Penarikan pungutan hasil perikanan pascaproduksi perlu memastikan kesiapan sarana prasarana pelabuhan perikanan, sumber daya manusia, serta mekanisme pendataan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan menyoroti kesiapan pelabuhan menjelang beralihnya sistem penarikan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari pra-produksi ke pascaproduksi. Sejumlah pelabuhan perikanan dinilai belum dilengkapi sarana dan prasarana, serta kesiapan sumber daya manusia. Sementara tercatat banyak pelabuhan perikanan tangkahan atau tidak resmi.
Pemerintah tengah merevisi peraturan terkait penetapan nilai produksi ikan dalam rangka pemberlakuan pungutan hasil perikanan pascaproduksi mulai tahun ini. Pungutan hasil perikanan pascaproduksi sebagai bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan diterapkan secara bertahap dengan uji coba di beberapa pelabuhan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, penarikan PNBP dilakukan setelah kapal perikanan berproduksi. Formula perhitungan dinilai lebih sederhana, yakni dari indeks tarif sesuai jumlah dan jenis ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan, serta harga jual ikan.
”Pemungutan PNBP pascaproduksi dilakukan setelah ikan yang didaratkan ditimbang dengan timbangan elektronik. Timbangan juga telah terkoneksi dengan sistem informasi sehingga pencatatan data produksi lengkap dengan foto ikan,” ujar Zaini dalam Konsultasi Publik tentang Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait penangkapan ikan terukur, Senin (29/8/2022).
Penarikan pungutan hasil perikanan pascapoduksi mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2021 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif PNBP yang Berlaku pada KKP yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan, serta Peraturan Pemerintah No 85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Direktur Kepelabuhanan Perikanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Tri Aris Wibowo mengemukakan, dasar penentuan besaran tarif PNBP pascaproduksi menggunakan nilai produksi ikan pada saat didaratkan. Nilai produksi ikan ditetapkan oleh kepala pelabuhan perikanan pada pelabuhan perikanan, ataupun pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk pelabuhan perikanan perintis milik kementerian dan pelabuhan yang tidak dibangun pemerintah.
Penimbangan ikan hasil tangkapan dilakukan oleh pelaku usaha perikanan tangkap bersama pengolah data dengan menggunakan timbangan elektronik. Proses penimbangan memerlukan sumber daya manusia memadai di pelabuhan pangkalan.
”Kami sedang dalam proses pengadaan jasa sumber daya manusia perorangan sebagai pengolah data (di pelabuhan),” kata Aris.
Aris menambahkan, penyediaan timbangan elektronik saat ini dalam proses penambahan. Selain itu, pihaknya juga tetap menjalankan sistem pencatatan secara manual dengan data yang akan diunggah ke sistem aplikasi yang juga terhubung dengan sistem timbangan elektronik.
Sarana pelabuhan
Pengurus Kelompok Usaha Bersama (KIB) Dua Putra Maluku Utara, Taufik, mengemukakan, fasilitas pelabuhan dan timbangan elektronik perlu disiapkan agar pembongkaran ikan dan mekanisme penimbangan tidak memakan waktu lama dan menghambat pemberangkatan kapal berikutnya. Ia menyoroti fasilitas pelabuhan perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate yang saat ini belum memadai.
”Jangan sampai, saat musim penangkapan, kapal ikan baru bisa keluar lagi melaut 3-4 hari akibat menunggu pembongkaran (ikan). Ini juga akan menambah biaya,” kata Taufik.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pati Bidang Kelautan dan Perikanan Subaskoro mengemukakan, tarif PNBP diterbitkan setelah kapal sandar dan bongkar ikan, dan pembayaran tarif PNBP menjadi syarat kapal bisa kembali melaut. Sementara pelaku usaha kerap baru menerima pembayaran atas penjualan hasil tangkapan dalam waktu dua minggu sampai 1 bulan. Jangka waktu pelunasan tarif PNBP yang pendek akan membebani pelaku kapal perikanan yang saat ini sudah terbebani biaya solar yang mahal.
Analis Kebijakan Ahli Madya Asisten Deputi Perikanan Tangkap Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Mielyon Datty, mengemukakan, penerapan kebijakan penangkapan terukur wajib diimbangi dengan mekanisme pendataan dan verifikasi yang akurat, kapabilitas sumber daya manusia, dan sarana pelabuhan. Masih banyak pelabuhan perikanan di daerah yang minim sarana dan prasarana. Sementara itu, pelabuhan perikanan tangkahan marak, antara lain di Sumatera.
”Kapasitas sarana dan prasarana, serta kapabilitas sumber daya manusia menjadi tolok ukur untuk (keberhasilan) kebijakan penangkapan ikan terukur. Saat ini, banyak pelabuhan perikanan daerah sangat minim dari sisi prasarana sarana,” ujarnya.
Mielyon menambahkan, kebijakan penangkapan ikan terukur perlu disiapkan dengan baik, serta sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk menghasilkan pendataan yang efektif, efisien, dan akurat. Dengan demikian, pelaku usaha tidak kesulitan menerapkan kebijakan tersebut, dan negara tidak dirugikan.
Plant Manager PT Nutrindo Fresfood International Tedy Hatmoko mengemukakan, tidak semua perusahaan berada di lokasi yang berdekatan dengan pelabuhan perikanan. Apabila kapal perikanan diwajibkan membongkar di pelabuhan perikanan yang ditetapkan, perusahaan dengan jarak yang jauh dari pelabuhan akan kesulitan dan berdampak pada mutu produk, biaya, dan waktu produksi. Ia meminta pemerintah mengakomodasi persoalan tersebut dengan tidak mempersoalkan isu kepercayaan (trust).
”Kami siap memberikan data yang benar, tapi jika tidak diakomodasi dengan baik, ke depan akan ada praktik manipulasi terkait data hasil tangkapan ikan karena mencari cara untuk efisiensi biaya,” katanya.