Sebanyak 98 persen dari total kabupaten dan 70 persen dari total kota di Indonesia dikategorikan belum mampu mengelola fiskal secara mandiri. Hal ini menimbulkan risiko bagi sebagian daerah.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Pemerintah pusat mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut menyiapkan bantalan sosial sebagai konsekuensi kenaikan harga bahan bakar minyak. Hal ini punya intensi positif dalam menahan laju penurunan daya beli masyarakat di daerah.
Program pembagian beban antara pemerintah pusat dan daerah untuk mendistribusikan bantalan sosial di daerah ini termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.
Dalam beleid tersebut, belanja wajib perlindungan sosial daerah tersebut digunakan untuk bantuan sosial. Bantuan ini bisa dialokasikan untuk ojek, UMKM, dan nelayan, penciptaan lapangan kerja, serta subsidi transportasi umum.
Intensi ini diejawantahkan melalui penggunaan dana transfer umum (DTU) yang bersumber dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) untuk beragam program bantuan sosial sebesar 2 persen. Namun, intensi baik ini juga punya risiko menggoyang fondasi fiskal daerah yang sedang rapuh.
DAU dan DBH adalah bagian dari dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DAU merupakan dana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Sementara DBH bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Baik DAU maupun DBH digunakan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam melaksanakan desentralisasi.
Masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer langsung pemerintah pusat menjadi penyebab kemandirian fiskal di daerah bak panggang jauh dari api. Ini sejalan dengan Laporan Hasil Review atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2020 yang dibuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lembaga pengaudit pemerintah ini mencatat, sebanyak 98 persen dari total kabupaten serta 70 persen dari total kota di Tanah Air masuk dalam kategori belum mampu mengelola fiskal secara mandiri. Menurut catatan BPK, kemandirian fiskal ini terkendala oleh buruknya tata kelola keuangan, terutama dalam kaitan pajak daerah dan retribusi daerah.
Sebenarnya potensi penerimaan pajak yang belum tergali di daerah masih cukup besar. Namun, sistem administrasi di daerah belum sepenuhnya mampu menunjang aktivitas penggalian potensi pajak, baik dari sisi pendataan wajib pajak maupun mekanisme pemungutan.
Lembaga pengaudit pemerintah ini mencatat, sebanyak 98 persen dari total kabupaten serta 70 persen dari total kota di Tanah Air masuk dalam kategori belum mampu mengelola fiskal secara mandiri.
Amanat mengalokasikan 2 persen DTU untuk bantuan sosial di tengah rapuhnya kemandirian fiskal di daerah justru malah akan mendorong peningkatan transfer langsung yang dicairkan pemerintah pusat untuk pemerintah daerah.
Apabila pendapatan asli daerah (PAD) yang dipungut tak mampu menutupi beban belanja daerah, otomatis daerah memerlukan sumber pendanaan lain, yakni dari anggaran pemerintah pusat. Situasi ini akan berujung pada melonjaknya transfer langsung pemerintah pusat dalam rangka menjaga ketahanan belanja di daerah.
Pemerintah pusat memang berwenang mengarahkan belanja daerah, terutama dalam kondisi krisis seperti saat ini. Namun, idealnya pemerintah pusat bersikap adil terhadap setiap daerah mengingat kapasitas fiskal dan tingkat inflasi di setiap daerah berbeda.
Saat ini, pemerintah berupaya untuk bertindak tegas kepada pemerintah daerah dengan memberlakukan sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak mengalokasikan atau menyusun program bantuan sosial sebagai respons atas kenaikan harga BBM sejak 3 September lalu.
Idealnya pemerintah pusat bersikap adil terhadap setiap daerah mengingat kapasitas fiskal dan tingkat inflasi di setiap daerah berbeda.
Alangkah baik jika pemberlakuan kebijakan pembagian beban ini tidak dipukul rata. Pemerintah pusat dapat menyusun klusterisasi atau pengelompokan daerah yang memiliki kapasitas fiskal mumpuni untuk dilibatkan dalam skema pembagian beban antara pemerintah pusat dan daerah.
Kebijakan ini juga bisa diiringi dengan skema insentif dari pemerintah pusat yang diberikan kepada pemerintah daerah yang mampu menguatkan struktur PAD sehingga kemandirian fiskal di daerah tetap terjaga.
Semua tentu berharap, jangan sampai krisis dan tekanan ekonomi akibat harga minyak ini malah menghambat upaya desentralisasi fiskal di Tanah Air.