PNBP Digenjot, Kelestarian Sumber Daya Ikan Jangan Dikorbankan
Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak atau PNBP bertujuan menyejahterakan nelayan. Akan tetapi, PNBP yang diikuti peningkatan eksploitasi ikan perlu dikendalikan agar tidak merusak sumber daya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak dari sektor perikanan tangkap perlu dibarengi dengan kebijakan strategis pengendalian penangkapan ikan. Eksploitasi sumber daya ikan yang masif tanpa pengendalian dikhawatirkan menyebabkan hancurnya sumber daya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan tangkap tahun ini sebesar Rp 1 triliun dan naik 1.200 persen pada 2024 menjadi Rp 12 triliun. Upaya menggenjot PNBP, antara lain, akan dilakukan dengan optimalisasi penangkapan ikan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan.
Pungutan hasil perikanan (PHP) itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini menggantikan PP No 75/2015. Tarif PHP dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Berdasarkan ketentuan itu, kapal penangkap ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT dipungut tarif praproduksi sebesar 5 persen, kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen, dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen.
Wakil Dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Agus Trianto berpendapat, pengelolaan sumber daya ikan merupakan faktor yang sangat penting. Penangkapan ikan yang tanpa kendali berpotensi merusak sumber daya. Ia mencontohkan, perairan Karimun Jawa sebelum 1990 merupakan surga ikan. Ikan napoleon dan ikan kerapu berukuran besar masih mudah ditemukan, tetapi sekarang sudah langka akibat cara penangkapan yang merusak.
”Penangkapan ikan terus-menerus jika dilakukan tanpa pengendalian, apalagi dengan metode tidak ramah lingkungan, menyebabkan sumber daya ikan akan tergerus dan hilang,” katanya dalam seminar daring ”Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Nelayan dan Pembudidaya Ikan,” Kamis (26/8/2021).
Ketua Forum Kemitraan Konsorsium Perikanan Tangkap dan staf pengajar Departemen Perikanan Tangkap Universitas Diponegoro, Agus Suherman, mengatakan, potensi kelautan dan kesejahteraan nelayan masih menghadapi paradoks. Kekayaan sumber daya ikan belum sepenuhnya dinikmati nelayan. Kemiskinan nelayan ditengarai menyebabkan jumlah nelayan terus menurun dan kini diperkirakan hanya tinggal 1,46 juta orang.
Pemerintah dinilai menggenjot PNBP sebagai solusi percepatan dan akselerasi agar membantu negara melanjutkan perikanan yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Saat ini, 96,17 persen perikanan Indonesia merupakan perikanan rakyat dengan kapal berukuran di bawah 10 gros ton.
Upaya menggenjot PNBP dinilai perlu dilakukan dengan menertibkan izin kapal. Masih banyak kapal ikan berukuran di atas 30 GT ditengarai tidak berizin, tetapi tetap beroperasi. Dari data Kementerian Perhubungan, pada tahun 2020 tercatat 14.000 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton. Dari jumlah itu, yang memperoleh izin usaha perikanan tangkap dari Kementerian Kelautan dan Perikanan baru sekitar 5.000 kapal.
Di sisi lain, jangan sampai instrumen PNBP melalui tarif penarikan sistem kontrak menyebabkan pengavlingan wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk korporasi tertentu karena dapat memicu penguasaan sumber daya oleh segelintir pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan penentuan volume produksi lewat sistem kuota.
Ganti nama
Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap ramah lingkungan bukan berarti penggantian nama terhadap alat tangkap yang merusak, tetapi praktik penggunaan alat tangkap itu dipastikan ramah lingkungan dan sesuai standar. Dicontohkan, pukat harimau (trawl) yang dilarang karena merusak sumber daya. Maka, penamaan alat tangkap itu diganti agar terkesan baik.
”Dampaknya bala, sesuatu yang tidak diharapkan manusia dapat terjadi. Koral digerus oleh alat pukat (yang berganti nama). Ini harus menjadi perhatian kita semua karena berisiko dan kita bisa kehilangan semua,” kata Agus Suherman.
Sebelumnya, KKP mengizinkan jaring tarik berkantong yang cenderung eksploitatif sebagai pengganti alat tangkap cantrang yang dilarang. Jarik taring berkantong digunakan di WPPNRI 711, yaitu perairan laut Kepulauan Riau hingga Laut Natuna pada zona di atas 30 mil dan WPPNRI 712, yaitu laut utara Pulau Jawa. Di samping itu, KKP membuka penggunaan alat tangkap pukat ikan pada perairan perbatasan negara dengan tujuan menghalau kapal asing yang kerap menggunakan pukat harimau.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi, peningkatan PNBP merupakan salah satu program prioritas KKP pada periode 2020-2024 yang dilakukan melalui penangkapan terukur. Peningkatan PNBP dari sektor penangkapan ikan bertujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
”Penangkapan terukur tujuannya mengotimalkan ekonomi dan pengendalian ekologi laut. Selain memberikan manfaat bagi pelaku usaha, juga memberikan manfaat bagi negara berupa PNBP dan pajak, yang akan dikembalikan untuk pemberdayaan nelayan, sehingga kesehateraan nelayan meningkat,” kata Zaini dalam webinar ”Optimalisasi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan melalui Pengelolaan Terukur dan Kolaboratif”, Selasa.
Potensi stok ikan di 11 WPPNRI mencapai 12,54 juta ton dengan kapasitas tangkapan yang dibolehkan (JTB) 10,2 juta ton. Dari JTB itu, volume produksi rata-rata 6,7 juta ton per tahun dengan nilai Rp 224 triliun sehingga tersisa stok 3,5 juta ton yang merupakan peluang untuk dimanfaatkan dengan nilai produksi Rp 132 triliun.
”Ada 3,5 juta ton peluang sumber daya ikan yang masih bisa dimanfaatkan sehingga nilai produksi bisa dinaikkan menjadi Rp 300 triliun,” kata Zaini.