Target Tinggi Penerimaan di Tengah Tantangan Inflasi
Jika konsumsi terus tertekan karena tingginya inflasi, terdapat risiko kinerja penerimaan PPN akan turut tertekan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ancaman inflasi dan dinamika ekonomi global yang semakin sulit diprediksi tahun depan, pemerintah dan DPR menargetkan penerimaan pajak yang tinggi pada tahun 2023. Target ini hanya bisa terpenuhi apabila konsumsi rumah tangga menggeliat sejalan dengan terkendalinya tingkat inflasi.
Berdasarkan postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang disepakati Panitia Kerja (Panja) Badan Anggaran (Banggar) DPR, target penerimaan perpajakan tahun 2023 mencapai Rp 2.021,2 triliun, lebih besar Rp 4,3 triliun dibandingkan dengan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 sebesar Rp 2.016,9 triliun.
Perubahan angka terjadi di sejumlah komponen penerimaan, di antaranya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Rp 740,1 triliun dalam RAPBN 2023 menjadi Rp 743 triliun dalam kesepakatan Panja Banggar; bea masuk dari Rp 47,3 triliun dalam RAPBN 2023 menjadi Rp 47,5 triliun dalam kesepakatan Panja Banggar; serta bea keluar dari Rp 9 triliun menjadi Rp 10,2 triliun.
Sejalan dengan geliat konsumsi rumah tangga yang tidak terganggu oleh inflasi, peluang realisasi target penerimaan PPN 2023 semakin terbuka.
Terkait penerimaan PPN, apabila dibandingkan dengan outlook penerimaan PPN tahun 2022 di angka Rp 599 triliun, target 2023 melonjak 24,04 persen.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, target penerimaan PPN pada tahun depan akan terpenuhi selama target pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang dipatok pada 2023 juga terpenuhi. Dalam kesepakatan yang terjalin antara Kementerian Keuangan dan Panja Banggar DPR RI, pertumbuhan ekonomi disepakati sebesar 5,3 persen dengan tingkat inflasi mencapai 3,6 persen.
”Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih erat korelasinya dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sejalan dengan geliat konsumsi rumah tangga yang tidak terganggu oleh inflasi, peluang realisasi target penerimaan PPN 2023 semakin terbuka,” ujarnya, Kamis (15/9/2022).
Fajry mengingatkan, penyesuaian harga BBM yang terjadi pada triwulan III-2022 dapat berkorelasi erat pada melesatnya indeks harga konsumen (IHK) sehingga berimplikasi pada seretnya setoran pajak dari konsumsi masyarakat. Jika konsumsi terus tertekan karena tingginya inflasi, kinerja penerimaan PPN akan turut tertekan.
Pada dasarnya, pemerintah pun menyadari besarnya dampak harga BBM terhadap inflasi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan memprediksi inflasi pada 2022 lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Ia mendorong peran dan kontribusi pemerintah daerah untuk secara bersama-sama mengatasi dan mengantisipasi kenaikan inflasi ke depan.
Airlangga menyampaikan, kenaikan harga BBM diperkirakan mengerek inflasi hingga 1,6 persen-2 persen dari target yang ditetapkan pemerintah, yakni 3,5 persen-4,5 persen. ”Kita harus bersiap angka inflasi tahun ini bisa sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi tahun ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Airlangga, pengendalian inflasi pada komponen harga yang diatur pemerintah dan harga bergejolak menjadi faktor yang penting, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah pun berupaya agar dampak rambatan dari penyesuaian harga BBM ke tarif angkutan dapat dikendalikan melalui kebijakan 2 persen dana transfer umum (DTU) daerah untuk bantalan sosial sehingga harga-harga kebutuhan pokok dapat terkendali.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, target penerimaan pajak pada tahun depan memiliki pijakan pada asumsi maksimal normalisasi ekonomi. Oleh karena itu, sejalan dengan pemulihan aktivitas perekonomian di tahun 2023, PPN akan menjadi salah satu komponen penerimaan negara yang berpotensi besar mencatatkan pemulihan.
”PPN akan menjadi penopang pertumbuhan pajak tahun depan sejalan dengan keyakinan bahwa ekonomi yang bertumpu pada konsumsi akan tumbuh. Memotret unsur dari perekonomian yang relatif lebih stabil, kenaikan PPN akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Panja Banggar DPR, Rabu.
Dia menambahkan, faktor lain yang akan mendorong optimalisasi PPN adalah implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang salah satunya melegalisasi kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.
Sri Mulyani menyebut target penerimaan perpajakan 2023 itu sudah tidak mempertimbangkan lonjakan harga komoditas global serta tanpa faktor pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS) yang merupakan penerimaan tidak berulang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai, tingginya target penerimaan negara dilandasi oleh target pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 5,3 persen, yang melampaui kondisi prapandemi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi bergerak rata-rata 5 persen
Kondisi tahun depan, lanjut Faisal, cukup menantang untuk mencapai pertumbuhan di tingkat tersebut, salah satunya karena berakhirnya tren kenaikan harga komoditas global serta dimulainya era konsolidasi fiskal dengan defisit APBN 2023 telah disepakati berada di level 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB).