UMKM Perlu Didorong Masuk Rantai Pasok
Pemerintah terus mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk merambah pasar global melalui ekosistem digital.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perlu didorong untuk naik kelas dan merambah pasar global melalui ekosistem digital. Untuk mencapai hal tersebut, UMKM harus diberdayakan agar bisa masuk rantai pasok korporasi-korporasi besar.
Hal itu mengemuka dalam webinar 100 Tahun Eka Tjipta Widjaja yang mengangkat tema ”Strategi UMKM Indonesia Agar Naik Kelas dan Berdaya Saing Global” di Jakarta, Kamis (15/9/2022). Selain Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, diskusi ini juga dihadiri beberapa praktisi UMKM berbasis digital.
Managing Director Sinar Mas Saleh Husin mengatakan, seperti halnya perusahaan besar lainnya, Sinar Mas juga memberikan pendampingan dan inisiatif pengembangan potensi ekonomi lokal di sekitar fasilitas produksi atau wilayah usaha yang berbasis kearifan lokal setempat. Ini dilakukan agar UMKM dapat berkembang dan masuk rantai pasok perusahaan dengan harapan mampu menjangkau pangsa pasar yang lebih luas lagi.
Di sisi lain, kata Saleh, saat ini makin terbuka kesempatan UMKM untuk masuk ekosistem digital. ”Upaya kurasi, inkubasi, pendampingan, dan pendanaan usaha rintisan berbasis digital yang potensial merupakan langkah strategis sekaligus memberikan solusi bagi masyarakat,” katanya.
Pendiri Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja, lanjut Saleh, pernah mengingatkan bahwa kebahagiaan karena melakukan sesuatu untuk masyarakat merupakan kepuasan yang tidak ada tandingannya. Di sinilah semangat gotong royong yang selama ini menjadi jati diri bangsa bisa membawa Indonesia lebih maju.
Hanna Keraf, Chief of Community and Partnership DuAnyam dan Krealogi, mengakui, upaya mengangkat produk UMKM menuju pasar global tidaklah mudah. Strateginya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Langkah kecil DuAnyam dimulai dengan visi mengangkat ekonomi keluarga melalui pemberdayaan perempuan di perdesaan.
Sebagai kewirausahaan berbasis komunitas, kata Hanna, fokus yang perlu dipandang penting adalah melihat masalah yang ada di masyarakat. Awalnya, sekadar mempermudah akses terhadap ketersediaan uang tunai di level desa bagi perempuan, terutama mereka diajak untuk mengambil keputusan finansial bagi diri dan anak-anaknya.
Selain itu, mencermati potensi masyarakat lokal. Perempuan di Nusa Tenggara Timur, misalnya, memiliki keterampilan menganyam. Adanya bahan baku, kemampuan warga lokal dan potensi pasar yang masih sangat besar, membuat produk anyaman ini potensial bagi perempuan di desa.
”Mereka cukup berada di rumah, tetapi bisa mendapatkan penghasilan sampingan dari hasil menganyam. Kami hanya memastikan adanya aliran barang, informasi, dan mendukung finansial demi membangun rantai pasok kerajinan tangan ini,” kata Hanna.
Permintaan pasar memang sangat bervariasi. Artinya, DuAnyam menyiapkan bahan baku atau memastikan kualitas yang dihasilkan sesuai dengan standar yang diinginkan pembeli. Mulai dari pengolahan, desain produk, hingga tercipta produk perlu didampingi untuk memastikan kualitasnya. Kemudian, akses pasar disiapkan.
”Sebenarnya tidak sesimpel itu. Pastinya menjadi tantangan tersendiri ketika harus mendampingi ibu-ibu penganyam. Hingga saat ini ada sekitar 1.400 orang yang didampingi. Skala kami mungkin lebih kecil, tetapi bukan berarti kami tidak bisa bekerja seperti Sinar Mas karena kami memiliki sistem, standar kualitas, riset, dan pengembangan,” ujar Hanna.
