Indonesia dinilai masih jauh dari risiko krisis pangan karena ketidakpastian global. Namun, lonjakan impor pangan perlu jadi perhatian. Kemandirian perlu dikejar untuk menekan ketergantungan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati masih jauh dari risiko krisis pangan, Indonesia dinilai perlu bekerja keras mengendalikan tren terus naiknya importasi komoditas pangan. Selain kebijakan hulu-hilir yang terintegrasi, insentif usaha, khususnya bagi petani, peternak, dan pelaku di hulu perlu jadi perhatian guna memperkuat produksi dalam negeri.
Demikian poin yang mengemuka dalam Diskusi Ekonomi Berdikari tentang pangan yang digelar harian Kompas di Jakarta, Selasa (13/9/2022). Hadir sebagai pembicara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal, Rektor IPB University Arif Satria, serta Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa.
Menurut Airlangga, ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. ”Langkah pemerintah (antara lain) meningkatkan produktivitas, misalnya, (dengan mengizinkan) pemakaian bibit GMO (genetically modified organism) pada jagung, bisa juga untuk kedelai dan beras (padi),” ujarnya.
Dalam jangka pendek, pemerintah mengupayakan ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga pangan guna mengendalikan inflasi. Untuk komoditas beras, misalnya, kata Airlangga, sudah ada penugasan kepada Perum Bulog untuk menyiapkan 1,2 juta ton cadangan beras pemerintah. Pemerintah juga mengupayakan pembiayaan dengan bunga rendah serta mekanisme jual rugi untuk memperkuat fungsi Bulog.
Ketersediaan pangan dan pengendalian inflasi pun jadi perhatian. ”Besok (Rabu), akan ada rapat koordinasi pusat dan daerah terkait pengendalian inflasi. Stok pangan di daerah dan harga akan dimonitor. Masing-masing kepala daerah, sesuai arahan Pak Presiden (Joko Widodo), agar menggunakan 2 persen dana (transfer umum, untuk masyarakat),” ujarnya.
Dwi Andreas menyebutkan, volume impor delapan komoditas, yakni beras, jagung, gandum, kedelai, gula, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah, melonjak dari 8 juta ton pada 2008 menjadi 27,6 juta ton pada 2018. Pada 2019, volumenya turun menjadi 25,6 juta ton, tetapi pada 2020 meningkat menjadi 26,3 juta ton dan pada 2021 mencapai 27,7 juta ton.
”Ini menjadi persoalan besar dan menjadi tugas berat pemerintah. Sebab, jika menilik produksi padi 20 tahun terakhir, rata-rata peningkatannya hanya 0,67 persen per tahun, sementara pertumbuhan penduduk 1,3-1,4 persen per tahun. Artinya, jomplang. Kondisi pangan kita sedang tidak baik-baik saja dan perlu kerja bersama secara luar biasa untuk mengatasi ini,” kata Andreas yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University.
Di sisi lain, kata dia, pertumbuhan impor gandum mencapai 16,5 persen per tahun. Tahun lalu volume impornya mencapai 11,6 juta ton. ”Ini jadi catatan penting dalam menjawab isu-isu ke depan,” ujarnya.
Menurut Arief Prasetyo, status krisis pangan sebenarnya masih jauh bagi Indonesia karena ketersediaan pangan pokok masih relatif aman. Demikian pula dengan subtitusinya. Namun, Presiden Joko Widodo memang meminta mitigasi agar pada 2023, yang diperkirakan bakal ada ancaman krisis, termasuk pangan, bisa diantisipasi dengan baik.
”Tantangan ini bisa jadi satu kesempatan. Saat tidak bisa mendapatkan produk-produk impor, maka (itu berarti) waktunya bagi kita untuk memproduksi di dalam negeri atau mengupayakan substitusinya. Papua dan Maluku, misalnya, dengan pangan berbasis sagu,” kata Arief.
Diversifikasi
Selain menggenjot produksi dan produktivitas di hulu, khususnya oleh Kementerian Pertanian, penganekaragaman konsumsi terus dikampanyekan agar semakin masif. Bahan pangan yang dipromosikan, prinsipnya beragam, bergizi, seimbang, dan aman.
Airlangga menambahkan, impor gandum Indonesia mencapai sekitar 11,6 juta ton per tahun. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan substitusi dan mendorong diversifikasi pangan. ”Pertama adalah mencoba menanam sorgum. Kedua, mendorong penanaman (singkong untuk memproduksi) tapioka untuk makanan. Ketiga, pemanfaatan tepung sagu untuk kue-kue,” ujarnya.
Menurut Arif Satria, Indonesia mengalami diversifikasi pangan yang salah. Semestinya bahan pangan yang dikonsumsi adalah produk nonberas produksi lokal. Namun, situasi yang terjadi tidak demikian, sebab justru gandum yang notabene impor yang kian populer.
Peningkatan konsumsi gandum terjadi di tengah kecenderungan turunnya rata-rata konsumsi beras per kapita. Kecukupan beras dari produksi dalam negeri tiga tahun terakhir juga tidak lepas dari tren tersebut.
”Sebenarnya, saat ini jadi momentum yang semakin menyadarkan kita untuk mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Pengembangan pangan lokal harus ditempuh secara serius dan sistematis. IPB, misalnya, membuat mi berbahan baku berbagai bahan pangan lokal, tetapi masalahnya, siapa yang mau investasi produksinya. Perlu gerakan massal luar biasa,” ucapnya.
Secara teknologi, kata Arif, Indonesia sejatinya tidak tertinggal. Inovasi dan temuan penelitian sangatlah banyak. Pada kedelai, misalnya, IPB telah mengembangkan varietas yang produktivitasnya melampaui rata-rata produkivitas nasional yang 1,5 ton per hektar. Itu sudah diuji coba.
Akan tetapi, ada pertimbangan lain bagi petani untuk menanamnya, khususnya terkait insentif usaha. Oleh karena harganya rendah, petani lebih memilih menanam padi atau jagung yang dinilai lebih menguntungkan. ”Artinya, tak ada insentif bagi petani untuk menanam kedelai. Ini berlaku untuk komoditas lain,” katanya.
Menurut Andreas, insentif usaha menjadi kunci mendorong produksi. Ketika usahanya mendatangkan hasil, antara lain karena harga jual hasil panennya terjamin, petani akan dengan sendiri berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas tanamannya. Sayangnya, situasinya sering tidak menguntungkan petani, terutama terkait kebijakan impor.
Arief sepakat, para petani, peternak, dan pelaku usaha di hulu mesti untung untuk menopang kemandirian pangan nasional. Jika petani sejahtera, produksi akan otomatis meningkat.