Akses e-Katalog Dipermudah, 13.600 Produk Impor Dibekukan
Mutu belanja pemerintah terus diupayakan meningkat. Hal ini, antara lain, ditempuh lewat kemudahan akses menayangkan produk dalam negeri di katalog elektronik. Produk impor yang telah ada substitusinya pun dibekukan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah atau LKPP memangkas mata rantai proses tayang untuk memudahkan akses masuk ke e-katalog. Sebanyak 13.600 produk impor yang sudah ada substitusinya pun dibekukan alias tidak dapat dibeli di e-katalog. Hal ini sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas belanja pemerintah.
Mutu belanja pemerintah mesti ditingkatkan agar tidak terjadi duplikasi belanja berupa produk atau jasa tertentu dari setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal lain yang dituju adalah adanya keberpihakan terhadap produk dalam negeri.
”Produk dalam negeri yang diinginkan adalah produk dalam negeri yang benar-benar tingkat kandungan dalam negerinya itu tinggi. (Jadi), bukan barang impor yang hanya diganti bungkusnya, hanya dengan (kandungan lokal) 1-2 persen, lalu dibilang (kalau itu) produk dalam negeri,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa saat menyampaikan keterangan seusai rapat terbatas terkait percepatan program transformasi digital pengadaan barang dan jasa di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Meski sebenarnya terlambat dalam menyertifikasi produk-produk dalam negeri, menurut Suharso, lompatan luar biasa telah dilakukan LKPP sehingga semakin banyak produk dalam negeri yang masuk dalam e-katalog. Target produk dalam negeri yang masuk e-katalog tahun ini 1 juta produk dan tahun depan 2 juta produk.
”Jadi, LKPP berfungsi sebagai market place untuk seluruh produk, yang kita dorong adalah produk-produk asli, sekali lagi, asli domestik dalam negeri dengan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) yang tinggi,” ujar Suharso.
Pada kesempatan tersebut, Suharso menuturkan bahwa Presiden Joko Widodo telah mengarahkan agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi jangan sampai tertinggal dalam konteks pengadaan barang dan jasa. Hal yang harus dicegah adalah jangan sampai hanya karena soal harga kemudian perusahaan-perusahaan besar yang menang.
”(Terkait hal) ini akan dibuat semacam satu diferensiasi sedemikian rupa agar terjadi distribusi dengan baik. (Hal) yang berikutnya, pengalaman Bapak Presiden (Jokowi) adalah, selain national strategic purchase yang dibiayai APBN juga (ada) local strategic purchase. Jadi, (ini terkait) pembelian di tingkat lokal, di mana di sana ada e-katalog lokal,” katanya.
Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas menuturkan, LKPP telah memotong mata rantai yang panjang dari proses tayang produk. ”Dulu perlu delapan proses (sedangkan) sekarang tinggal dua proses saja setelah kami bertemu dengan vendor-vendor dan digital marketplace,” katanya.
Menurut dia, hal ini menciptakan kondisi yang sangat ramah pasar (market friendly). ”Maka kalau dulu hanya ada 52.000 produk lebih kurang (dalam) 1 tahun, sekarang sudah 600.000 produk satu tahun untuk e-katalog. Sementara untuk toko daring sekarang sudah 708.835 produk, ada 303.000 merchant dan untuk mikronya di e-katalog ada 10.861,” ujar Azwar Anas.
E-katalog lokal
Pada intinya, menurut Azwar Anas, Presiden Jokowi memerintahkan akses masuk e-katalog mudah dan tidak boleh lagi berbelit-belit. Dan, agar tidak hanya pengusaha besar yang berkembang, maka e-katalog lokal harus hidup.
”Dulu, saya selama 10 tahun jadi bupati, di daerah tidak bisa bikin e-katalog lokal karena syaratnya terlalu banyak. Nah, sekarang syarat-syarat yang berat telah kita potong dan semua kabupaten/kota sekarang sudah punya e-katalog. Hasilnya, sekarang produknya sudah banyak yang masuk,” katanya.
Terkait permintaan Presiden Jokowi agar kesemuanya ini tersistem dan terintegrasi, Azwar Anas menuturkan bahwa LKPP bekerja bersama Kementerian Keuangan, Bappenas, serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk mewujudkannya. Sistem aplikasi keuangan tingkat instansi atau Sakti di Kemenkeu, sistem aplikasi utama dalam pengelolaan keuangan daerah atau Simda di Kementerian Dalam Negeri, serta sistem informasi rencana umum pengadaan atau SiRUP sekarang pun terintegrasi.
”Sehingga dengan begitu solusi, termasuk kartu kredit pemerintah, akan bisa jalan. Selama ini UMKM tidak bisa dibeli produknya, diutang oleh pemerintah daerah, karena bayarnya harus pakai SP2D (surat perintah pencairan dana), kecuali di bawah Rp 50 juta. Nah, sekarang dengan kartu kredit pemerintah, ini ke depan akan lebih mudah untuk membayar UMKM di daerah,” ujar Azwar Anas.
Selain afirmasi memudahkan masuk ke e-katalog, Azwar Anas menuturkan bahwa pihaknya juga harus membekukan produk impor yang telah ada penggantinya di dalam negeri. ”Ini arahan Bapak Presiden dan sekarang sudah ada 13.600 produk impor yang sudah ada substitusinya telah kita bekukan alias tidak bisa dibeli di e-katalog,” katanya.
Azwar Anas pun menyampaikan terkait rencana undang-undang yang akan diajukan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. ”Kami tadi sudah sampaikan benchmarking-nya di Amerika, kemudian juga di India dan di beberapa negara yang lain, termasuk di Filipina dan China. China bisa sangat kuat, salah satunya, adalah (karena) ada afirmasi terhadap produk-produk dalam negeri,” ujarnya.
Kami tadi sudah sampaikan benchmarking-nya di Amerika, kemudian juga di India dan di beberapa negara yang lain, termasuk di Filipina dan China. China bisa sangat kuat, salah satunya, adalah (karena) ada afirmasi terhadap produk-produk dalam negeri.
LKPP juga baru saja mencoba konsolidasi pengadaan. ”Jadi, kita ajukan, anggaran yang besar di beberapa kementerian kita satukan. (Hal) yang baru saja berhasil dalam sejarah, baru pertama, adalah pengadaan laptop. Dari sedikit kementerian, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan (Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), kita dapatkan Rp 6,3 triliun pembelian laptop,” katanya.
Sebagai perbandingan, menurut Azwar Anas, kalau setiap kementerian membeli sendiri-sendiri, maka tidak dapat diskon. Atau, kalaupun diskon, hanya sedikit. ”Maka, ini kita kumpulkan bersama, LKPP dan Kementerian Keuangan, kita langsung negosiasi ke produsen. Kita tidak hanya (negosiasi) ke satu (produsen), (tetapi) ada 7 produsen. Alhamdulillah, kita bisa dapat diskon dari sini 27,4 persen dan 29 persen. Hasilnya, negara bisa hemat Rp 1,8 triliun,” ujarnya.
Azwar menuturkan, dulu memasukkan produk di e-katalog memerlukan negosiasi harga, tetapi sekarang tidak perlu lagi. ”Kita ikut harga pasar. Ini arahan Menteri Bappenas, dulu. (Hal) yang kedua, dulu kontraknya dua tahun sekali, jadi tokonya buka dua tahun sekali. Sekarang setiap saat bisa berubah harganya sesuai dengan mekanisme pasar,” katanya.