Menurut Hanna, kalau tidak ada sistem dan pencatatan yang baik, akan sulit bagi DuAnyam untuk memutuskan pembelian yang sangat besar. Pasca pandemi Covid-19, DuAnyam akhirnya bisa memulai mengirim produk anyaman dengan menggunakan kontainer. Walaupun berbasis komunitas, sistem manajemen produksi dan inventory yang mirip dengan manufaktur perlu juga diperkenalkan untuk menembus pasar global.
Syaroful Azka, Co-founder Pasar Sayoor, mengatakan, sebelum merambah pasar global, hal yang perlu dipahami adalah produk harus bisa diterima pasar. Inilah yang dicoba dijembatani sehingga terjadi sinergi antar-pemangku kepentingan yang membutuhkan produk UMKM.
UMKM yang bekerja sama dengan usaha rintisan Pasar Sayoor pun perlu didorong meningkatkan kualitas, mulai dari mengelola hasil pertanian atau peternakan hingga makanan olahan, sehingga UMKM bisa naik kelas kualitas. Yang tak ketinggalan, mereka dapat meningkatkan kuantitasnya untuk memenuhi pasar yang lebih luas.
Wakil Ketua Umum Bidang Kewirausahaan dan Ketua Kelompok Kerja Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Kewirausahaan Kadin Indonesia Aldi Haryopratomo menegaskan, ”UMKM Indonesia mempunyai potensi untuk masuk rantai pasar global. Sebenarnya, untuk bisa masuk rantai pasok global perlu adanya kemitraan antara UMKM dan perusahaan yang memiliki jalur ekspor ke luar negeri.”
Sunpride, misalnya. Awalnya, pengekspor pisang ini sangat bergantung pada produk dari kebunnya sendiri. Permintaan pasar global yang banyak membuat perlu adanya kerja sama dengan usaha rintisan dan petani pisang di daerah Lampung. Untuk menjaga kualitas, pendampingan petani sangat diperlukan.
Menurut Aldi, selain kemitraan, perlu juga kerja sama dengan pembeli dari luar negeri. Seorang pengusaha sepatu di Jepang, misalnya, selama 37 tahun sudah mengajarkan perajin sepatu di Jawa Barat yang produknya bisa masuk ke toko Takashimaya, Jepang. Harganya bisa mencapai Rp 5 jutaan. Tentu, desain produk perlu menyesuaikan kebutuhan di Jepang.
Peluang besar
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memperlihatkan, peluang yang dimiliki bangsa Indonesia sangat besar. Dengan berbagai keberagaman yang dimiliki serta kemampuan kreatif pelaku usahanya, ditambah lagi saat ini perkembangan teknologi digital, semua itu menjadi modal penting untuk membawa UMKM Indonesia menembus pasar global.
Teten mengingatkan, walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik, perekonomian dunia ke depan diperkirakan masih sulit atau memburuk. Lembaga Keuangan Internasional (IMF) telah mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen tahun 2022. Sementara tahun 2023, pertumbuhan ekonomi dunia dikoreksi dari 3,6 persen ke 2,9 persen.
Hal ini merupakan tantangan Indonesia, terutama bagi UMKM. Sebab, sebanyak 99,9 persen pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Perkembangan ekonomi dunia perlu diwaspadai. Kolaborasi pemerintah dan swasta perlu sama-sama mencari solusi untuk bisa bertahan dan pulih kembali.
”Pemerintah terus memperkuat ekosistem usaha untuk UMKM agar punya daya saing dan daya tahan lebih kuat lagi. Sebanyak 6,3 persen rasio produk UMKM berada dalam rantai nilai global. Jadi, masih sedikit UMKM kita yang terhubung dalam rantai pasok industri,” ujar Teten.
Teten menyayangkan karena ekspor UMKM Indonesia masih 15,65 persen dibandingkan dengan ekspor UMKM Singapura yang sudah mencapai 41 persen, Thailand 29 persen, dan Tiongkok 60 persen. Mereka begitu besar karena UMKM terintegrasi dengan industri.