Percontohan kebijakan penangkapan terukur di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 dinilai memerlukan kesiapan pengawasan. Sebab, hingga kini, masih ditemukan praktik penangkapan ikan ilegal di wilayah tangkap tersebut.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Sejumlah kapal ikan eks asing tertahan di Teluk Ambon, Selasa (3/11/2015). Kapal-kapal tersebut tidak diizinkan berlayar setelah pemerintah mulai gencar melakukan pemberantasan illegal fishing sejak November 2014.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan menerapkan percontohan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota di wilayah pengelolaan perikanan atau WPP 718 membutuhkan kesiapan pengawasan dan sinergi antarinstansi penegak hukum. WPP 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur merupakan wilayah produktif ikan sekaligus rawan praktik penangkapan ikan ilegal.
Penangkapan ikan terukur direncanakan diberlakukan pada enam zona pada 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dari jumlah itu, empat zona pada tujuh WPP diperuntukkan bagi zona industri melalui sistem kontrak penangkapan ikan, meliputi WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik).
Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara). Kebijakan baru itu direncanakan diuji coba di WPP 718.
Sementara dua zona lainnya merupakan zona penangkapan ikan untuk nelayan tradisional dengan pemberian kuota khusus, yakni di WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), WPP 712 (Laut Jawa), dan WPP 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali).
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, Kamis (10/3/2022), mengemukakan, penerapan sistem kontrak dinilai tidak akan menyelesaikan praktik penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Hasil temuan di WPP 718 mengindikasikan tingginya praktik penangkapan ikan yang tidak dilaporkan oleh kapal berukuran di bawah 30 gros ton.
Hasil temuan di WPP 718 mengindikasikan tingginya praktik penangkapan ikan yang tidak dilaporkan oleh kapal berukuran di bawah 30 gros ton.
Pihaknya mendorong Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat berperan aktif untuk menyusun strategi yang lebih komprehensif lewat Rencana Aksi Daerah Penanggulangan IUUF. Rencana aksi itu dapat memberi arah pencegahan dan penindakan pelanggaran penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF) pada tingkat lokal. ”Pengawasan kegiatan penangkapan ikan di WPP 718 membutuhkan peran dan partisipasi daerah, terutama pada zona di bawah 12 mil (22 kilometer),” kata Abdi.
Kepala Pusat Riset Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Yayan Hikmayani menyatakan, WPP 718 yang meliputi Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku merupakan wilayah penangkapan ikan yang produktif, tetapi rewan terhadap penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
”WPP 718 akan menjadi lokasi percontohan penangkapan terukur yang membutuhkan kesiapan pengawasan agar mencegah terjadinya praktik IUUF, terutama aspek perikanan yang tidak dilaporkan oleh kapal ikan Indonesia,” kata Yayan dalam keterangan pers terkati ”Workshop Penyusunan Rencana Strategi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, yang dilaksanakan DFW Indonesia bekerja sama dengan ATSEA-2 atas dukungan UNDP”.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, pihaknya hingga kini menunggu proses finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dengan Sistem Kontrak.
KOMPAS/DANU KUSWORO
Belasan perahu berjejer menunggu awak kapal nelayan yang hendak kembali ke kapal setelah berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar Pelabuhan Yos Sudarso, Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Jumat (2/3). Perahu-perahu ini menjadi moda transportasi awak kapal nelayan yang lego jangkar di sekitar Selat Wamar, seusai menangkap ikan di Kepulauan Arafura.
Sebelumnya, Zaini menyebutkan, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan pada zona industri perikanan mencapai 5,99 juta ton per tahun dengan perkiraan nilai ekonomi Rp 180 triliun. Hingga pertengahan Februari 2022, pelaku industri yang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan berjumlah 20 perusahaan dengan kuota tangkapan diusulkan sekitar 4,1 juta ton. Pemerintah membuka diri terhadap masukan publik terkait kebijakan baru tersebut.
Menurut Direktur Pengendalian dan Operasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho, pihaknya telah menyiapkan tiga strategi untuk pengawasan di WPP 718. ”Ada tiga pendekatan yang kami siapkan, yaitu peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan, penindakan tegas terhadap pelaku IUUF, dan pemberdayaan nelayan,” kata Pung.
Sepanjang tahun 2021, pihaknya telah menangkap 114 kapal Indonesia yang melakukan pelanggaran ketentuan tentang perikanan.