita selesaikan dulu, kami ingin cepat. Berbagai prasyarat sudah kita penuhi, dari administrasi keuangan, regulasi penyaluran, sampai data,” katanya.
Sebagai tahap awal, Kemenaker sudah menerima 5,09 juta data calon penerima BSU dari BP Jamsostek. Bantuan itu kelak tidak hanya akan diberikan pada pekerja dengan gaji bulanan di bawah Rp 3,5 juta seperti rencana awal, tetapi juga disalurkan ke pekerja yang digaji senilai upah minimum.